Sekolah Harus Mampu Melembagakan Nilai Toleransi

Kamis, 11 Februari 2021 - 08:01 WIB
loading...
A A A
Nahe’i menyesalkan saat ini standar kompetensi keagamaan dan religius itu hanya diukur oleh pelaksanaan ibadah-ibadah formal dari masing-masing agama. Menurut dia, jika standar religius diukur oleh ibadah-ibadah formal saja justru akan berdampak pada sikap eksklusivitas dalam beragama.

“Inilah akar radikalisme itu. Karena semua siswa akan merasa bahwa ibadahnya-lah yang paling benar, dan yang lain salah. Kemudian dari aspek kebijakan di tingkat sekolah. Saya kira juga sama, harus mengubah standar kompetensi religiusitas siswa dengan kesalihan sosial seperti keadilan, penghormatan martabat manusia, hak-hak asasi manusia dan sebagainya. Bukan semata keshalihan ritual individual,” tuturnya.

Dia juga menyarankan adanya pelatihan pagi para pendidik di sekolah tentang moderasi beragama. Karena menurutnya, menuju pada sikap ramah terhadap perbedaan, diperlukan pemaham yang baik terhadap ajaran-ajaran agama.

“Menghadirkan tafsir agama yang komprehensif mendalam, khususnya bagi pendidik menjadi penting sehingga mereka tidak gamang untuk bersikap ramah terhadap orang lain yang berbeda,” tuturnya.

Menurut dia, hingga saat ini dirinya melihat banyak pendidik yang hanya bersikap toleran pasif, hanya karena ada aturan di sekolah, bukan berangkat dari kesadaran itu bagian dari ajaran agama. Tapi bila tenaga pendidk sudah memiliki sikap dan kesadaran akan adanyaa perbedaan dan keharusan saling menghormati, maka selanjutnya bagaimana mensosialisasikan itu kepada anak didiknya.

“Di sisi lain perlu memasukkan moderasi beragama dalam kurikulum pendidikan atau menjadi perspektif setiap pendidik,” tandasnya.

Apalagi, sambung dia, persaudaraan antar iman sebetulnya telah dicontohkan oleh generasi sebelumnya. Namun dia menyebut bahwa contoh saja tidak cukup, karena untuk terinternalisasi dalam kesadaran, diperlukan penanaman ideologi yang kuat tentang pentingnya persaudaraan dan penghormatan terhadap perbedaan.

“Sekarang terbukti, dengan doktrin-doktrin dari pendidik yang mengajarkan Islam atau beragama yang eksklusif, akhirnya anak didik mulai menyalahkan orang tuanya yang mengajarkan persaudaraan, meyalahkan guru-gurunya dan pendahulunya,” ucapnya.

Oleh sebab itu, Nahe’i menyebut bahwa secara formal apa yang telah diputuskan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri ini menjadi kesepakatan nasional untuk tujuan yang baik, yaitu menjaga keragaman dan saling menghormati.

“Secara subtantif, saya melihat bahwa negara atau lembaga pendidikan seharusnya memang tidak mengatur apalagi mewajibkan sesuatu yang hakikatnya sudah diwajibkan dan diatur oleh agama. Biarlah menjadi domain agama yang bersangkutan,” ucap peraih Doktoral Hukum Islam darii Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya itu.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1409 seconds (0.1#10.140)