Konstitusi Tak Kenal Oposisi, Pantas Saja Demokrat, PKS dan PAN Memble
loading...
A
A
A
JAKARTA - Salah satu hal yang membuat demokrasi Indonesia dinilai mundur adalah melemahnya peran oposisi . Dalam praktik demokrasi Indonesia pasca reformasi, belum ada partai yang benar-benar bertindak sebagai oposisi.
(BACA JUGA : Blusukan, Cara Risma Pinjam Tangan Anies untuk Dongkrak Popularitas )
PDIP kerap dikecualikan karena setidaknya selama 10 tahun masa kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak terlibat di dalam pemerintahan. Tetapi tetap saja PDIP juga dinilai tak pernah memerankan oposisi sesungguhnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengakui istilah oposisi memang tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia. Tak heran jika peran Partai Demokrat , PKS dan PAN selama masa pemerintahan Jokowi pun terasa kurang gereget alias memble.
"PKS, Demokrat dan PAN sebagai counter party atau mitra kritis yang berperan sebagai kekuatan penyeimbang, melakukan check and balance terhadap jalannya pemerintahan," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Selasa (12/1/2021).
(BACA JUGA : Ratusan Nyawa Melayang Sia-Sia, Konflik Papua Harus Segera Diakhiri )
Menurut Karyono, sebagai counter party, tiga partai tersebut semestinya tidak asal beda, tidak asal 'nyerang' dan tidak selalumenilai kebijakan pemerintahan semuanya buruk. Memang, mengkritik pemerintah merupakan keniscayaan bagi partai di luar pemerintahan. "Tetapi, dalam melakukan kritik harus ada assesment atau penilaian yang didasarkan pada pertimbangan objektif," tutur dia.
Sayangnya, partai di luar pemerintah, terutama PKS, tampak asal beda sikap dengan pemerintah. PKS paling lantang mengkritik pemerintah seolah ingin menunjukkan posisi diametral dengan pemerintah.
(Baca:Pemerintah Klaim Indeks Demokrasi Indonesia 2019 Tertinggi Dalam 11 Tahun)
Ibarat permainan bola, kata Karyono, posisi PKS dengan pemerintahan Jokowi adalah di posisi head to head. Itu terjadi sejak 2014 hingga sekarang. Sikap kritis asal beda ini bisa dimaknai sebagai strategi PKS untuk mendulang suara di pemilu. Strategi itu memang berhasil meningkatkan perolehan suara PKS yang sempat terpuruk sejak kasus korupsi yang menjerat presiden PKS Lutfi Hasan Ishak.
Perolehan suara PKS dikatakan meningkat pada Pemilu 2019. Jadi, sikap kritis asal beda ala PKS ini tidak steril dari kepentingan politik elektoral. PKS nampaknya sadar, dukungan politik pemerintahan Jokowi terlalu kuat setelah masuknya Gerindra dalam pemerintahan semakin menambah kekuatan politik lebih dari 70 persen di parlemen.
(Baca:Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
"Karenanya, bagi PKS yang penting koar-koarnya. Tujuannya untuk mendelegitimasi pemerintah, tapi di sisi lain mereka membidik pemilih yang kecewa terhadap pemerintah untuk dikapitalisasi sebagai benefit politik," bebernya.
Sementara itu, dua partai lainnya, yaitu PAN dan Demokrat cenderung lebih memilih bermain aman dengan sesekali melakukan kritik-kritik halus pada pemerintah. "Meski demikian kedua partai ini lebih baik dari segi etika politik dibanding PKS," kata Karyono.
(BACA JUGA : Blusukan, Cara Risma Pinjam Tangan Anies untuk Dongkrak Popularitas )
PDIP kerap dikecualikan karena setidaknya selama 10 tahun masa kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak terlibat di dalam pemerintahan. Tetapi tetap saja PDIP juga dinilai tak pernah memerankan oposisi sesungguhnya.
(Baca:Sekali Lagi Demokrasi Dinilai Mundur, LP3ES: Indonesia Balik Kananke Tirani)
Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengakui istilah oposisi memang tidak dikenal dalam konstitusi Indonesia. Tak heran jika peran Partai Demokrat , PKS dan PAN selama masa pemerintahan Jokowi pun terasa kurang gereget alias memble.
"PKS, Demokrat dan PAN sebagai counter party atau mitra kritis yang berperan sebagai kekuatan penyeimbang, melakukan check and balance terhadap jalannya pemerintahan," ujar Karyono saat dihubungi SINDOnews, Selasa (12/1/2021).
(BACA JUGA : Ratusan Nyawa Melayang Sia-Sia, Konflik Papua Harus Segera Diakhiri )
Menurut Karyono, sebagai counter party, tiga partai tersebut semestinya tidak asal beda, tidak asal 'nyerang' dan tidak selalumenilai kebijakan pemerintahan semuanya buruk. Memang, mengkritik pemerintah merupakan keniscayaan bagi partai di luar pemerintahan. "Tetapi, dalam melakukan kritik harus ada assesment atau penilaian yang didasarkan pada pertimbangan objektif," tutur dia.
Sayangnya, partai di luar pemerintah, terutama PKS, tampak asal beda sikap dengan pemerintah. PKS paling lantang mengkritik pemerintah seolah ingin menunjukkan posisi diametral dengan pemerintah.
(Baca:Pemerintah Klaim Indeks Demokrasi Indonesia 2019 Tertinggi Dalam 11 Tahun)
Ibarat permainan bola, kata Karyono, posisi PKS dengan pemerintahan Jokowi adalah di posisi head to head. Itu terjadi sejak 2014 hingga sekarang. Sikap kritis asal beda ini bisa dimaknai sebagai strategi PKS untuk mendulang suara di pemilu. Strategi itu memang berhasil meningkatkan perolehan suara PKS yang sempat terpuruk sejak kasus korupsi yang menjerat presiden PKS Lutfi Hasan Ishak.
Perolehan suara PKS dikatakan meningkat pada Pemilu 2019. Jadi, sikap kritis asal beda ala PKS ini tidak steril dari kepentingan politik elektoral. PKS nampaknya sadar, dukungan politik pemerintahan Jokowi terlalu kuat setelah masuknya Gerindra dalam pemerintahan semakin menambah kekuatan politik lebih dari 70 persen di parlemen.
(Baca:Generasi Milenial Merasa Indonesia Kurang Demokratis)
"Karenanya, bagi PKS yang penting koar-koarnya. Tujuannya untuk mendelegitimasi pemerintah, tapi di sisi lain mereka membidik pemilih yang kecewa terhadap pemerintah untuk dikapitalisasi sebagai benefit politik," bebernya.
Sementara itu, dua partai lainnya, yaitu PAN dan Demokrat cenderung lebih memilih bermain aman dengan sesekali melakukan kritik-kritik halus pada pemerintah. "Meski demikian kedua partai ini lebih baik dari segi etika politik dibanding PKS," kata Karyono.
(muh)