Masyarakat Perkotaan Semakin Egois

Sabtu, 28 November 2020 - 06:04 WIB
loading...
A A A
Jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya penjelasan, menurut Erna bukan tidak mungkin karakter deindividuasi tertanam di dalam diri seseorang. Selanjutnya dia akan berpikir bahwa hal tersebut menyenangkan dan membawa dirinya menjadi terkenal dengan cara singkat. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan

Pada sejumlah kasus, sikap deindividuasi bisa terkait dengan beberapa gangguan seperti narsisisme, antisosial, dan psikopat. Menurut pengamat sosial Devie Rahmawati, akar dari fenomena ini akibat lunturnya nilai kekeluargaan.

"Kalau ditarik lebih mendalam pada kehidupan bermasyarakat atau berbangsa, kita telah banyak meninggalkan nilai luhur bangsa kita sendiri atau Pancasila sehingga perilaku kita ketika berinteraksi di media sosial akan terbawa," tandas wanita yang juga dosen dan peneliti tetap pada Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) itu.

Ditambah lagi dengan banyaknya konten yang memperlihatkan perilaku kurang empati dan tidak mengedepankan nilai kekeluargaan dalam kehidupan. "Jadi pengidap deindividuasi tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka hanya menganggap apa pun yang terjadi di depannya bisa dijadikan objek yang menguntungkan," tambahnya.

Devie pun menyayangkan sejumlah fenomena deindividuasi yang terjadi di media sosial karena sikap empati seorang yang saat ini sudah hilang dan berubah menjadi kebutuhan agar dirinya menjadi eksis. Seharusnya mereka bisa lebih toleran dengan memberikan bantuan saat melihat ada kejadian. (Baca juga: Indonesia Ajak Asean Kerja Sama Tanggulangi Covid-19)

Psikolog Tika Bisono mengaku tak heran melihat ramainya fenomena deindividuasi yang terjadi di kota besar. Bahkan dia menganggap hal itu sebagai hal lumrah dan wajar yang terjadi di Indonesia. Alasannya, tingkat atittude, etika, moralitas, dan integritas masyarakat Indonesia memang sudah mati seiring dengan pengaruh zaman. "Itulah bangsa Indonesia, bangsa yang masih terbelakang akan rasa simpati maupun empati. Karena memang tidak memiliki attitude," sebutnya.

Dengan demikian kondisi seperti itu memang bukanlah hal yang aneh lagi. Bahkan menurut Tika, jika masyarakat Indonesia memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi, hal itu justru aneh dan akan dianggap sebagai aksi heroik. Kenyataan tersebut sangat berbanding terbalik dengan masyarakat negara lain.

Menurutnya, meskipun mereka sangat akrab dengan budaya kebarat-baratan yang bebas, pelajaran menghargai antarsesama manusia hingga binatang sangat kental diajarkan kepada mereka sedari kecil. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, para pemangku kepentingan di sini tidak mengajarkan atau mencontohkan rasa menghargai, simpati, dan empati kepada sesama manusia. Bahkan pelajaran budi pekerti di sekolah pun dihapus.

Padahal, memiliki etika baik sangat diperlukan. Tidak cukup dengan pemahaman agama yang dianut seperti dengan sering mengerjakan ibadah dan sebagainya. "Sebenarnya memang tidak ada korelasinya dengan agama. Kalau dalam dirinya etika sudah berkurang, tidak ada lagi rasa simpati dan empati. Yang ada sikap deindividuasi tadi," jelasnya. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan Tahun Lolos dari Penculikan)

Meski begitu psikolog yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta itu masih memiliki harapan tinggi bahwa kondisi masyarakat Indonesia kembali seperti zaman dahulu yang penuh dengan rasa kesopanan dan menghargai.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2039 seconds (0.1#10.140)