Soal Perubahan Iklim, Indonesia Pegang Kesepakatan Perjanjian Internasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Isu perubahan iklim terus bergulir dengan segala dimensinya. Dalam kaitan ini, Indonesia berpegang teguh pada komitmen dan keputusan perjanjian internasional sebagai pedoman bersama untuk melakukan langkah dan tindakan nyata, maupun untuk mengatasi dampaknya.
(Baca juga: Adaptasi Perubahan Iklim, Jokowi Ajak Negara di Dunia Bersinergi)
Dalam kesepakatan multilateral seperti The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan juga Paris Agreement itu disampaikan bahwa masing-masing negara melakukan perannya sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya dan dalam hal itu ada hal yang sangat penting bahwa konvensi Perubahan Iklim mengakui prinsip Common but differentiated responsibilities /CBDR.
Berdasarkan itu, kita memiliki komitmen bahwa isu perubahan iklim yang masing-masing negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan global tadi itu dengan Nationally Determined Contributions (NDC).
"Tujuan bersama negara maju dan berkembang memiliki kondisi berbeda (prinsip tanggung jawab bersama tapi berbeda). Ini sering terlupakan saja, padahal dalam perjanjian sendiri ada istilah perjanjian negara-negara anek-1 atau nonanek Indonesia, tetapi dalam implementasi terkesan bahwa tanggungjawab dan kewajiban seluruh negara dianggap sama," kata Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, Selasa (2/2/2021).
(Baca juga: Dubes Inggris Bahas Kerja Sama Perubahan Iklim dengan NU dan Muhammadiyah)
Lebih lanjut dikemukakan Mahendra, prinsip itu juga kadang dilupakan, di level antar negara juga begitu, apakah itu dari kacamata menjaga pertumbuhan, dan mengatasi kemiskinan, itu dianggap bukan merupakan hak yang sama bagi negara berkembang untuk menjaga keseimbangan, menjaga lingkungan dan untuk pembangunan sosial ekonomi (bottom line).
Mahendera menjelaskan, di negara-negara maju, isu kesenjangan sosial atau pembangunan sosial-ekonomi diangap sebagai hampir memasuki masa puncak dan tidak lagi jadi isu dan tidak terkait dengan iklim. Persepsi yang berbeda ini atau cara penyampaian dan cara pandang berbeda, bisa menimbulkan salah pengertian.
"Ini yang lagi lagi, diplomasi iklim harus disampaikan konteks dan komitmen serta tujuan yang menyeluruh, dan apa yang sudah disepakati bersama tidak dipenggal penggal sehingga merugikan pihak pihak tertentu. Kemudian terkait dengan CBDR, hak-hak negara berkembang untuk menjaga keseimbangan lingkungannya juga tak terganggu," ujar Mahendra.
Persoalan ini lanjut Mahendra, yang terkadang kita jumpai, baik di tingkat multilateral yang ingin memaksakan pada pihak tertentu yang seakan akan sama atau dalam hubungan bilateral yang berkehendak sama, bahkan di tingkat yang sifatnya bukan pemerintah, baik bisnis, lembaga keuangan, semata-mata menerapkan standar tertentu harus begitu, karena alasan standar di negara pusatnya seperti itu, padahal dia ada di negara berkembang. Atau melakukan pembiayaan finansial di negara berkembang yang tujuannya mengatasi kemiskian.
Belum lagi, seakan-akan dinilai dan kemudian diawasi oleh satu proses yang juga tidak mengindahkan konteks yang besar tadi, sehingga akhirnya mereka takut untuk melakukan pembiayaan pembangunan atau kegiatan bisnis karena ada pengawasan dari konsultan, LSM, atau seakan akan ada teknologi pengawasan satelit.
Bahwa kata dia, mekanisme yang sebenarnya dalam proses yang sudah mapan dan diakui, apakah melalui audit dan survey, malah ada lagi yang melakukan pengawasan dari atas yang tidak sesuai dengan proses, kewenangan dan yurisdiksi dari negara di tempat dilakukan.
"Ini yang persoalan, balik lagi ke prioritas dan nilai-niali yang berbeda, padahal sudah ada perjanjiannya dan ini diperlukan untuk menempatkan pada konteks yang benar dan terus menjalankan komitmen kita yang sudah dijalankan tetapi di lain pihak mengamankan kepentingan nasional kita yang sudah diakui dunia internasional untuk tetap bisa dijalankan," ungkapnya.
(Baca juga: Adaptasi Perubahan Iklim, Jokowi Ajak Negara di Dunia Bersinergi)
Dalam kesepakatan multilateral seperti The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan juga Paris Agreement itu disampaikan bahwa masing-masing negara melakukan perannya sesuai dengan kemampuan dan tanggungjawabnya dan dalam hal itu ada hal yang sangat penting bahwa konvensi Perubahan Iklim mengakui prinsip Common but differentiated responsibilities /CBDR.
Berdasarkan itu, kita memiliki komitmen bahwa isu perubahan iklim yang masing-masing negara memiliki kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan global tadi itu dengan Nationally Determined Contributions (NDC).
"Tujuan bersama negara maju dan berkembang memiliki kondisi berbeda (prinsip tanggung jawab bersama tapi berbeda). Ini sering terlupakan saja, padahal dalam perjanjian sendiri ada istilah perjanjian negara-negara anek-1 atau nonanek Indonesia, tetapi dalam implementasi terkesan bahwa tanggungjawab dan kewajiban seluruh negara dianggap sama," kata Wakil Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar, Selasa (2/2/2021).
(Baca juga: Dubes Inggris Bahas Kerja Sama Perubahan Iklim dengan NU dan Muhammadiyah)
Lebih lanjut dikemukakan Mahendra, prinsip itu juga kadang dilupakan, di level antar negara juga begitu, apakah itu dari kacamata menjaga pertumbuhan, dan mengatasi kemiskinan, itu dianggap bukan merupakan hak yang sama bagi negara berkembang untuk menjaga keseimbangan, menjaga lingkungan dan untuk pembangunan sosial ekonomi (bottom line).
Mahendera menjelaskan, di negara-negara maju, isu kesenjangan sosial atau pembangunan sosial-ekonomi diangap sebagai hampir memasuki masa puncak dan tidak lagi jadi isu dan tidak terkait dengan iklim. Persepsi yang berbeda ini atau cara penyampaian dan cara pandang berbeda, bisa menimbulkan salah pengertian.
"Ini yang lagi lagi, diplomasi iklim harus disampaikan konteks dan komitmen serta tujuan yang menyeluruh, dan apa yang sudah disepakati bersama tidak dipenggal penggal sehingga merugikan pihak pihak tertentu. Kemudian terkait dengan CBDR, hak-hak negara berkembang untuk menjaga keseimbangan lingkungannya juga tak terganggu," ujar Mahendra.
Persoalan ini lanjut Mahendra, yang terkadang kita jumpai, baik di tingkat multilateral yang ingin memaksakan pada pihak tertentu yang seakan akan sama atau dalam hubungan bilateral yang berkehendak sama, bahkan di tingkat yang sifatnya bukan pemerintah, baik bisnis, lembaga keuangan, semata-mata menerapkan standar tertentu harus begitu, karena alasan standar di negara pusatnya seperti itu, padahal dia ada di negara berkembang. Atau melakukan pembiayaan finansial di negara berkembang yang tujuannya mengatasi kemiskian.
Belum lagi, seakan-akan dinilai dan kemudian diawasi oleh satu proses yang juga tidak mengindahkan konteks yang besar tadi, sehingga akhirnya mereka takut untuk melakukan pembiayaan pembangunan atau kegiatan bisnis karena ada pengawasan dari konsultan, LSM, atau seakan akan ada teknologi pengawasan satelit.
Bahwa kata dia, mekanisme yang sebenarnya dalam proses yang sudah mapan dan diakui, apakah melalui audit dan survey, malah ada lagi yang melakukan pengawasan dari atas yang tidak sesuai dengan proses, kewenangan dan yurisdiksi dari negara di tempat dilakukan.
"Ini yang persoalan, balik lagi ke prioritas dan nilai-niali yang berbeda, padahal sudah ada perjanjiannya dan ini diperlukan untuk menempatkan pada konteks yang benar dan terus menjalankan komitmen kita yang sudah dijalankan tetapi di lain pihak mengamankan kepentingan nasional kita yang sudah diakui dunia internasional untuk tetap bisa dijalankan," ungkapnya.
(maf)