Generasi Terus Berganti, Butuh Konsistensi Komunikasikan Toleransi

Selasa, 16 Februari 2021 - 07:30 WIB
loading...
Generasi Terus Berganti,...
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, bukan hanya menjadi kekayaan lokal Nusantara, tetapi kekayaan kemanusiaan. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Toleransi adalah cerminan dari sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang keputusan pakaian seragam dan atribut di sekolah adalah wujud dari semangat toleransi.

Oleh karena itu, masyarakat hendaknya memahami manifestasi dari toleransi ialah penghormatan terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali, tanpa adanya unsur pemaksaan seperti yang temuat dalam SKB.

Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menjelaskan, Indonesia merupakan bangsa besar. Di negara kepulauan ini, berbagai suku, agama, ras dan golongan dapat hidup damai, saling menghormati dan sepakat untuk bahu membahu membangun negeri.

Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, bukan hanya menjadi kekayaan lokal Nusantara, tetapi kekayaan kemanusiaan. Tuhan yang menghadirkan perbedaan ini.

"Justru dengan perbedaan, kita saling melengkapi. Indonesia ialah pusaka peradaban. Dimana lagi di dunia, ada masyarakat dalam jumlah sangat besar yang memiliki perbedaan dari mulai warna kulit, wilayah tinggal kepulauan, budaya, makanan, pakaian, nyanyian, tarian, keyakinan, hingga iklim dan cuaca berbeda menyatu sebagai bangsa,” tuturnya, Jumat 12 Februari 2021.

Dengan adanya perbedaan yang bermacam-macam tersebut, kata dia, hanya ada satu kekuatan yang mampu merekatkan seluruh perbedaan fisik, geografis, historis, dan sosiologis ini, yakni toleransi.

”Toleransi upaya untuk memahami orang lain, salah satunya tidak berkata dan berbuat hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak nyaman bila orang lain mengatakan dan melakukannya kepada diri kita. Sebagai ilustrasi, apakah kita rela, bila kita 'dipaksa' melakukan sesuatu seperti menggunakan atribut yang merupakan milik keyakinan orang lain? Kalau jawabannya tidak, maka sudah seyogyanya, kita tidak melakukan hal tersebut kepada orang lain juga,” tuturnya.



Menurut dia, butuh kesabaran dan konsistensi untuk terus mengomunikasikann filosofi dan praktik dari toleransi ini. Oleh sebab itu, wanita yang juga praktisi komunikasi dalam bidang public relations ini mengatakan, pemerintah perlu untuk menggandeng para tokoh yang akan didengar oleh setiap kelompok di masyarakat.

Perlu diidentifikasi siapa tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar di setiap wilayah atau kelompok tersebut. ”Para tokoh inilah yang perlu diajak bicara terlebih dahulu tentang semangat dari SKB ini. Mengapa dibutuhkan tokoh-tokoh publik? karena karakter sosial masyarakat Indonesia yang hirarkis, Patron - Klien, yaitu adanya para Patron (individu yang dianggap berada di puncak hirarki) yang dihormati, diteladani hingga diikuti oleh para klien (individu yang berada di posisi bawah dalam hirarki sosial),” ucapnya.
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2200 seconds (0.1#10.140)