Presidential Threshold dan Pilpres Kompetitif
loading...
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
SALAH satu ciri penting dari pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah sifatnya yang kompetitif, dalam arti membuka peluang sebesar-besarnya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk ikut berkompetisi di dalamnya. Karena itu, menurut Albert Weale (2006), tidak ada dalam sejarah di mana pemilu yang hanya diikuti atau dimonopoli oleh satu pasangan calon yang kemudian dapat dikaitkan dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, kompetisi adalah suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem yang otoriter, absolut, dan meniadakan alternatif.
Sayangnya, kecenderungan yang terdapat dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) di era Reformasi adalah semakin terbatasnya jumlah calon. Tiga pelaksanaan pilpres di awal reformasi, yaitu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu menghadirkan lebih dari dua calon. Namun, setelahnya, yaitu pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 hanya tersedia dua pasangan calon.
Sejumlah pihak menengarai bahwa terbatasnya jumlah calon yang kemudian berkonsekuensi pada merosotnya derajat persaingan dalam pilpres, salah satunya disebabkan oleh aturan ambang batas pencalonan (presidential threshold) yang dipatok sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan yaitu memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dilandasi—salah satunya—oleh keinginan untuk mewujudkan kembali pilpres kompetitif yang membuka peluang bagi khalayak umum untuk mencalonkan diri sehingga pasangan calon tidak hanya didominasi oleh sosok itu-itu saja, pada 4 September 2020, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, mereka berdua memohon kepada MK untuk membatalkan pasal tersebut (a quo).
Di luar ekspektasi, melalui Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada Kamis, 14 Januari 2020, mayoritas hakim, yakni 5 dari 9 Hakim MK menyatakan permohonan pengujian UU tersebut dinyatakan tidak dapat diterima [NO (niet ontvankelijke verklaard)] karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Amanat Pilpres yang Kompetitif
UUD 1945 mengamanatkan agar pilpres berlangsung secara kompetitif, yaitu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pilpres dua putaran dengan syarat apabila di putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Menurut Putusan MK 50/PUU-XII/2014, pelaksanaan pilpres dua putaran hanya mungkin dilakukan jika terdapat minimal tiga pasangan calon. Jika hanya terdapat dua pasangan calon, pilpres cukup dilaksanakan dalam satu putaran di mana pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhatikan lagi persebaran suaranya di masing-masing provinsi. Dengan demikian, semangat yang terkandung dalam konstitusi adalah keinginan untuk mewujudkan pilpres yang sangat kompetitif dengan tersedianya berbagai alternatif pilihan calon.
Ada beberapa urgensi mengapa pilpres harus bersifat kompetitif. Pertama, meningkatkan kuantitas jumlah partisipasi pemilih. Menurut kesimpulan dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar (Heather K. Evans, dkk: 2014), pemilu yang berlangsung secara kompetitif akan mendorong pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena pemilihan yang kompetitif akan menghasilkan tingkat pengeluaran kampanye yang lebih tinggi, liputan media yang lebih besar, dan keterlibatan berbagai kelompok dan partai yang lebih kuat. Hal ini akan menarik minat warga untuk berpartisipasi dengan memberikan suaranya.
Kedua, meningkatkan kualitas partisipasi dalam arti mendorong para pemilih tidak asal memilih, tetapi pilihannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional dengan menjatuhkan pilihan hanya pada calon yang diprediksi dapat mewujudkan kepentingan dan aspirasinya.
Demokrasi yang sehat selalu membutuhkan dua hal sekaligus, yaitu di satu sisi meniscayakan sebanyak-banyaknya partisipasi warga untuk memilih dan di sisi yang lain, pilihan mereka mesti didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang jelas.
Dalam konteks ini, berbagai studi menunjukkan bahwa pemilihan yang kompetitif dipercaya mampu menciptakan rasionalitas pemilih karena pemilih memiliki tingkat pengetahuan politik yang lebih tinggi pada isu-isu politik sebagai akibat dari tingginya intensitas kampanye oleh para kandidat yang bersaing sehingga jumlah informasi politik akan semakin beragam dan terekspos secara luas. Berbagai macam informasi ini pada akhirnya akan memengaruhi kualitas wacana pemilih.
Ketiga, dalam rangka meningkatkan responsifitas atau daya tanggap pemimpin terpilih. Jika pemilu yang berlangsung secara kompetitif akan merangsang nalar kritis pemilih, salah satu efek dari pemilihan kompetitif adalah ia akan mempromosikan sebuah model kampanye di mana ide-ide kebijakan diperdebatkan. Konsekuensinya, jika satu calon dianggap tidak memiliki kebijakan yang disukai oleh mayoritas pemilih, calon lain akan mendapat kesempatan untuk memperoleh dukungan yang lebih populer dengan menawarkan platform yang lebih dekat dengan preferensi para pemilih. Dengan demikian, pemilu yang kompetitif akan sangat responsif terhadap "kehendak" pemilih.
Pembenahan melalui Jalur Undang-Undang
Sekalipun ketentuan tentang ambang batas pencalonan oleh MK dinyatakan konstitusional, tidak berarti kemudian menutup kesempatan bagi terselenggaranya pilpres yang kompetitif. Masih ada harapan untuk membuat pelaksanaan pilpres menjadi lebih kompetitif lagi melalui perubahan dalam UU Pemilu, yaitu merevisi ketentuan tentang pembentukan koalisi.
Dengan hanya mempersyaratkan ambang batas pencalonan sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu DPR secara nasional, sebenarnya masih terbuka peluang munculnya 4 atau 5 pasangan calon. Namun, problemnya terletak pada tidak adanya batasan jumlah koalisi sehingga kekuatan parpol hanya terkonsentrasi di dua koalisi.
Saat ini, UU Pemilu baru mengamanatkan agar muncul paling sedikit dua pasangan calon dalam pilpres. Hal ini tercantum dalam Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi: “KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: (a) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau (b) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon”. Oleh sebab itu, berbeda dengan pilkada, dalam pilpres mustahil akan lahir calon tunggal.
Ke depan, sudah semestinya ketentuan di atas direvisi dengan memuat ketentuan bahwa pembentukan koalisi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya mungkin dilakukan sepanjang hal tersebut masih membuka peluang bagi munculnya minimal tiga pasangan calon dalam pilpres sehingga parpol tidak akan membentuk koalisi yang sangat gemuk yang menyebabkan partai lainnya tidak memenuhi syarat mengajukan pasangan calon dalam pilpres. Dengan cara ini, amanat UUD 1945 tentang pilpres dua putaran diberi peluang untuk direalisasikan.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
Dosen dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta
SALAH satu ciri penting dari pelaksanaan pemilu yang demokratis adalah sifatnya yang kompetitif, dalam arti membuka peluang sebesar-besarnya kepada kader-kader terbaik bangsa untuk ikut berkompetisi di dalamnya. Karena itu, menurut Albert Weale (2006), tidak ada dalam sejarah di mana pemilu yang hanya diikuti atau dimonopoli oleh satu pasangan calon yang kemudian dapat dikaitkan dengan nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian, kompetisi adalah suatu keharusan dan tidak dapat dielakkan. Menghilangkan persaingan berarti menyeret sistem politiknya menjadi sistem yang otoriter, absolut, dan meniadakan alternatif.
Sayangnya, kecenderungan yang terdapat dalam pelaksanaan pemilihan umum presiden (pilpres) di era Reformasi adalah semakin terbatasnya jumlah calon. Tiga pelaksanaan pilpres di awal reformasi, yaitu pada 1999, 2004, dan 2009 selalu menghadirkan lebih dari dua calon. Namun, setelahnya, yaitu pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019 hanya tersedia dua pasangan calon.
Sejumlah pihak menengarai bahwa terbatasnya jumlah calon yang kemudian berkonsekuensi pada merosotnya derajat persaingan dalam pilpres, salah satunya disebabkan oleh aturan ambang batas pencalonan (presidential threshold) yang dipatok sangat tinggi. Berdasarkan ketentuan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik atau gabungan partai politik yang akan mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi persyaratan yaitu memperoleh kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Dilandasi—salah satunya—oleh keinginan untuk mewujudkan kembali pilpres kompetitif yang membuka peluang bagi khalayak umum untuk mencalonkan diri sehingga pasangan calon tidak hanya didominasi oleh sosok itu-itu saja, pada 4 September 2020, Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno telah mengajukan permohonan pengujian Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam petitumnya, mereka berdua memohon kepada MK untuk membatalkan pasal tersebut (a quo).
Di luar ekspektasi, melalui Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang dibacakan dalam Sidang Pleno MK yang terbuka untuk umum pada Kamis, 14 Januari 2020, mayoritas hakim, yakni 5 dari 9 Hakim MK menyatakan permohonan pengujian UU tersebut dinyatakan tidak dapat diterima [NO (niet ontvankelijke verklaard)] karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo.
Amanat Pilpres yang Kompetitif
UUD 1945 mengamanatkan agar pilpres berlangsung secara kompetitif, yaitu diikuti oleh lebih dari dua pasangan calon. Hal ini dapat dibaca dari ketentuan Pasal 6A ayat (4) UUD 1945 yang membuka peluang pelaksanaan pilpres dua putaran dengan syarat apabila di putaran pertama tidak ada pasangan calon yang mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara dalam pemilu dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.
Menurut Putusan MK 50/PUU-XII/2014, pelaksanaan pilpres dua putaran hanya mungkin dilakukan jika terdapat minimal tiga pasangan calon. Jika hanya terdapat dua pasangan calon, pilpres cukup dilaksanakan dalam satu putaran di mana pemenangnya adalah pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak tanpa memperhatikan lagi persebaran suaranya di masing-masing provinsi. Dengan demikian, semangat yang terkandung dalam konstitusi adalah keinginan untuk mewujudkan pilpres yang sangat kompetitif dengan tersedianya berbagai alternatif pilihan calon.
Ada beberapa urgensi mengapa pilpres harus bersifat kompetitif. Pertama, meningkatkan kuantitas jumlah partisipasi pemilih. Menurut kesimpulan dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar (Heather K. Evans, dkk: 2014), pemilu yang berlangsung secara kompetitif akan mendorong pemilih untuk menggunakan hak pilihnya karena pemilihan yang kompetitif akan menghasilkan tingkat pengeluaran kampanye yang lebih tinggi, liputan media yang lebih besar, dan keterlibatan berbagai kelompok dan partai yang lebih kuat. Hal ini akan menarik minat warga untuk berpartisipasi dengan memberikan suaranya.
Kedua, meningkatkan kualitas partisipasi dalam arti mendorong para pemilih tidak asal memilih, tetapi pilihannya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional dengan menjatuhkan pilihan hanya pada calon yang diprediksi dapat mewujudkan kepentingan dan aspirasinya.
Demokrasi yang sehat selalu membutuhkan dua hal sekaligus, yaitu di satu sisi meniscayakan sebanyak-banyaknya partisipasi warga untuk memilih dan di sisi yang lain, pilihan mereka mesti didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang jelas.
Dalam konteks ini, berbagai studi menunjukkan bahwa pemilihan yang kompetitif dipercaya mampu menciptakan rasionalitas pemilih karena pemilih memiliki tingkat pengetahuan politik yang lebih tinggi pada isu-isu politik sebagai akibat dari tingginya intensitas kampanye oleh para kandidat yang bersaing sehingga jumlah informasi politik akan semakin beragam dan terekspos secara luas. Berbagai macam informasi ini pada akhirnya akan memengaruhi kualitas wacana pemilih.
Ketiga, dalam rangka meningkatkan responsifitas atau daya tanggap pemimpin terpilih. Jika pemilu yang berlangsung secara kompetitif akan merangsang nalar kritis pemilih, salah satu efek dari pemilihan kompetitif adalah ia akan mempromosikan sebuah model kampanye di mana ide-ide kebijakan diperdebatkan. Konsekuensinya, jika satu calon dianggap tidak memiliki kebijakan yang disukai oleh mayoritas pemilih, calon lain akan mendapat kesempatan untuk memperoleh dukungan yang lebih populer dengan menawarkan platform yang lebih dekat dengan preferensi para pemilih. Dengan demikian, pemilu yang kompetitif akan sangat responsif terhadap "kehendak" pemilih.
Pembenahan melalui Jalur Undang-Undang
Sekalipun ketentuan tentang ambang batas pencalonan oleh MK dinyatakan konstitusional, tidak berarti kemudian menutup kesempatan bagi terselenggaranya pilpres yang kompetitif. Masih ada harapan untuk membuat pelaksanaan pilpres menjadi lebih kompetitif lagi melalui perubahan dalam UU Pemilu, yaitu merevisi ketentuan tentang pembentukan koalisi.
Dengan hanya mempersyaratkan ambang batas pencalonan sebesar 20% dari jumlah kursi DPR atau 25% dari suara sah pemilu DPR secara nasional, sebenarnya masih terbuka peluang munculnya 4 atau 5 pasangan calon. Namun, problemnya terletak pada tidak adanya batasan jumlah koalisi sehingga kekuatan parpol hanya terkonsentrasi di dua koalisi.
Saat ini, UU Pemilu baru mengamanatkan agar muncul paling sedikit dua pasangan calon dalam pilpres. Hal ini tercantum dalam Pasal 229 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi: “KPU menolak pendaftaran Pasangan Calon dalam hal: (a) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan dari seluruh Partai Politik Peserta Pemilu; atau (b) pendaftaran 1 (satu) Pasangan Calon diajukan oleh gabungan partai politik Peserta Pemilu yang mengakibatkan gabungan Partai Politik Peserta Pemilu lainnya tidak dapat mendaftarkan Pasangan Calon”. Oleh sebab itu, berbeda dengan pilkada, dalam pilpres mustahil akan lahir calon tunggal.
Ke depan, sudah semestinya ketentuan di atas direvisi dengan memuat ketentuan bahwa pembentukan koalisi parpol dalam mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya mungkin dilakukan sepanjang hal tersebut masih membuka peluang bagi munculnya minimal tiga pasangan calon dalam pilpres sehingga parpol tidak akan membentuk koalisi yang sangat gemuk yang menyebabkan partai lainnya tidak memenuhi syarat mengajukan pasangan calon dalam pilpres. Dengan cara ini, amanat UUD 1945 tentang pilpres dua putaran diberi peluang untuk direalisasikan.
Lihat Juga: PDIP Anggap Janggal Hakim PTUN Tak Menerima Gugatan Pencalonan Gibran: Kita Menang Dismissal
(bmm)