BPIP Dorong Pelajaran Pancasila Masuk Kurikulum
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) terus mendorong program penguatan nilai-nilai Pancasila dalam Kurikulum Pendidikan Nasional . Demi mencari strategi yang pas, digelar Webinar bertajuk "Strategi Penguatan Nilai Pancasila Dalam Rekomendasi UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan" pada Selasa (16/2/2021).
Menghadirkan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny, Deputi Pengkajian Dan Materi BPIP Adji Samekto, Plt Deputi Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi Ani Purwanti, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Aris Junaidi, dan sejumlah pakar akademisi.
“Dunia pendidikan berbenah untuk meningkatkan daya saing anak didik ke depan. Mereka harus siap menghadapi daya saing global, bukan secara nasional,” buka Yudian Wahyudi.
“Tuntutan di sisi lain adalah penguatan ideologi kebangsaan agar mengenali dirinya sebagai bangsa yang bermartabat melalui nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan,” sambung pemilik pondok pesantren ini.
Yudian menekankan pentingnya para pendidik. Agar menanamkan Pancasila bukan sebatas teori, mengedepankan akhlak yang beradab.
“Faktanya, 49 persen guru di lembaga pendidikan nasional berusia di bawah 40 tahun. Sementara Pendidikan Pancasila dicabut dari kurikulum sejak 1998. Ini yang jadi perhatian kami, BPIP sebagai badan koordinasi, sinkronisasi dan pembinaan Pancasila secara menyeluruh, bukan hanya anak didik tetapi para pendidik,” lanjut Yudian.
Terkait hal itu, Dede Yusuf menyebut rencana mengubah sistem pendidikan sudah masuk Prolegnas (program legislasi nasional). Bahkan sudah dibuat Panja (panitia kerja) serta mengadakan pertemuan dengan stakeholders terkait data-data dan strategi untuk merevisi Kurikulum Pendidikan Nasional dengan penguatan nilai Pancasila.
“Mengubah kurikulum ini butuh waktu paling sedikit dua tahun. Kami tengah menyusun roadmap, blue print untuk memikirkan pendidikan yang adaptif,” jelas Dede.
Menurut dia, pendidikan berbasis Pancasila itu idealnya mengarah pada konteks pelajar mampu berpikiran secara global namun bersikap secara nasional. “Jadi nilai-nilai Pancasila itu hubungannya dengan adab dan akhlak. Unsur agama tetap penting tapi tidak membuat klasterisasi Pancasila, memecah. Pancasila tetap Pancasila, identitas bangsa pemersatu,” tegas Dede.
Komisi X DPR memandang Pancasila memang perlu masuk ke dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Pentingnya memberikan pemahaman pembelajaran karakter Pancasila pada peserta didik sejak dari awal dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
“Ini juga menjadi penting dan tugas BPIP. Melihat negara lain bisa besar karena persatuan. BPIP bisa memulai ke lembaga pendidikan untuk mulai menanamkan nilai Pancasila. Pancasila adalah kami,” beber Dede.
Dia menyarankan sekolah-sekolah untuk tetap memasukan ekstra kurikuler Pramuka. “Sayangnya ini jangan dibuat sebuah sebagai keterpaksaan untuk ikut ekstrakurikuler, Pramuka, tapi keterpanggilan. Itu jadi tugas kita bersama untuk mengikuti Pramuka yang sarat nilai Pancasila, mereka menghormati bendera, Kakak Pembina, toleransi dan solidaritas,” sambung mantan Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka Jawa Barat ini.
Pakar pendidikan Dharmaningtyas pun sepakat nilai Pancasila bukan lagi sebuah teori atau tempelan saja. Tetapi harus mengedepankan anak didik untuk memiliki nilai budi pekerti yang luhur.
“Pendidikan Pancasila dikatakan berhasil apabila peserta didiknya cerdas bersikap penuh tanggung jawab dengan selalu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jelasnya.
Tujuan pendidikan sejatinya mewajibkan adanya nilai Pancasila seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. Maka isi kurikulum berdasarkan jenis, jalur dan jenjang pendidikan, harus ada penanaman nilai Pancasila, selain agama dan kewarganegaraan.
“Pelaksanaan yang subyektif, pelaksanaan Pancasila dalam pribadi perorangan. Pelaksanaan obyektif, pelaksanaan negara dan kehidupan negara,” sambungnya.
Sementara itu, Antonius Benny mengatakan sudah saatnya Pancasila menjadi habitus insting, kebiasaan dan landasan berpikir serta bertindak nalar. Nilai Pancasila itu membentuk seorang siswa bagaimana memiliki rasa ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Jadi Pancasila bukan doktrin. Penguatan ini perlu role model. Mulai dari sekolah, pendidikan di masyarakat hingga lingkungan sekitar,” jelas pria yang akrab disapa Romo Benny ini.
Apalagi nilai Pancasila diterapkan untuk berdampingan dengan ratusan agama lokal. Fungsinya merawat kemajemukan, yang menjadi tugas kebersamaan sebagai bangsa yang utuh tak terpecah belah.
“Hilangnya Pancasila sejak reformasi dulu, saat ini harus jadi momentum mengembalikan martabat itu. Bukan menghilangkan Pancasila dalam pendidikan,” sambungnya.
Penerapan Pancasila selama ini terjadi tidak utuh dan menyeluruh. Di dalam beberapa mata pelajaran Pancasila ditampilkan hanya sebagian. Baca juga: Ziarahi Makam Bung Karno, BPIP Jadikan Wafatnya Gus Dur Hari Perdamaian Politik Indonesia
“Pancasila bukan pemanis, bukan tempelan. Tapi harus jadi gugus insting, sub kordinasi jadi habitus bangsa ini karena bisa membangun moral bangsa, dan internalisasi nilai,” tandasnya.
Menghadirkan Kepala BPIP Yudian Wahyudi, Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP Antonius Benny, Deputi Pengkajian Dan Materi BPIP Adji Samekto, Plt Deputi Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi Ani Purwanti, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Ditjen Dikti Aris Junaidi, dan sejumlah pakar akademisi.
“Dunia pendidikan berbenah untuk meningkatkan daya saing anak didik ke depan. Mereka harus siap menghadapi daya saing global, bukan secara nasional,” buka Yudian Wahyudi.
“Tuntutan di sisi lain adalah penguatan ideologi kebangsaan agar mengenali dirinya sebagai bangsa yang bermartabat melalui nilai Pancasila dalam kurikulum pendidikan,” sambung pemilik pondok pesantren ini.
Yudian menekankan pentingnya para pendidik. Agar menanamkan Pancasila bukan sebatas teori, mengedepankan akhlak yang beradab.
“Faktanya, 49 persen guru di lembaga pendidikan nasional berusia di bawah 40 tahun. Sementara Pendidikan Pancasila dicabut dari kurikulum sejak 1998. Ini yang jadi perhatian kami, BPIP sebagai badan koordinasi, sinkronisasi dan pembinaan Pancasila secara menyeluruh, bukan hanya anak didik tetapi para pendidik,” lanjut Yudian.
Terkait hal itu, Dede Yusuf menyebut rencana mengubah sistem pendidikan sudah masuk Prolegnas (program legislasi nasional). Bahkan sudah dibuat Panja (panitia kerja) serta mengadakan pertemuan dengan stakeholders terkait data-data dan strategi untuk merevisi Kurikulum Pendidikan Nasional dengan penguatan nilai Pancasila.
“Mengubah kurikulum ini butuh waktu paling sedikit dua tahun. Kami tengah menyusun roadmap, blue print untuk memikirkan pendidikan yang adaptif,” jelas Dede.
Menurut dia, pendidikan berbasis Pancasila itu idealnya mengarah pada konteks pelajar mampu berpikiran secara global namun bersikap secara nasional. “Jadi nilai-nilai Pancasila itu hubungannya dengan adab dan akhlak. Unsur agama tetap penting tapi tidak membuat klasterisasi Pancasila, memecah. Pancasila tetap Pancasila, identitas bangsa pemersatu,” tegas Dede.
Komisi X DPR memandang Pancasila memang perlu masuk ke dalam Kurikulum Pendidikan Nasional. Pentingnya memberikan pemahaman pembelajaran karakter Pancasila pada peserta didik sejak dari awal dimulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
“Ini juga menjadi penting dan tugas BPIP. Melihat negara lain bisa besar karena persatuan. BPIP bisa memulai ke lembaga pendidikan untuk mulai menanamkan nilai Pancasila. Pancasila adalah kami,” beber Dede.
Dia menyarankan sekolah-sekolah untuk tetap memasukan ekstra kurikuler Pramuka. “Sayangnya ini jangan dibuat sebuah sebagai keterpaksaan untuk ikut ekstrakurikuler, Pramuka, tapi keterpanggilan. Itu jadi tugas kita bersama untuk mengikuti Pramuka yang sarat nilai Pancasila, mereka menghormati bendera, Kakak Pembina, toleransi dan solidaritas,” sambung mantan Ketua Kwartir Daerah (Kwarda) Pramuka Jawa Barat ini.
Pakar pendidikan Dharmaningtyas pun sepakat nilai Pancasila bukan lagi sebuah teori atau tempelan saja. Tetapi harus mengedepankan anak didik untuk memiliki nilai budi pekerti yang luhur.
“Pendidikan Pancasila dikatakan berhasil apabila peserta didiknya cerdas bersikap penuh tanggung jawab dengan selalu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,” jelasnya.
Tujuan pendidikan sejatinya mewajibkan adanya nilai Pancasila seperti tertuang dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989. Maka isi kurikulum berdasarkan jenis, jalur dan jenjang pendidikan, harus ada penanaman nilai Pancasila, selain agama dan kewarganegaraan.
“Pelaksanaan yang subyektif, pelaksanaan Pancasila dalam pribadi perorangan. Pelaksanaan obyektif, pelaksanaan negara dan kehidupan negara,” sambungnya.
Sementara itu, Antonius Benny mengatakan sudah saatnya Pancasila menjadi habitus insting, kebiasaan dan landasan berpikir serta bertindak nalar. Nilai Pancasila itu membentuk seorang siswa bagaimana memiliki rasa ketuhanan dan kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Jadi Pancasila bukan doktrin. Penguatan ini perlu role model. Mulai dari sekolah, pendidikan di masyarakat hingga lingkungan sekitar,” jelas pria yang akrab disapa Romo Benny ini.
Apalagi nilai Pancasila diterapkan untuk berdampingan dengan ratusan agama lokal. Fungsinya merawat kemajemukan, yang menjadi tugas kebersamaan sebagai bangsa yang utuh tak terpecah belah.
“Hilangnya Pancasila sejak reformasi dulu, saat ini harus jadi momentum mengembalikan martabat itu. Bukan menghilangkan Pancasila dalam pendidikan,” sambungnya.
Penerapan Pancasila selama ini terjadi tidak utuh dan menyeluruh. Di dalam beberapa mata pelajaran Pancasila ditampilkan hanya sebagian. Baca juga: Ziarahi Makam Bung Karno, BPIP Jadikan Wafatnya Gus Dur Hari Perdamaian Politik Indonesia
“Pancasila bukan pemanis, bukan tempelan. Tapi harus jadi gugus insting, sub kordinasi jadi habitus bangsa ini karena bisa membangun moral bangsa, dan internalisasi nilai,” tandasnya.
(kri)