9 Bulan Belum Aman

Rabu, 02 Desember 2020 - 06:20 WIB
loading...
9 Bulan Belum Aman
Dalam sembilan bulan terakhir, upaya pengendalian virus ini telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah dan berbagai kalangan. Namun, tambahan kasus baru tak henti mengalir deras. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Covid-19 masih menjadi ancaman serius Indonesia. Dalam sembilan bulan terakhir, upaya pengendalian virus ini telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah dan berbagai kalangan. Namun, tambahan kasus baru tak henti mengalir deras. Korban pun terus berjatuhan.

9 Bulan Belum Aman


Hingga Selasa (1/12/2020), virus corona tercatat telah menjangkiti 543.975 orang. Sebanyak 17.081 orang diketahui kehilangan nyawa sejak virus ini resmi diumumkan mulai memapar warga Indonesia pada 2 Maret silam.



Kendati menjadi pandemi global, publik sangat menantikan penanganan Covid-19 di Tanah Air segera menemukan formula yang tepat. Saat ini banyak masyarakat khawatir lantaran seolah penanganan corona tidak banyak berarti dan jauh dari muaranya. (Baca: Jadikan Sifat Tawadhu sebagai Modal Kebahagiaan)

Sembilan bulan berjalan, jumlah pasien baru terus saja bertambah dan sulit terkendali. Dalam beberapa hari terakhir, rumah sakit-rumah sakit rujukan juga mulai tampak kewalahan menampung lagi, seperti di Malang, Depok, Tangerang Selatan, Jawa Barat, Jawa, dan DKI Jakarta. Di Jawa Barat, tingkat keterisian ruang isolasi mendekati 70%. Kondisi itu sudah melebihi titik kritis yang ditetapkan WHO, yakni 65%.

Tak hanya warga biasa yang menjadi korban. Ganasnya virus ini juga turut merenggut nyawa sedikitnya 280 dokter dan perawat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa Indonesia belum sepenuhnya aman.

Kebijakan dan regulasi dari pemerintah untuk mendisiplinkan masyarakat tak terhitung diterbitkan. Namun, situasi ini kian pelik karena dalam waktu dekat, pemerintah juga memberlakukan libur panjang akhir tahun dan membuka proses belajar-mengajar sekolah dari online menjadi tatap muka. Sebelumnya banyak kebijakan yang dinilai kontraproduktif dengan penanganan Covid-19 .

Epidemiologi Kamaluddin Latief mengatakan, salah satu kelemahan Indonesia saat ini di antaranya tidak mau belajar dari kesuksesan negara lain. Menurut dia, negara-negara ASEAN yang berhasil menekan penyebaran virus ini juga belajar mengenai kebijakan dan langkah strategis dari negara yang lebih dulu sukses. (Baca juga: Selama PJJ, Guru Mengaku terkendala menjelaskan Materi ke Siswa)

Dia mencontohkan pembentukan satuan tugas tidak tepat karena hanya bersifat ad hoc. Pemerintah seharusnya memperkuat lembaga dan sistem yang ada. “Kalau bicara sekarang, satgas kesulitan berkomunikasi dengan pihak-pihak tertentu yang memiliki sistem sampai di lapangan. Itu sebetulnya disampaikan di media oleh satgas sendiri. Kalau kita flashback ke belakang, ada rivalitas. Siapa yang mau tampil?” ujarnya, kemarin.

Ketimpangan inilah yang turut memengaruhi kasus positif Covid-19 terus meningkat. Dia memaparkan Vietnam, Thailand, Singapura, dan Kamboja yang telah berhasil menekan Covid-19 itu memberlakukan karantina sejak awal.

Vietnam, menurutnya, ketika Covid-19 masuk, langsung menutup wilayahnya secara total. Strategi mereka, mulai dari kebijakan, ketegasan di lapangan, hingga promosi berjalan secara efektif.

“Tidak menggunakan teknik-teknik konservatif. Kaum milenial didekati. Ada lagu-lagu yang viral dan itu menyasar untuk perubahan perilaku. Ada kreasi di situ,” tutur Dosen Universitas Indonesia (UI) ini. (Baca juga: Covid-19 Bisa Sebabkan Gigi Penderita Tanggal)

Di tengah kondisi ini, menurutnya, harus ada perubahan mendasar kebijakan dan strategi. Kamaluddin menjelaskan negara-negara yang berhasil menangani Covid-19 itu mengandalkan perilaku masyarakatnya.

Pemerintah sebenarnya terus menggaungkan penerapan protokol kesehatan, yakni memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M). Namun, kadang masyarakat mendapatkan contoh dari pejabat publik pula yang tak patuh. Kamaluddin juga mengkritik narasi tentang vaksin karena sangat kontraproduktif.

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah mengatakan selama ini pemerintah inkonsistensi dalam menjalankan kebijakan dan aturan yang telah dibuat. Dari sisi regulasi, sanksi bagi pelanggar protokol kesehatan sangat lemah. Penyebaran virus Sars Cov-II kian tak terbendung dengan sering terjadinya kerumunan, mulai dari demonstrasi, acara kemasyarakatan, hingga libur panjang.

“Itu (potensi) penularan Covid-19 karena mengundang kerumunan. Itu diciptakan oleh pemerintah. Ini mau ada pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 9 Desember, siapa yang jamin kalau tidak akan terjadi horor Covid-19? Belum lagi Nataru, ini sudah jelas (berpotensi penyebaran),” tuturnya. (Baca juga: Moeldoko Ungkap Sulitnya Menumpas Kelompok MIT Pimpinan Ali Kalora)

Dosen Universitas Trisakti itu menilai pemerintah juga lemah dalam monitoring dan evaluasi (monev). Bahkan, seperti tidak ada. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin harus mempunyai rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Selain itu, masyarakat kurang dilibatkan dalam penanganan pandemi ini.

Optimistis Terkendali

Soal terus bertambahnya kasus baru, pemerintah mengakui ini menjadi perhatian serius. Bahkan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan agar Covid-19 ini segera terkendali. Jokowi pun memberi sorotan kepada daerah yang laju kenaikan kasusnya cukup tajam dalam beberapa hari terakhir seperti DKI Jakarta dan Jawa Tengah.

"Melihat ini kita sebetulnya sangat optimistis dalam pengendalian Covid-19 ini, tetapi kemarin saya sampaikan saya memang kalau ada peningkatan sedikit saja, pasti saya akan berikan warning secara keras karena kita nggak mau ini keterusan," kata Jokowi, seperti dikutip dari akun YouTube Sekretariat Presiden, kemarin. (Baca juga: Penawaran Surat Utang negara Capai Rp94,3 Triliun)

Meski terus meningkat, Jokowi menilai penanganan Covid-19 di Indonesia relatif baik. Kasus aktif di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata dunia. Kasus aktif saat ini 13,25%, sementara di dunia jauh di atasnya, yakni mencapai 28,55%. Demikian juga angka kesembuhan tercatat pada 83,6%.

Angka ini lebih baik dari rata-rata angka kesembuhan dunia yang mencapai 69,03%. Dia mengakui, yang perlu banyak mendapat perhatian adalah angka kematian karena mencapai 3,1%, sementara di dunia hanya 2,32%. ”Ini yang belum, harus kita perbaiki,” katanya.

Meningkatnya lagi kasus korona dalam sepekan terakhir membuat Satgas Penanganan Covid-19 kecewa. "Saya sangat kecewa karena pada minggu ini jumlah kabupaten/kota yang berzona merah bertambah hampir dua kali lipat dari minggu sebelumnya," kata Jubir Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito, kemarin. (Baca juga: Catat, 11 Desember Diego Maradona Resmi Jadi Nama Stadion)

Sementara itu, daerah yang berada di zona hijau juga menipis. Satgas berharap data tersebut menjadi dasar bagi pemerintah dan masyarakat untuk menerapkan protokol kesehatan secara disiplin. Secara khusus pihaknya meminta agar pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Jawa Tengah melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan protokol kesehatan.

Dia menegaskan bahwa faktor utama yang menjadi penyebab meningkatnya kasus aktif Covid-19 adalah ketidakdisiplinan masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan 3M. Menurutnya, masih banyak masyarakat yang berkerumun dalam berbagai kegiatan.

“Kondisi ini memicu terjadinya penularan yang berdampak pada peningkatan kasus aktif. Pada prinsipnya, peningkatan kasus aktif dapat dicegah apabila disiplin protokol kesehatan,” ungkapnya. (Lihat videonya: Mari Sukseskan Pilkada Serentak 2020)

Namun, tingginya kasus juga tak lepas dengan kritikan. Beberapa daerah menilai data yang dipublikasikan pusat berbeda dengan data faktual. Duplikasi nama pasien sering kali terjadi seperti terlihat di Jawa Tengah. T

erkait perbedaan data ini, saat ini satgas sedang dilakukan sinkronisasi data daerah dan pusat. “Hal ini terkait dengan pengumpulan dan validasi data yang jumlahnya besar serta membutuhkan waktu dalam prosesnya," kata Wiku. (F.W. Bahtiar/Dita Angga/Agung)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1508 seconds (0.1#10.140)