Rumah Tanpa Buku seperti Badan Tanpa Jiwa, Bagaimana Sekarang?
loading...
A
A
A
Jika dulu ada ungkapan “katakanlah cinta dengan bunga.” Ekspresi cinta Anto lebih bersifat rohani dan intelektual: “katakanlah cinta dengan buku.”Lebih tepat lagi mungkin: “kulamar dirimu, sayangku, dengan buku.”
Denny mengaku menerima kiriman foto anteran lamaran menikah itu. Ada beberapa buku yang menjadi ungkapan cinta,"
Mulai dari dua buku Jalaluddin Rumi “Selected Poems” dan “Spiritual Verses”. Keduanya terbitan Pinguin Classic. Ada juga buku Umar Kayam “The Ruba’iyat of Omar Khayyam. Juga buku Farid Ud-din Attar: Conference of the Bird.
"Saya bertambah senang, dalam antaran lamaran menikah itu, ada pula buku karya saya, Denny JA: Atas Nama Cinta.” Ini buku yang mengawali gerakan puisi esai di Indonesia," ungkap Denny.
Buku karya Denny JA berjudul Atas Nama Cinta beserta buku karya Jalaluddin Rumi, Omar Kayam, dan Farid Ud-din Attar menjadi seserahan lamaran Anto dan Ila. Foto/Istimewa
Denny lalu menyebutkan nama lengkap Anto, yakni Paramaragarjito Budi Irtanto, SE, Msc. Dia lulusan ekonomi UI dan LSE, London, putra dari Trisabdo Irianto dan Asih Budiningsih. “Anto dan Ila memang gemar membaca. Isi anteran lamaran menikah pun berbeda dari orang pada umumnya," kata Denny.
Denny lalu menyebutkan pesan WhatsApp Asih Budiningsih, ibunda Anto. "Isi lamarannya berbagai buku.”Japri WA saya, sambil melampirkan foto anterannya," katanya.
Ketika secara umum kultur membaca buku menurun, kata Denny, Anto justru meninggikan buku, menjadikannya ungkapan ritual pernikahan yang sakral.
Lalu mengapa buku semakin jarang dibaca? Denny mengatakan, pertama, teknologi video semakin murah dan mudah dipakai. Informasi melalui video, audio visual, juga lebih digemari.
Kedua, kata dia, tersedia begitu banyak informasi yang dibutuhkan dalam bentuk ringkasan, di internet. Ada ringkasan buku. Ada review buku. Ada juga wikipedia. "Semakin banyak publik memilih baca ringkasan buku saja dalam bentuk berita buku. Membaca buku asli membutuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari," katanya.
Ketiga, datangnya kultur media sosial. Di samping sisi positifnya, media sosial juga semakin membentuk kultur “banyak pilihan dan ringkas.”
Denny mengaku menerima kiriman foto anteran lamaran menikah itu. Ada beberapa buku yang menjadi ungkapan cinta,"
Mulai dari dua buku Jalaluddin Rumi “Selected Poems” dan “Spiritual Verses”. Keduanya terbitan Pinguin Classic. Ada juga buku Umar Kayam “The Ruba’iyat of Omar Khayyam. Juga buku Farid Ud-din Attar: Conference of the Bird.
"Saya bertambah senang, dalam antaran lamaran menikah itu, ada pula buku karya saya, Denny JA: Atas Nama Cinta.” Ini buku yang mengawali gerakan puisi esai di Indonesia," ungkap Denny.
Buku karya Denny JA berjudul Atas Nama Cinta beserta buku karya Jalaluddin Rumi, Omar Kayam, dan Farid Ud-din Attar menjadi seserahan lamaran Anto dan Ila. Foto/Istimewa
Denny lalu menyebutkan nama lengkap Anto, yakni Paramaragarjito Budi Irtanto, SE, Msc. Dia lulusan ekonomi UI dan LSE, London, putra dari Trisabdo Irianto dan Asih Budiningsih. “Anto dan Ila memang gemar membaca. Isi anteran lamaran menikah pun berbeda dari orang pada umumnya," kata Denny.
Denny lalu menyebutkan pesan WhatsApp Asih Budiningsih, ibunda Anto. "Isi lamarannya berbagai buku.”Japri WA saya, sambil melampirkan foto anterannya," katanya.
Ketika secara umum kultur membaca buku menurun, kata Denny, Anto justru meninggikan buku, menjadikannya ungkapan ritual pernikahan yang sakral.
Lalu mengapa buku semakin jarang dibaca? Denny mengatakan, pertama, teknologi video semakin murah dan mudah dipakai. Informasi melalui video, audio visual, juga lebih digemari.
Kedua, kata dia, tersedia begitu banyak informasi yang dibutuhkan dalam bentuk ringkasan, di internet. Ada ringkasan buku. Ada review buku. Ada juga wikipedia. "Semakin banyak publik memilih baca ringkasan buku saja dalam bentuk berita buku. Membaca buku asli membutuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari," katanya.
Ketiga, datangnya kultur media sosial. Di samping sisi positifnya, media sosial juga semakin membentuk kultur “banyak pilihan dan ringkas.”