Masyarakat Perkotaan Semakin Egois
loading...
A
A
A
JAKARTA - Media sosial seperti Instagram,Twitter, dan TikTok diramaikan oleh konten video yang memperlihatkan ketidakberdayaan seseorang di area publik tanpa mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitarnya. Fenomena yang dikenal dengan deindividuasi itu seakan menjadi perhatian yang harus diwaspadai.
Belum lama ini beredar video yang menampilkan seorang pemuda ber-sweater hitam tengah berdiri persis di tepi atas sebuah gedung pusat perbelanjaan di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Aksi yang sempat viral di media sosial Twitter ini direkam oleh salah seorang warga sekitar. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Tampak dalam video tersebut tidak ada warga yang menolong, mereka malah memerintahkan pemuda itu segera melompat. “Loncat, loncat, loncat,” ujar beberapa orang yang merekam. Tak lama berselag, pemuda itu benar-benar melompat dan tewas mengenaskan.
Deindividuasi , penyakit sosial yang lebih mengutamakan kepuasan diri, juga pernah terjadi setelah tsunami menyapu Pandeglang, Banten, pada Desember 2018 lalu. Beberapa orang asyik berswafoto sembari tersenyum di lokasi kejadian dengan latar belakang bangunan yang luluh lantak. Aksi yang diunggah di media sosial Twitter ini sempat mendapat sorotan warganet, bahkan media asal Inggris The Guardian pun mengangkat fenomena swafoto ini.
Secara umum deindividuasi adalah suatu kondisi psikologis di mana seseorang kehilangan motivasi, tidak tanggap, acuh tak acuh atau juga tidak peduli terhadap aspek emosional, sosial ataupun kehidupan fisik. Sikap ini hanya mementingkan kepuasan dirinya dan kelompoknya.
Menurut sosiolog Erna Karim, penyebab timbulnya sikap deindividuasi ini karena masyarakat terlalu asyik dengan kesenangan sendiri. Teknologi yang semakin canggih dan media sosial juga berpengaruh terhadap berkurangnya rasa simpati dan empati. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
"Misalnya ada kejadian yang tidak baik langsung tersebar di media sosial dan menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Menurutku, sekarang orang bukan surfing to the internet lagi, tapi sudah berubah menjadi diving to the internet dan langsung tersebar di media sosial," tegasnya di Jakarta kemarin.
Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang memiliki sikap individuasi atau kurang empati. Erna menjelaskan, orang dengan sikap deindividuasi biasanya sering mengkritik tanpa melihat perspektif orang lain, cenderung tampak dingin atau bahkan senang ketika melihat orang lain menderita. Sangat percaya diri dan menilai mereka yang tidak sepemahaman sebagai orang bodoh.
Tanda selanjutnya yang ditunjukkan adalah sikap sulit merasa bahagia demi orang lain, susah membuat atau menjaga hubungan pertemanan, dan sukar bergaul dengan keluarga. Mereka akan bicara lebih banyak tentang diri sendiri tanpa peduli cerita orang lain dan mengatakan sesuatu yang menyakiti orang lain.
"Faktor pemicu bisa datang dari lingkungan keluarga. Contohnya orang tua yang tidak memberikan edukasi dini tentang rasa empati terhadap sesama semisal orang tua membiarkan anaknya menertawakan temannya yang terjatuh atau sekarang banyak yang menjadikan kesusahan orang sebagai konten di media sosial," papar Erna.
Jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya penjelasan, menurut Erna bukan tidak mungkin karakter deindividuasi tertanam di dalam diri seseorang. Selanjutnya dia akan berpikir bahwa hal tersebut menyenangkan dan membawa dirinya menjadi terkenal dengan cara singkat. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan
Pada sejumlah kasus, sikap deindividuasi bisa terkait dengan beberapa gangguan seperti narsisisme, antisosial, dan psikopat. Menurut pengamat sosial Devie Rahmawati, akar dari fenomena ini akibat lunturnya nilai kekeluargaan.
"Kalau ditarik lebih mendalam pada kehidupan bermasyarakat atau berbangsa, kita telah banyak meninggalkan nilai luhur bangsa kita sendiri atau Pancasila sehingga perilaku kita ketika berinteraksi di media sosial akan terbawa," tandas wanita yang juga dosen dan peneliti tetap pada Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) itu.
Ditambah lagi dengan banyaknya konten yang memperlihatkan perilaku kurang empati dan tidak mengedepankan nilai kekeluargaan dalam kehidupan. "Jadi pengidap deindividuasi tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka hanya menganggap apa pun yang terjadi di depannya bisa dijadikan objek yang menguntungkan," tambahnya.
Devie pun menyayangkan sejumlah fenomena deindividuasi yang terjadi di media sosial karena sikap empati seorang yang saat ini sudah hilang dan berubah menjadi kebutuhan agar dirinya menjadi eksis. Seharusnya mereka bisa lebih toleran dengan memberikan bantuan saat melihat ada kejadian. (Baca juga: Indonesia Ajak Asean Kerja Sama Tanggulangi Covid-19)
Psikolog Tika Bisono mengaku tak heran melihat ramainya fenomena deindividuasi yang terjadi di kota besar. Bahkan dia menganggap hal itu sebagai hal lumrah dan wajar yang terjadi di Indonesia. Alasannya, tingkat atittude, etika, moralitas, dan integritas masyarakat Indonesia memang sudah mati seiring dengan pengaruh zaman. "Itulah bangsa Indonesia, bangsa yang masih terbelakang akan rasa simpati maupun empati. Karena memang tidak memiliki attitude," sebutnya.
Dengan demikian kondisi seperti itu memang bukanlah hal yang aneh lagi. Bahkan menurut Tika, jika masyarakat Indonesia memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi, hal itu justru aneh dan akan dianggap sebagai aksi heroik. Kenyataan tersebut sangat berbanding terbalik dengan masyarakat negara lain.
Menurutnya, meskipun mereka sangat akrab dengan budaya kebarat-baratan yang bebas, pelajaran menghargai antarsesama manusia hingga binatang sangat kental diajarkan kepada mereka sedari kecil. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, para pemangku kepentingan di sini tidak mengajarkan atau mencontohkan rasa menghargai, simpati, dan empati kepada sesama manusia. Bahkan pelajaran budi pekerti di sekolah pun dihapus.
Padahal, memiliki etika baik sangat diperlukan. Tidak cukup dengan pemahaman agama yang dianut seperti dengan sering mengerjakan ibadah dan sebagainya. "Sebenarnya memang tidak ada korelasinya dengan agama. Kalau dalam dirinya etika sudah berkurang, tidak ada lagi rasa simpati dan empati. Yang ada sikap deindividuasi tadi," jelasnya. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan Tahun Lolos dari Penculikan)
Meski begitu psikolog yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta itu masih memiliki harapan tinggi bahwa kondisi masyarakat Indonesia kembali seperti zaman dahulu yang penuh dengan rasa kesopanan dan menghargai.
Syaratnya pelajaran etika atau budi pekerti terus diadakan. "Jika dilihat sikap (deindividuasi) banyak terjadi di usia remaja yang memang sedang membutuhkan perhatian dan senang diperhatikan,” tutur Tika. Karenanya sejak usia dini mereka harus diajari sikap menghormati seperti bila di lingkungan sekolah para pelajar mengucapkan salam dan menghormati guru setiap mulai pelajaran atau mereka diberi tugas untuk membantu sesama dan lainnya.
Menghilangkan rasa individualistis dalam diri bisa dimulai dengan bersimpati dan berempati kepada orang lain. Tika pun menyarankan, tidak ada salahnya berbuat baik, menghargai, memahami, dan bertoleransi dengan sesama. (Aprilia S Andyna)
Belum lama ini beredar video yang menampilkan seorang pemuda ber-sweater hitam tengah berdiri persis di tepi atas sebuah gedung pusat perbelanjaan di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Aksi yang sempat viral di media sosial Twitter ini direkam oleh salah seorang warga sekitar. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)
Tampak dalam video tersebut tidak ada warga yang menolong, mereka malah memerintahkan pemuda itu segera melompat. “Loncat, loncat, loncat,” ujar beberapa orang yang merekam. Tak lama berselag, pemuda itu benar-benar melompat dan tewas mengenaskan.
Deindividuasi , penyakit sosial yang lebih mengutamakan kepuasan diri, juga pernah terjadi setelah tsunami menyapu Pandeglang, Banten, pada Desember 2018 lalu. Beberapa orang asyik berswafoto sembari tersenyum di lokasi kejadian dengan latar belakang bangunan yang luluh lantak. Aksi yang diunggah di media sosial Twitter ini sempat mendapat sorotan warganet, bahkan media asal Inggris The Guardian pun mengangkat fenomena swafoto ini.
Secara umum deindividuasi adalah suatu kondisi psikologis di mana seseorang kehilangan motivasi, tidak tanggap, acuh tak acuh atau juga tidak peduli terhadap aspek emosional, sosial ataupun kehidupan fisik. Sikap ini hanya mementingkan kepuasan dirinya dan kelompoknya.
Menurut sosiolog Erna Karim, penyebab timbulnya sikap deindividuasi ini karena masyarakat terlalu asyik dengan kesenangan sendiri. Teknologi yang semakin canggih dan media sosial juga berpengaruh terhadap berkurangnya rasa simpati dan empati. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)
"Misalnya ada kejadian yang tidak baik langsung tersebar di media sosial dan menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Menurutku, sekarang orang bukan surfing to the internet lagi, tapi sudah berubah menjadi diving to the internet dan langsung tersebar di media sosial," tegasnya di Jakarta kemarin.
Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang memiliki sikap individuasi atau kurang empati. Erna menjelaskan, orang dengan sikap deindividuasi biasanya sering mengkritik tanpa melihat perspektif orang lain, cenderung tampak dingin atau bahkan senang ketika melihat orang lain menderita. Sangat percaya diri dan menilai mereka yang tidak sepemahaman sebagai orang bodoh.
Tanda selanjutnya yang ditunjukkan adalah sikap sulit merasa bahagia demi orang lain, susah membuat atau menjaga hubungan pertemanan, dan sukar bergaul dengan keluarga. Mereka akan bicara lebih banyak tentang diri sendiri tanpa peduli cerita orang lain dan mengatakan sesuatu yang menyakiti orang lain.
"Faktor pemicu bisa datang dari lingkungan keluarga. Contohnya orang tua yang tidak memberikan edukasi dini tentang rasa empati terhadap sesama semisal orang tua membiarkan anaknya menertawakan temannya yang terjatuh atau sekarang banyak yang menjadikan kesusahan orang sebagai konten di media sosial," papar Erna.
Jika hal tersebut dilakukan secara terus-menerus tanpa adanya penjelasan, menurut Erna bukan tidak mungkin karakter deindividuasi tertanam di dalam diri seseorang. Selanjutnya dia akan berpikir bahwa hal tersebut menyenangkan dan membawa dirinya menjadi terkenal dengan cara singkat. (Baca juga: Fungsi Minyak Zaitun untuk Kesehatan
Pada sejumlah kasus, sikap deindividuasi bisa terkait dengan beberapa gangguan seperti narsisisme, antisosial, dan psikopat. Menurut pengamat sosial Devie Rahmawati, akar dari fenomena ini akibat lunturnya nilai kekeluargaan.
"Kalau ditarik lebih mendalam pada kehidupan bermasyarakat atau berbangsa, kita telah banyak meninggalkan nilai luhur bangsa kita sendiri atau Pancasila sehingga perilaku kita ketika berinteraksi di media sosial akan terbawa," tandas wanita yang juga dosen dan peneliti tetap pada Program Vokasi Humas Universitas Indonesia (UI) itu.
Ditambah lagi dengan banyaknya konten yang memperlihatkan perilaku kurang empati dan tidak mengedepankan nilai kekeluargaan dalam kehidupan. "Jadi pengidap deindividuasi tidak peduli dengan lingkungan sekitar, mereka hanya menganggap apa pun yang terjadi di depannya bisa dijadikan objek yang menguntungkan," tambahnya.
Devie pun menyayangkan sejumlah fenomena deindividuasi yang terjadi di media sosial karena sikap empati seorang yang saat ini sudah hilang dan berubah menjadi kebutuhan agar dirinya menjadi eksis. Seharusnya mereka bisa lebih toleran dengan memberikan bantuan saat melihat ada kejadian. (Baca juga: Indonesia Ajak Asean Kerja Sama Tanggulangi Covid-19)
Psikolog Tika Bisono mengaku tak heran melihat ramainya fenomena deindividuasi yang terjadi di kota besar. Bahkan dia menganggap hal itu sebagai hal lumrah dan wajar yang terjadi di Indonesia. Alasannya, tingkat atittude, etika, moralitas, dan integritas masyarakat Indonesia memang sudah mati seiring dengan pengaruh zaman. "Itulah bangsa Indonesia, bangsa yang masih terbelakang akan rasa simpati maupun empati. Karena memang tidak memiliki attitude," sebutnya.
Dengan demikian kondisi seperti itu memang bukanlah hal yang aneh lagi. Bahkan menurut Tika, jika masyarakat Indonesia memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi, hal itu justru aneh dan akan dianggap sebagai aksi heroik. Kenyataan tersebut sangat berbanding terbalik dengan masyarakat negara lain.
Menurutnya, meskipun mereka sangat akrab dengan budaya kebarat-baratan yang bebas, pelajaran menghargai antarsesama manusia hingga binatang sangat kental diajarkan kepada mereka sedari kecil. Berbeda dengan kondisi di Indonesia, para pemangku kepentingan di sini tidak mengajarkan atau mencontohkan rasa menghargai, simpati, dan empati kepada sesama manusia. Bahkan pelajaran budi pekerti di sekolah pun dihapus.
Padahal, memiliki etika baik sangat diperlukan. Tidak cukup dengan pemahaman agama yang dianut seperti dengan sering mengerjakan ibadah dan sebagainya. "Sebenarnya memang tidak ada korelasinya dengan agama. Kalau dalam dirinya etika sudah berkurang, tidak ada lagi rasa simpati dan empati. Yang ada sikap deindividuasi tadi," jelasnya. (Lihat videonya: Lompat dari Motor, Bocah Sembilan Tahun Lolos dari Penculikan)
Meski begitu psikolog yang juga dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta itu masih memiliki harapan tinggi bahwa kondisi masyarakat Indonesia kembali seperti zaman dahulu yang penuh dengan rasa kesopanan dan menghargai.
Syaratnya pelajaran etika atau budi pekerti terus diadakan. "Jika dilihat sikap (deindividuasi) banyak terjadi di usia remaja yang memang sedang membutuhkan perhatian dan senang diperhatikan,” tutur Tika. Karenanya sejak usia dini mereka harus diajari sikap menghormati seperti bila di lingkungan sekolah para pelajar mengucapkan salam dan menghormati guru setiap mulai pelajaran atau mereka diberi tugas untuk membantu sesama dan lainnya.
Menghilangkan rasa individualistis dalam diri bisa dimulai dengan bersimpati dan berempati kepada orang lain. Tika pun menyarankan, tidak ada salahnya berbuat baik, menghargai, memahami, dan bertoleransi dengan sesama. (Aprilia S Andyna)
(ysw)