Presiden Harus Bentuk TGPF dan Perintahkan Polisi Diperiksa
loading...
A
A
A
Fadli Zon
Jubir Rakyat, Anggota DPR RI
HARI ini, 10 Desember 2020, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia dengan wajah muram. Penembakan yang menewaskan enam orang warga sipil anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat kepolisian di Karawang, Senin, 7 Desember 2020, menjadi penanda buruknya penegakan HAM di Indonesia. Tanpa proses yudisial, dengan berbagai dalih lemah yang terus berubah dan tak sinkron satu sama lain, aparat penegak hukum telah menghilangkan enam nyawa anak-anak muda. Dari enam orang korban tadi, diketahui hanya satu orang yang berusia di atas 30 tahun, sementara sisanya berusia di bawah 25 tahun. Mereka masih sangat belia, calon generasi penerus bangsa ini.
Merespons peristiwa tersebut, Presiden seharusnya segera membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) terdiri dari berbagai elemen bangsa seperti Komnas HAM, aktivis HAM, perwakilan ulama, akademisi, wartawan, dan pihak-pihak lain. Insiden semacam itu harus direspons segera oleh pemerintah, karena jika dibiarkan bisa mengeskalasi kemarahan publik. Kebrutalan yang dipertontonkan dengan membunuh enam anggota FPI telah menciptakan ketidakpercayaan publik pada keadilan hukum. Sebagai negara yang ber-Pancasila, pengamalan sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” tampaknya hanya jargon di bibir saja.
Ada beberapa alasan kenapa pemerintah harus membentuk tim gabungan pencari fakta.
Pertama, polisi saat ini harus dianggap sebagai pihak yang tengah “berperkara”, sehingga pengusutan masalah ini harus melibatkan pihak-pihak lain yang lebih independen.
Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian saat ini sangat rendah. Apapun yang dinyatakan oleh polisi, cenderung tak dipercayai oleh publik. Sehingga, penting dibentuk tim independen.
Ketiga, tindakan extra-judicial killing terhadap warga sipil biasa sebagaimana terjadi kemarin bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), sehingga perlu ada upaya ekstra dalam proses pengusutannya.
Tindakan pembunuhan di luar putusan pengadilan semacam itu tak boleh dilegitimasi oleh alasan apapun. Tindakan seperti itu dilarang, baik oleh hukum HAM internasional maupun oleh berbagai peraturan perundang-undangan di negeri kita.
Kalau memang ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh enam orang warga sipil tadi, aparat kepolisian seharusnya bisa memprosesnya sesuai ketentuan pidana yang belaku. Akibat terjadinya extra-judicial killing oleh aparat, mereka jadi tak bisa diadili di sebuah pengadilan terbuka untuk membuktikan tuduhan yang disampaikan polisi kepadanya. Dan, rakyat melihat mereka tak sedang berperkara dengan polisi.
Dan, keempat, ada banyak sekali keganjilan dalam kasus tewasnya enam orang warga sipil anggota FPI kemarin. Hampir semua penjelasan yang disampaikan oleh aparat kepolisian sulit diterima akal sehat. Misalnya, disebutkan ada aksi tembak-menembak, tapi di mana tempat kejadian perkaranya? Mana bukti serangan terhadap aparat kepolisiannya? Bagaimana bisa satu mobil anggota FPI menyatroni tiga buah mobil yang ditunggangi aparat?
Agar kejadian ini tak menjadi fitnah dan memicu peristiwa kekerasan lain, saya mendorong agar kejadian ini diusut tuntas. Saya menyambut baik Komnas HAM yang sudah membentuk tim investigasi. Namun, langkah pengawasan terhadap Polri ini tak bisa dilakukan oleh Komnas HAM semata. Sehingga, saya meminta kepada Presiden untuk segera membentuk TGPF untuk mengusut masalah ini.
Jubir Rakyat, Anggota DPR RI
HARI ini, 10 Desember 2020, kita memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia dengan wajah muram. Penembakan yang menewaskan enam orang warga sipil anggota Front Pembela Islam (FPI) oleh aparat kepolisian di Karawang, Senin, 7 Desember 2020, menjadi penanda buruknya penegakan HAM di Indonesia. Tanpa proses yudisial, dengan berbagai dalih lemah yang terus berubah dan tak sinkron satu sama lain, aparat penegak hukum telah menghilangkan enam nyawa anak-anak muda. Dari enam orang korban tadi, diketahui hanya satu orang yang berusia di atas 30 tahun, sementara sisanya berusia di bawah 25 tahun. Mereka masih sangat belia, calon generasi penerus bangsa ini.
Merespons peristiwa tersebut, Presiden seharusnya segera membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) terdiri dari berbagai elemen bangsa seperti Komnas HAM, aktivis HAM, perwakilan ulama, akademisi, wartawan, dan pihak-pihak lain. Insiden semacam itu harus direspons segera oleh pemerintah, karena jika dibiarkan bisa mengeskalasi kemarahan publik. Kebrutalan yang dipertontonkan dengan membunuh enam anggota FPI telah menciptakan ketidakpercayaan publik pada keadilan hukum. Sebagai negara yang ber-Pancasila, pengamalan sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab” tampaknya hanya jargon di bibir saja.
Ada beberapa alasan kenapa pemerintah harus membentuk tim gabungan pencari fakta.
Pertama, polisi saat ini harus dianggap sebagai pihak yang tengah “berperkara”, sehingga pengusutan masalah ini harus melibatkan pihak-pihak lain yang lebih independen.
Kedua, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian saat ini sangat rendah. Apapun yang dinyatakan oleh polisi, cenderung tak dipercayai oleh publik. Sehingga, penting dibentuk tim independen.
Ketiga, tindakan extra-judicial killing terhadap warga sipil biasa sebagaimana terjadi kemarin bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran HAM berat (gross violation of human rights), sehingga perlu ada upaya ekstra dalam proses pengusutannya.
Tindakan pembunuhan di luar putusan pengadilan semacam itu tak boleh dilegitimasi oleh alasan apapun. Tindakan seperti itu dilarang, baik oleh hukum HAM internasional maupun oleh berbagai peraturan perundang-undangan di negeri kita.
Kalau memang ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh enam orang warga sipil tadi, aparat kepolisian seharusnya bisa memprosesnya sesuai ketentuan pidana yang belaku. Akibat terjadinya extra-judicial killing oleh aparat, mereka jadi tak bisa diadili di sebuah pengadilan terbuka untuk membuktikan tuduhan yang disampaikan polisi kepadanya. Dan, rakyat melihat mereka tak sedang berperkara dengan polisi.
Dan, keempat, ada banyak sekali keganjilan dalam kasus tewasnya enam orang warga sipil anggota FPI kemarin. Hampir semua penjelasan yang disampaikan oleh aparat kepolisian sulit diterima akal sehat. Misalnya, disebutkan ada aksi tembak-menembak, tapi di mana tempat kejadian perkaranya? Mana bukti serangan terhadap aparat kepolisiannya? Bagaimana bisa satu mobil anggota FPI menyatroni tiga buah mobil yang ditunggangi aparat?
Agar kejadian ini tak menjadi fitnah dan memicu peristiwa kekerasan lain, saya mendorong agar kejadian ini diusut tuntas. Saya menyambut baik Komnas HAM yang sudah membentuk tim investigasi. Namun, langkah pengawasan terhadap Polri ini tak bisa dilakukan oleh Komnas HAM semata. Sehingga, saya meminta kepada Presiden untuk segera membentuk TGPF untuk mengusut masalah ini.