Rumah Tanpa Buku seperti Badan Tanpa Jiwa, Bagaimana Sekarang?

Rabu, 17 Februari 2021 - 13:30 WIB
loading...
Rumah Tanpa Buku seperti Badan Tanpa Jiwa, Bagaimana Sekarang?
Bagi Denny JA, koleksi buku di rumah dan membacanya, sama pentingnya seperti menyediakan kopi dan teh di dapur, dan meminumnya. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Bagi Denny JA , koleksi buku di rumah dan membacanya, sama pentingnya seperti menyediakan kopi dan teh di dapur, dan meminumnya.

Penulis buku dan peneliti survei ini juga sangat menyukai pepatah lama yang menyatakan rumah tanpa buku seperti badan tanpa jiwa.

Namun Denny tidak menutupi kesedihannya menyikapi fakta yang menyatakan semakin banyak orang tidak membaca buku.

"Tapi dua data di bawah ini membuat sedih pecinta buku. Apa daya, buku semakin tidak dibaca. Semakin banyak orang tak membaca buku," kata Denny dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/2/2021).

Adapun dua data itu, yakni pertama dari Pew Research dan Gallup Poll. Di tahun 1978, penduduk Amerika Serikat yang tak membaca satu buku pun di tahun sebelum riset hanya 8%. Pada tahun 2012, penduduk yang sama yang tak membaca satu buku pun di tahun sebelum riset, berlipat menjadi 18%.

Di tahun 2015, pertanyaan yang sama diajukan. Yang tak membaca buku meningkat 23%. Satu dari empat orang Amerika Serikat sudah tak lagi membaca buku.

Jika buku yang dimaksud adalah sastra, angkanya lebih buruk lagi. Riset dilakukan oleh National Endowment untuk populasi Amerika Serikat pada tahun 1982, yang membaca setidaknya satu buku sastra, baik puisi, cerpen, drama, novel, masih mayoritas. Yang membaca 56,9%.

Pada tahun 2015, pertanyaan yang sama diajukan. Yang membaca minimal satu buku sastra merosot hanya 43.1 persen. Dengan kata lain, mayoritas penduduk Amerika Serikat tak lagi membaca satu pun buku sastra.

"Jika di Amerika Serikat mengalami penurunan, yang tradisi membacanya kuat, apalagi di Indonesia," tandasnya.

Dia pun menceritakan tentang kisah pernikahan pasangan bernama Anto dan Ila di awal tahun ini, 18 Januari 2021, menjadi menarik. Dalam lamaran pernikahannya, kata dia, ada ritual seserahan tanda mata. Isi tanda mata dari Anto adalah beberapa buku.

Jika dulu ada ungkapan “katakanlah cinta dengan bunga.” Ekspresi cinta Anto lebih bersifat rohani dan intelektual: “katakanlah cinta dengan buku.”Lebih tepat lagi mungkin: “kulamar dirimu, sayangku, dengan buku.”

Denny mengaku menerima kiriman foto anteran lamaran menikah itu. Ada beberapa buku yang menjadi ungkapan cinta,"

Mulai dari dua buku Jalaluddin Rumi “Selected Poems” dan “Spiritual Verses”. Keduanya terbitan Pinguin Classic. Ada juga buku Umar Kayam “The Ruba’iyat of Omar Khayyam. Juga buku Farid Ud-din Attar: Conference of the Bird.

"Saya bertambah senang, dalam antaran lamaran menikah itu, ada pula buku karya saya, Denny JA: Atas Nama Cinta.” Ini buku yang mengawali gerakan puisi esai di Indonesia," ungkap Denny.
Rumah Tanpa Buku seperti Badan Tanpa Jiwa, Bagaimana Sekarang?

Buku karya Denny JA berjudul Atas Nama Cinta beserta buku karya Jalaluddin Rumi, Omar Kayam, dan Farid Ud-din Attar menjadi seserahan lamaran Anto dan Ila. Foto/Istimewa

Denny lalu menyebutkan nama lengkap Anto, yakni Paramaragarjito Budi Irtanto, SE, Msc. Dia lulusan ekonomi UI dan LSE, London, putra dari Trisabdo Irianto dan Asih Budiningsih. “Anto dan Ila memang gemar membaca. Isi anteran lamaran menikah pun berbeda dari orang pada umumnya," kata Denny.

Denny lalu menyebutkan pesan WhatsApp Asih Budiningsih, ibunda Anto. "Isi lamarannya berbagai buku.”Japri WA saya, sambil melampirkan foto anterannya," katanya.

Ketika secara umum kultur membaca buku menurun, kata Denny, Anto justru meninggikan buku, menjadikannya ungkapan ritual pernikahan yang sakral.

Lalu mengapa buku semakin jarang dibaca? Denny mengatakan, pertama, teknologi video semakin murah dan mudah dipakai. Informasi melalui video, audio visual, juga lebih digemari.

Kedua, kata dia, tersedia begitu banyak informasi yang dibutuhkan dalam bentuk ringkasan, di internet. Ada ringkasan buku. Ada review buku. Ada juga wikipedia. "Semakin banyak publik memilih baca ringkasan buku saja dalam bentuk berita buku. Membaca buku asli membutuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari," katanya.

Ketiga, datangnya kultur media sosial. Di samping sisi positifnya, media sosial juga semakin membentuk kultur “banyak pilihan dan ringkas.”

"Akibatnya info yang laris disantap hanya yang menampilkan permukaan," tandasnya.

Akibat kultur ini, kata Denny, semakin sedikit individu berkomitmen menyediakan waktu berhari-hari untuk membaca habis satu buku.

Denny menceritakan, sejak dua tahun lalu, bersama tim menyiapkan aplikasi ringkasan buku. Dia beri nama aplikasi itu Aha! yang merupakan terjemahan dari Eureka! ekspresi ketika seseorang mendapatkan gagasan baru.

"Saya membaca gejala itu. Manusia di era revolusi industri keempat semakin tak mau baca buku yang butuh waktu panjang. Padahal begitu banyak pencerahan yang bisa didapatkan dari buku," tuturnya.

Beserta tim, Denny sudah dan sedang meringkaskan sekitar 3.000 buku terpilih. Cukup menghabiskan waktu 10-15 menit sehari, pembaca sudah mendapatkan lima gagasan utama setiap buku.

Tak hanya buku non fiksi. Sekitar 100 novel terbaik dunia juga diringkas. Lebih dari 100 film pemenang oscar dan lainnya juga diringkas. Menu utama memang buku penting bidang politik, ekonomi, marketing, agama, filsafat, neuro science dan happiness. "Jika tak ada halangan, aplikasi ringkasan buku fiksi, non fiksi dan film itu segera di-launching," ujarnya.

Dia memaparkan, aplikasi ringkasan buku dari luar negeri, BLINKIST, hanya menyediakan ringkasan buku non-fiksi. Kami menambahkan dalam koleksi itu ratusan buku fiksi dan film.

"Buku memang semakin tak dibaca. Tapi itu juga karena semakin banyak informasi penting tak lagi disajikan dalam bentuk buku konvensional," tuturnya.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.4512 seconds (0.1#10.140)