Demokrat Ungkap Influencer dan Buzzer Istana Terlibat Isu Kudeta AHY, Ada Apa?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dalam analisis big data yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) DPP Partai Demokrat , terungkap bahwa banyaknya akun buzzer Istana yang selama ini mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut terlibat dalam percakapan kudeta Partai Demokrat di media sosial Twitter. Dan mereka menjadi kelompok yang kontra Demokrat dan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono ( AHY ).
Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Tomi Satryatomo menjelaskan pihaknya mencoba memetakan pola dengan Social Network Analysis yakni, kubu yang pro AHY dan Demokrat dan kubu yang kontra.
“Apa isi dari masing-masing klaster? Ini yang pro, kalau kita zoom in, ada dua pola, pertama organik, akun yang terlibat akun real, bukan ternakan, bersifat conversational atau bercakap selayaknya manusia, ngobrol. Tidak ada tanda-tanda digunakan akun ternakan, akun bot, tidak ada bicara satu arah,” papar Tomi dalam webinar yang bertajuk “Prahara Hostile Take Over Parpol Dalam Arena Demokrasi”, Minggu (7/2/2021) malam.
Tomi menjelaskan kondisi yang berbeda ditemukan dalam kubu kontra, kalau dilihat poalnya dan akun-akun yang aktif di situ, diidentifikasi bahwa akun-akun yang terlibat merupakan akun ternakan atau akun anonim, akun yang tidak jelas dan polanya broadcast, searah dan tidak ada respons seperti halnya percakapan.
“Yang pro lebih manusiawi, yang kontra ada indikasi digunakan akun-akun buzzer atau akun-akun ternakan,” terangnya.
Berdasarkan analisa, kata Tomi, Balitbang Demokrat menyimpulkan bahwa dalam 7 hari pemantauan, Demokrat maupun AHY menjadi media darling dibandingkan parpol ataupun tokoh lain, dalam hal ini Moeldoko. Kubu pro Demokrat juga lebih produktif, narasinya terkait isu soliditas partai, institusi partai dan tokoh partai.
Sementara kubu kontra, slanjut dia, alih-alih menjawab substansi, mereka malah menjawabnya dengan doxing, hoaks dan disinformasi sebagai kontra naratif. Dan analisa konten pada akun-akun di kubu kontra Demokrat, memperlihatkan rekam jejak dukungan pada Presiden Jokowi dan juga dukungan pada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
“Upaya pengambilalihan paksa ini melejitkan popularitas dan favorabilitas Partai Demokrat maupun Ketum AHY, bahkan dibanding partai dan tokoh yang lain,” ungkapnya.
Dengan demikian, Tomi menyimpulkan bahwa klaim Moeldoko bahwa pengambilalihan paksa Demokrat ini urusan pribadi bukan sebagai KSP dengan sendirinya terbantahkan dengan hadirnya akun-akun pemerintah dengan konten yang masif melakukan kontra narasi.
“Akun Pak Moeldoko praktis tak terlihat, seharusnya kalau urusan pribadi akunnya yang terlihat tapi yang dominan akun-akun influencer dan buzzer yang selama ini dekat Istana,” imbuh Tomi.
Adapun kontra narasi dengan doxing, hoaks dan disinformasi, dia menilai bahwa hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya argumen yang substantif. Publik pun tidak bersimpati dengan argument persoalan internal yang dieksternalisasi maupun argument ‘ngopi-ngopi’.
“Selain popularitas dan favorabilitas yang melejit, manuver Pak Moeldoko tidak mengundang simpati publik. Terlihat besarnya sentimen yang ada, padahal pemerintah sedang membutuhkan dukungan publik. Kita mendapat kabar Presiden Jokowi menegur Pak Moeldoko, kemudian menjadi beban dan bukan menjadi keuntungan bagi pemerintah,” pungkasnya.
Kepala Balitbang DPP Partai Demokrat, Tomi Satryatomo menjelaskan pihaknya mencoba memetakan pola dengan Social Network Analysis yakni, kubu yang pro AHY dan Demokrat dan kubu yang kontra.
“Apa isi dari masing-masing klaster? Ini yang pro, kalau kita zoom in, ada dua pola, pertama organik, akun yang terlibat akun real, bukan ternakan, bersifat conversational atau bercakap selayaknya manusia, ngobrol. Tidak ada tanda-tanda digunakan akun ternakan, akun bot, tidak ada bicara satu arah,” papar Tomi dalam webinar yang bertajuk “Prahara Hostile Take Over Parpol Dalam Arena Demokrasi”, Minggu (7/2/2021) malam.
Tomi menjelaskan kondisi yang berbeda ditemukan dalam kubu kontra, kalau dilihat poalnya dan akun-akun yang aktif di situ, diidentifikasi bahwa akun-akun yang terlibat merupakan akun ternakan atau akun anonim, akun yang tidak jelas dan polanya broadcast, searah dan tidak ada respons seperti halnya percakapan.
“Yang pro lebih manusiawi, yang kontra ada indikasi digunakan akun-akun buzzer atau akun-akun ternakan,” terangnya.
Berdasarkan analisa, kata Tomi, Balitbang Demokrat menyimpulkan bahwa dalam 7 hari pemantauan, Demokrat maupun AHY menjadi media darling dibandingkan parpol ataupun tokoh lain, dalam hal ini Moeldoko. Kubu pro Demokrat juga lebih produktif, narasinya terkait isu soliditas partai, institusi partai dan tokoh partai.
Sementara kubu kontra, slanjut dia, alih-alih menjawab substansi, mereka malah menjawabnya dengan doxing, hoaks dan disinformasi sebagai kontra naratif. Dan analisa konten pada akun-akun di kubu kontra Demokrat, memperlihatkan rekam jejak dukungan pada Presiden Jokowi dan juga dukungan pada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
“Upaya pengambilalihan paksa ini melejitkan popularitas dan favorabilitas Partai Demokrat maupun Ketum AHY, bahkan dibanding partai dan tokoh yang lain,” ungkapnya.
Dengan demikian, Tomi menyimpulkan bahwa klaim Moeldoko bahwa pengambilalihan paksa Demokrat ini urusan pribadi bukan sebagai KSP dengan sendirinya terbantahkan dengan hadirnya akun-akun pemerintah dengan konten yang masif melakukan kontra narasi.
“Akun Pak Moeldoko praktis tak terlihat, seharusnya kalau urusan pribadi akunnya yang terlihat tapi yang dominan akun-akun influencer dan buzzer yang selama ini dekat Istana,” imbuh Tomi.
Adapun kontra narasi dengan doxing, hoaks dan disinformasi, dia menilai bahwa hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak punya argumen yang substantif. Publik pun tidak bersimpati dengan argument persoalan internal yang dieksternalisasi maupun argument ‘ngopi-ngopi’.
“Selain popularitas dan favorabilitas yang melejit, manuver Pak Moeldoko tidak mengundang simpati publik. Terlihat besarnya sentimen yang ada, padahal pemerintah sedang membutuhkan dukungan publik. Kita mendapat kabar Presiden Jokowi menegur Pak Moeldoko, kemudian menjadi beban dan bukan menjadi keuntungan bagi pemerintah,” pungkasnya.
(kri)