Pengamat Sebut Isu Kudeta Demokrat Upaya Playing Victim AHY

Selasa, 09 Februari 2021 - 16:20 WIB
loading...
Pengamat Sebut Isu Kudeta...
Isu kudeta Partai Demokrat yang dilontarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beberapa waktu lalu dengan menyeret nama Moeldoko merupakan playing victim. Foto/SINDOnews/Yulianto
A A A
JAKARTA - Isu kudeta Partai Demokrat yang dilontarkan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) beberapa waktu lalu dengan menyeret nama Jenderal (Purn) Moeldoko merupakan playing victim untuk menutupi kegagalannya memimpin Partai Demokrat.

Dengan menyeret nama Moeldoko, maka dipastikan isu ini akan bisa menyasar Presiden Joko Widodo (Jokowi). (Baca juga: Ketum Demokrat Pertama Beri Petuah kepada AHY soal Memimpin Partai)

"AHY adalah SBY. Semua orang tahu ini," kata pengamat politik Ninoy Karundeng melalui keterangan tertulisnya, Selasa (9/2/2021).

(Baca juga: Rocky Gerung Sebut PDIP Tak Punya Kader Sekualitas Anies-AHY, Bagaimana Mengujinya?)

Menurut Ninoy, yang juga pegiat medsos ini, kepemimpinan AHY terhadap Partai Demokrat hanya mengandalkan perintah 'Pepo'. Akibatnya elektabilitas Demokrat terjun bebas. Dengan elektabilitas 3,2, Demokrat diperkirakan tamat pada 2029 karena gagal masuk parliamentary threshold pada 2024.

"Lalu apa yang harus dilakukan AHY menurut titah SBY? Playing victim, sok dizalimi ala SBY-AHY. Isunya kudeta Partai Demokrat, yang melibatkan Moeldoko. Dengan menyeret Moeldoko dua target bisa dicapai, termasuk menyerang Jokowi," ucapnya.

"Caranya? AHY membusukkan Jenderal (Purn) Moeldoko yang notabene sebagai salah satu benteng Jokowi berlatar belakang TNI selain AM Hendropriyono dan LBP. Moeldoko adalah orang penting Jokowi. Maka taktik politik AHY adalah dengan mengadu domba Jokowi dan Moeldoko," sambungnya.

(Baca juga: Demokrat Ungkap Influencer dan Buzzer Istana Terlibat Isu Kudeta AHY, Ada Apa?)

Menurut Ninoy, tujuan AHY melontarkan isu kudeta Demokrat adalah memisahkan Moeldoko dari Jokowi. Karena faktanya, Jokowi yang sipil, membutuhkan dukungan militer.

"AHY yang baperan punya harapan. Dia menjadi alat proxy musuh Jokowi. Dia berharap, dengan dipecatnya Moeldoko, salah satu benteng Jokowi berlatar belakang TNI pun tumbang," jelas Ninoy.

Lebih parah sambungnya, AHY menggoreng isu kudeta internal Demokrat sampai menyurati Jokowi. Menurutnya, hal ini tampak tidak nyambung. Namun, demi menyelamatkan diri dan keluarga, apapun dilakukan termasuk yang musykil sekalipun.

"Pun momen pemicu isu kudeta juga sepele: Moeldoko diajak ngopi bareng dengan politisi Demokrat anti AHY. Moeldoko foto bersama, tanpa membuat pernyataan apapun. Dia cuma mendengar curhatan politisi Demokrat. AHY tak tahu pergaulan elite politikus antar partai: “di atas tertawa minum wine di bawah biarkan saling tikam," kata Ninoy.

Sementara itu, Politikus Partai Demokrat Andi Mallarangeng mengungkap isi pertemuan Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko dengan kader Demokrat. Berdasarkan laporan kader, Andi mengatakan Moeldoko berbicara terkait rencana pengambilalihan PD melalui kongres luar biasa (KLB).

"Ya yang kita dapat laporan dari kader-kader, yang bertemu dengan Pak Moeldoko yang sudah kita bikin berita acaranya, bahwa beliau bertemu itu, ya kader-kader kita kaget karena tiba-tiba ada Pak Moeldoko, lalu di situ berbicara KLB, rencana beliau untuk mengambil alih Partai Demokrat melalui kongres luar biasa," ungkap Andi.

Menurutnya, Moeldoko bahkan mengatakan telah mendapat restu dari Pak Lurah, termasuk sejumlah menteri salah satunya Menkum HAM Yasonna Laoly. "Jadi makanya kemudian kita kirim surat kepada Pak Jokowi, suratnya sangat sopan, menanyakan apa benar yang dikatakan Pak Moeldoko ini. Kan begitu, mudah-mudahan tidak benar," tuturnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan pernyataan politikus Senior Partai Demokrat. Ahmad Yahya. Secara terpisah, ia membantah adanya keterlibatan pihak eksternal dalam gerakan kudeta yang disampaikan AHY. "Padahal hal ini sepenuhnya urusan internal partai," ujar Ahmad Yahya.

Ia juga mengatakan usulan Kongres Luar Biasa (KLB) yang disebut-sebut AHY sebagai tindakan inkonstitusional, merupakan hal yang sah dan diatur dalam AD/ART Demokrat untuk menguji kemampuan atau kepiawan seorang pimpinan dalam membesarkan partai.

Dalam usulan KLB, DPC dan DPD menjadi pemegang hak suara sepenuhnya, sementara DPP hanya memiliki satu suara. "Apabila itu dilarang menjadi satu hal yang tabu, maka yang bersangkutan tidak memahami aturan dan asas dalam berorganisasi," kata Ahmad Yahya.
(maf)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1307 seconds (0.1#10.140)