Generasi Terus Berganti, Butuh Konsistensi Komunikasikan Toleransi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Toleransi adalah cerminan dari sila ketiga Pancasila, yaitu Persatuan Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang keputusan pakaian seragam dan atribut di sekolah adalah wujud dari semangat toleransi.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya memahami manifestasi dari toleransi ialah penghormatan terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali, tanpa adanya unsur pemaksaan seperti yang temuat dalam SKB.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menjelaskan, Indonesia merupakan bangsa besar. Di negara kepulauan ini, berbagai suku, agama, ras dan golongan dapat hidup damai, saling menghormati dan sepakat untuk bahu membahu membangun negeri.
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, bukan hanya menjadi kekayaan lokal Nusantara, tetapi kekayaan kemanusiaan. Tuhan yang menghadirkan perbedaan ini.
"Justru dengan perbedaan, kita saling melengkapi. Indonesia ialah pusaka peradaban. Dimana lagi di dunia, ada masyarakat dalam jumlah sangat besar yang memiliki perbedaan dari mulai warna kulit, wilayah tinggal kepulauan, budaya, makanan, pakaian, nyanyian, tarian, keyakinan, hingga iklim dan cuaca berbeda menyatu sebagai bangsa,” tuturnya, Jumat 12 Februari 2021.
Dengan adanya perbedaan yang bermacam-macam tersebut, kata dia, hanya ada satu kekuatan yang mampu merekatkan seluruh perbedaan fisik, geografis, historis, dan sosiologis ini, yakni toleransi.
”Toleransi upaya untuk memahami orang lain, salah satunya tidak berkata dan berbuat hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak nyaman bila orang lain mengatakan dan melakukannya kepada diri kita. Sebagai ilustrasi, apakah kita rela, bila kita 'dipaksa' melakukan sesuatu seperti menggunakan atribut yang merupakan milik keyakinan orang lain? Kalau jawabannya tidak, maka sudah seyogyanya, kita tidak melakukan hal tersebut kepada orang lain juga,” tuturnya.
Menurut dia, butuh kesabaran dan konsistensi untuk terus mengomunikasikann filosofi dan praktik dari toleransi ini. Oleh sebab itu, wanita yang juga praktisi komunikasi dalam bidang public relations ini mengatakan, pemerintah perlu untuk menggandeng para tokoh yang akan didengar oleh setiap kelompok di masyarakat.
Perlu diidentifikasi siapa tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar di setiap wilayah atau kelompok tersebut. ”Para tokoh inilah yang perlu diajak bicara terlebih dahulu tentang semangat dari SKB ini. Mengapa dibutuhkan tokoh-tokoh publik? karena karakter sosial masyarakat Indonesia yang hirarkis, Patron - Klien, yaitu adanya para Patron (individu yang dianggap berada di puncak hirarki) yang dihormati, diteladani hingga diikuti oleh para klien (individu yang berada di posisi bawah dalam hirarki sosial),” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan Devie, ketika para patron mendemonstrasikan suatu aksi, berpeluang besar diikuti oleh masyarakat luas. Lantas siapa saja para patron tersebut?
Sederhananya, kata dia, mereka yang masuk dalam kategori 4 K, yaitu individu-individu yang memiliki pertama, kekuasaan (RT, lurah, kades hingga presiden), kedua, adalah ketenaran (para selebritas), ketiga, kekayaan, dan yang keempat, yaitu kewibawaan yang bisa ada di tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat.
”Ketika para patron (panutan publik) ini menunjukkan sebuah perilaku, maka akan menimbulkan bandwagon effect (dampak ikutan). Ibaratnya lokomotif dan gerbong. Ketika lokomotif mengarah ke kanan, maka gerbong berpeluang mengikuti juga ke kanan, ” tutur Devie.
”Tugas pemerintah melakukan identifikasi tokoh publik yang masuk di antara kategori 4 K tersebut. Lalu dirangkul untuk dimohonkan menjelaskan kepada masyarakat tentang semangat dari SKB ini,” lanjut wanita yang juga dosen dan peneliti tetap Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut dia, munculnya SKB ini bisa dianggap sebuah sinyal bahwa memang perlu untuk terus mengingatkan masyarakat di sepanjang hayat. "Mengingat, generasi terus berganti. Toleransi itu tidak cukup kalau hanya sekadar tahu tapi juga harus dilatih,” ujar mantan Direktur Kemahasiswaan UI ini.
Toleransi dikatakannya termasuk dalam keterampilan sosial dan harus dilatih, bukan cuma dihafalkan. Menurut dia, tantangan dari metode pendidikan di Indonesia adalah lebih menekankan kepada upaya menghafalkan bukan mengamalkan.
”Nilai-nilai Pancasila, yang di antaranya toleransi, tidak pernah dipraktikkan sebagai sebuah amalan, berhenti pada hapalan semata,” ujarnya.
Devie mencontohkan soal kejujuran misalnya. Ini konsep abstrak, yang tidak boleh hanya diajarkan teorinya. Tapi konkret dilaksanakan, seperti tidak menyontek. "Jangan ambil jalan pintas. Atau konsep cinta Tanah Air, seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengantri, sebagai wujud menjaga ketertiban dan persatuan bangsa," tandasnya.
Oleh karena itu, dia berpendapat toleransi dalam praktiknya tidak boleh memaksakan. Itu harus terus menerus diamalkan, bukan dihafalkan. Devie juga berpesan kepada siswa di sekolah, saat ini mereka adalah warga dunia, berbeda dengan generasi di masa lalu yang sangat terbatas untuk tersambung dengan orang dari belahan dunia.
”Sebagai anak kandung peradaban teknologi digital, kalian saat ini telah menjadi warga dunia (global citizen). Kalian hidup dan saling berinteraksi dengan individu dari seluruh belahan dunia hanya dengan sentuhan jari," tuturnya.
Untuk menjadi masyarakat dunia yang baik, sambung dia, harus belajar menghormati orang lain. "Harus diingat, ibaratnya sebuah lagu, yang lahir dari nada-nada berbeda, bukan hanya nada do, maka keindahan hidup ini juga terwujud dari perbedaan tersebut,” kata Devie.
Oleh karena itu, masyarakat hendaknya memahami manifestasi dari toleransi ialah penghormatan terhadap seluruh manusia tanpa terkecuali, tanpa adanya unsur pemaksaan seperti yang temuat dalam SKB.
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati menjelaskan, Indonesia merupakan bangsa besar. Di negara kepulauan ini, berbagai suku, agama, ras dan golongan dapat hidup damai, saling menghormati dan sepakat untuk bahu membahu membangun negeri.
Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu, bukan hanya menjadi kekayaan lokal Nusantara, tetapi kekayaan kemanusiaan. Tuhan yang menghadirkan perbedaan ini.
"Justru dengan perbedaan, kita saling melengkapi. Indonesia ialah pusaka peradaban. Dimana lagi di dunia, ada masyarakat dalam jumlah sangat besar yang memiliki perbedaan dari mulai warna kulit, wilayah tinggal kepulauan, budaya, makanan, pakaian, nyanyian, tarian, keyakinan, hingga iklim dan cuaca berbeda menyatu sebagai bangsa,” tuturnya, Jumat 12 Februari 2021.
Dengan adanya perbedaan yang bermacam-macam tersebut, kata dia, hanya ada satu kekuatan yang mampu merekatkan seluruh perbedaan fisik, geografis, historis, dan sosiologis ini, yakni toleransi.
”Toleransi upaya untuk memahami orang lain, salah satunya tidak berkata dan berbuat hal-hal kepada orang lain, yang kita sendiri tidak nyaman bila orang lain mengatakan dan melakukannya kepada diri kita. Sebagai ilustrasi, apakah kita rela, bila kita 'dipaksa' melakukan sesuatu seperti menggunakan atribut yang merupakan milik keyakinan orang lain? Kalau jawabannya tidak, maka sudah seyogyanya, kita tidak melakukan hal tersebut kepada orang lain juga,” tuturnya.
Menurut dia, butuh kesabaran dan konsistensi untuk terus mengomunikasikann filosofi dan praktik dari toleransi ini. Oleh sebab itu, wanita yang juga praktisi komunikasi dalam bidang public relations ini mengatakan, pemerintah perlu untuk menggandeng para tokoh yang akan didengar oleh setiap kelompok di masyarakat.
Perlu diidentifikasi siapa tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh besar di setiap wilayah atau kelompok tersebut. ”Para tokoh inilah yang perlu diajak bicara terlebih dahulu tentang semangat dari SKB ini. Mengapa dibutuhkan tokoh-tokoh publik? karena karakter sosial masyarakat Indonesia yang hirarkis, Patron - Klien, yaitu adanya para Patron (individu yang dianggap berada di puncak hirarki) yang dihormati, diteladani hingga diikuti oleh para klien (individu yang berada di posisi bawah dalam hirarki sosial),” ucapnya.
Lebih lanjut dikatakan Devie, ketika para patron mendemonstrasikan suatu aksi, berpeluang besar diikuti oleh masyarakat luas. Lantas siapa saja para patron tersebut?
Sederhananya, kata dia, mereka yang masuk dalam kategori 4 K, yaitu individu-individu yang memiliki pertama, kekuasaan (RT, lurah, kades hingga presiden), kedua, adalah ketenaran (para selebritas), ketiga, kekayaan, dan yang keempat, yaitu kewibawaan yang bisa ada di tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat.
”Ketika para patron (panutan publik) ini menunjukkan sebuah perilaku, maka akan menimbulkan bandwagon effect (dampak ikutan). Ibaratnya lokomotif dan gerbong. Ketika lokomotif mengarah ke kanan, maka gerbong berpeluang mengikuti juga ke kanan, ” tutur Devie.
”Tugas pemerintah melakukan identifikasi tokoh publik yang masuk di antara kategori 4 K tersebut. Lalu dirangkul untuk dimohonkan menjelaskan kepada masyarakat tentang semangat dari SKB ini,” lanjut wanita yang juga dosen dan peneliti tetap Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut dia, munculnya SKB ini bisa dianggap sebuah sinyal bahwa memang perlu untuk terus mengingatkan masyarakat di sepanjang hayat. "Mengingat, generasi terus berganti. Toleransi itu tidak cukup kalau hanya sekadar tahu tapi juga harus dilatih,” ujar mantan Direktur Kemahasiswaan UI ini.
Toleransi dikatakannya termasuk dalam keterampilan sosial dan harus dilatih, bukan cuma dihafalkan. Menurut dia, tantangan dari metode pendidikan di Indonesia adalah lebih menekankan kepada upaya menghafalkan bukan mengamalkan.
”Nilai-nilai Pancasila, yang di antaranya toleransi, tidak pernah dipraktikkan sebagai sebuah amalan, berhenti pada hapalan semata,” ujarnya.
Devie mencontohkan soal kejujuran misalnya. Ini konsep abstrak, yang tidak boleh hanya diajarkan teorinya. Tapi konkret dilaksanakan, seperti tidak menyontek. "Jangan ambil jalan pintas. Atau konsep cinta Tanah Air, seperti tidak membuang sampah sembarangan atau mengantri, sebagai wujud menjaga ketertiban dan persatuan bangsa," tandasnya.
Oleh karena itu, dia berpendapat toleransi dalam praktiknya tidak boleh memaksakan. Itu harus terus menerus diamalkan, bukan dihafalkan. Devie juga berpesan kepada siswa di sekolah, saat ini mereka adalah warga dunia, berbeda dengan generasi di masa lalu yang sangat terbatas untuk tersambung dengan orang dari belahan dunia.
”Sebagai anak kandung peradaban teknologi digital, kalian saat ini telah menjadi warga dunia (global citizen). Kalian hidup dan saling berinteraksi dengan individu dari seluruh belahan dunia hanya dengan sentuhan jari," tuturnya.
Untuk menjadi masyarakat dunia yang baik, sambung dia, harus belajar menghormati orang lain. "Harus diingat, ibaratnya sebuah lagu, yang lahir dari nada-nada berbeda, bukan hanya nada do, maka keindahan hidup ini juga terwujud dari perbedaan tersebut,” kata Devie.
(dam)