Stres di Masa Pandemi Banyak Diderita Usia Produktif
loading...
A
A
A
Situasi pandemi yang menimbulkan kecemasan, menurut Rama sebenarnya hal normal saja. “Namun, masalahnya kecemasan saat ini berkelanjutan sehingga sudah masuk pada kategori gangguan mental,” kata dia.
Rama menyarankan agar orang memiliki sikap positif demi meminimalkan potensi mengalami gangguan kesehatan mental di masa pandemi. Pertama, dia menyarankan agar orang menerima kenyataan bahwa Covid-19 itu memang ada. “Perlu sikap menerima kenyataan. Jadi, terima dulu kondisi ini. Kan banyak juga tuh orang yang memelihara ekspektasi, mau cepat kembali ke situasi sebelumnya, dan merasa belum bisa terima kondisi sulit ini,” paparnya.
Kedua, orang perlu berpikir realistis dan berupaya melakukan apa yang bisa dilakukan meski dalam kondisi serbaterbatas. Jangan melulu melihat pandemi sebagai hal yang sulit. Faktanya, menurut dia, sebagian orang justru mampu menjadikan situasi ini sebagai kesempatan, lebih kreatif mencari peluang, misalnya dengan berbisnis alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer.
“Jadi dalam tanda kutip pandemi ini ada hikmah di baliknya. Jadi baiknya berusahalah beradaptasi dengan keadaan,” ujarnya menyarankan.
Ketiga, perlu detoksifikasi media sosial. Dia meminta orang tidak mudah termakan berita yang tidak jelas, hoaks, di berbagai platform media sosial. Harus cermat memilih berita baik untuk kesehatan otak yang datangnya dari sumber kredibel dan bisa dipercaya.
“Hal yang tidak kalah penting jangan saling menyalahkan, baiknya dalam kondisi begini saling mendukung saja,” kata dia.
Mengenai cara membantu orang yang mengalami gejalan gangguan mental agar segera pulih, Rama meminta agar dilakukan edukasi dengan membangun kesadaran akan bahayanya. “Dan, harus harus tahu kapan kita butuh ke professional,” tandasnya.
Optimalkan Layanan Puskesmas
Di lain pihak, Kemenkes melalui Badan Peneltian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) juga melakukan penelitian dan menemukan fakta terjadi peningkatan kasus kesehatan mental selama pandemi Covid-19. Selain ditemukan masyarakat mengalami gangguan tidur (24%), gangguan kecemasan (5%) dan depresi (8%), juga diungkap data Orang Dengan Ganggaun Jiwa (ODGJ) yang dipasung. Terjadi kenaikan dari 5.200 menjadi 6.200-an orang.
Pemasungan terjadi karena penderita tidak lagi mengontrol kesehatan ke rumah sakit jiwa (RSJ) akibat pandemi. Sejak awal pandemi memang terjadi penurunan hunian RSJ, rawat inap turun rata-rata 11% dan rawat jalan 14%.
Siti Khalimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes mengatakan, laporan langsung yang diterima dari puskesmas juga menerangkan hal serupa. Meskipun, kata dia, tidak dapat dipilah mana gangguan kesehatan mental akibat pandemi atau bukan. Namun, diakui kenaikan terjadi saat pandemi Covid-19 mulai hadir di Indonesia.
Khalimah mengaku pada awal pandemi dampak psikologis seakan sedikit terlupakan karena semua sibuk memikirkan untuk penyelamatan nyawa. Namun, tidak lama setelahnya Kemenkes bersama dengan organisasi profesi bergerak cepat menyusun pedoman dukungan kesehatan jiwa dan psikososial.
"Pedoman tersebut yang dapat kita lakukan kepada kelompok masyarakat umum dan khusus atau rentan. Untuk kelompok rentan, ada tiga protokol yakni untuk remaja, Orang Dengan Gangguan Jiwa dan tenaga kesehatan," ungkapnya.
Rama menyarankan agar orang memiliki sikap positif demi meminimalkan potensi mengalami gangguan kesehatan mental di masa pandemi. Pertama, dia menyarankan agar orang menerima kenyataan bahwa Covid-19 itu memang ada. “Perlu sikap menerima kenyataan. Jadi, terima dulu kondisi ini. Kan banyak juga tuh orang yang memelihara ekspektasi, mau cepat kembali ke situasi sebelumnya, dan merasa belum bisa terima kondisi sulit ini,” paparnya.
Kedua, orang perlu berpikir realistis dan berupaya melakukan apa yang bisa dilakukan meski dalam kondisi serbaterbatas. Jangan melulu melihat pandemi sebagai hal yang sulit. Faktanya, menurut dia, sebagian orang justru mampu menjadikan situasi ini sebagai kesempatan, lebih kreatif mencari peluang, misalnya dengan berbisnis alat kesehatan seperti masker dan hand sanitizer.
“Jadi dalam tanda kutip pandemi ini ada hikmah di baliknya. Jadi baiknya berusahalah beradaptasi dengan keadaan,” ujarnya menyarankan.
Ketiga, perlu detoksifikasi media sosial. Dia meminta orang tidak mudah termakan berita yang tidak jelas, hoaks, di berbagai platform media sosial. Harus cermat memilih berita baik untuk kesehatan otak yang datangnya dari sumber kredibel dan bisa dipercaya.
“Hal yang tidak kalah penting jangan saling menyalahkan, baiknya dalam kondisi begini saling mendukung saja,” kata dia.
Mengenai cara membantu orang yang mengalami gejalan gangguan mental agar segera pulih, Rama meminta agar dilakukan edukasi dengan membangun kesadaran akan bahayanya. “Dan, harus harus tahu kapan kita butuh ke professional,” tandasnya.
Optimalkan Layanan Puskesmas
Di lain pihak, Kemenkes melalui Badan Peneltian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) juga melakukan penelitian dan menemukan fakta terjadi peningkatan kasus kesehatan mental selama pandemi Covid-19. Selain ditemukan masyarakat mengalami gangguan tidur (24%), gangguan kecemasan (5%) dan depresi (8%), juga diungkap data Orang Dengan Ganggaun Jiwa (ODGJ) yang dipasung. Terjadi kenaikan dari 5.200 menjadi 6.200-an orang.
Pemasungan terjadi karena penderita tidak lagi mengontrol kesehatan ke rumah sakit jiwa (RSJ) akibat pandemi. Sejak awal pandemi memang terjadi penurunan hunian RSJ, rawat inap turun rata-rata 11% dan rawat jalan 14%.
Siti Khalimah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes mengatakan, laporan langsung yang diterima dari puskesmas juga menerangkan hal serupa. Meskipun, kata dia, tidak dapat dipilah mana gangguan kesehatan mental akibat pandemi atau bukan. Namun, diakui kenaikan terjadi saat pandemi Covid-19 mulai hadir di Indonesia.
Khalimah mengaku pada awal pandemi dampak psikologis seakan sedikit terlupakan karena semua sibuk memikirkan untuk penyelamatan nyawa. Namun, tidak lama setelahnya Kemenkes bersama dengan organisasi profesi bergerak cepat menyusun pedoman dukungan kesehatan jiwa dan psikososial.
"Pedoman tersebut yang dapat kita lakukan kepada kelompok masyarakat umum dan khusus atau rentan. Untuk kelompok rentan, ada tiga protokol yakni untuk remaja, Orang Dengan Gangguan Jiwa dan tenaga kesehatan," ungkapnya.