Presidential Threshold dan Pilpres Kompetitif

Selasa, 19 Januari 2021 - 05:04 WIB
loading...
A A A
Demokrasi yang sehat selalu membutuhkan dua hal sekaligus, yaitu di satu sisi meniscayakan sebanyak-banyaknya partisipasi warga untuk memilih dan di sisi yang lain, pilihan mereka mesti didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang jelas.

Dalam konteks ini, berbagai studi menunjukkan bahwa pemilihan yang kompetitif dipercaya mampu menciptakan rasionalitas pemilih karena pemilih memiliki tingkat pengetahuan politik yang lebih tinggi pada isu-isu politik sebagai akibat dari tingginya intensitas kampanye oleh para kandidat yang bersaing sehingga jumlah informasi politik akan semakin beragam dan terekspos secara luas. Berbagai macam informasi ini pada akhirnya akan memengaruhi kualitas wacana pemilih.

Ketiga, dalam rangka meningkatkan responsifitas atau daya tanggap pemimpin terpilih. Jika pemilu yang berlangsung secara kompetitif akan merangsang nalar kritis pemilih, salah satu efek dari pemilihan kompetitif adalah ia akan mempromosikan sebuah model kampanye di mana ide-ide kebijakan diperdebatkan. Konsekuensinya, jika satu calon dianggap tidak memiliki kebijakan yang disukai oleh mayoritas pemilih, calon lain akan mendapat kesempatan untuk memperoleh dukungan yang lebih populer dengan menawarkan platform yang lebih dekat dengan preferensi para pemilih. Dengan demikian, pemilu yang kompetitif akan sangat responsif terhadap "kehendak" pemilih.

Pembenahan melalui Jalur Undang-Undang
Sekalipun ketentuan tentang ambang batas pencalonan oleh MK dinyatakan konstitusional, tidak berarti kemudian menutup kesempatan bagi terselenggaranya pilpres yang kompetitif. Masih ada harapan untuk membuat pelaksanaan pilpres menjadi lebih kompetitif lagi melalui perubahan dalam UU Pemilu, yaitu merevisi ketentuan tentang pembentukan koalisi.

Dengan hanya mempersyaratkan ambang batas pencalonan sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu DPR secara nasional, sebenarnya masih terbuka peluang munculnya 4 atau 5 pasangan calon. Namun, problemnya terletak pada tidak adanya batasan jumlah koalisi sehingga kekuatan parpol hanya terkonsentrasi di dua koalisi.

Saat ini, UU Pemilu baru mengamanatkan agar muncul paling sedikit dua pasangan calon dalam pilpres. Hal ini tercantum dalam Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi: “KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: (a) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau (b) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon”. Oleh sebab itu, berbeda dengan pilkada, dalam pilpres mustahil akan lahir calon tunggal.

Ke depan, sudah semestinya ketentuan di atas direvisi dengan memuat ketentuan bahwa pembentukan koalisi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya mungkin dilakukan sepanjang hal tersebut masih membuka peluang bagi munculnya minimal tiga pasangan calon dalam pilpres sehingga parpol tidak akan membentuk koalisi yang sangat gemuk yang menyebabkan partai lainnya tidak memenuhi syarat mengajukan pasangan calon dalam pilpres. Dengan cara ini, amanat UUD 1945 tentang pilpres dua putaran diberi peluang untuk direalisasikan.

(bmm)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1391 seconds (0.1#10.140)