Masyarakat Perkotaan Semakin Egois

Sabtu, 28 November 2020 - 06:04 WIB
loading...
Masyarakat Perkotaan Semakin Egois
Fenomena yang dikenal dengan deindividuasi itu seakan menjadi perhatian yang harus diwaspadai. Foto/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Media sosial seperti Instagram,Twitter, dan TikTok diramaikan oleh konten video yang memperlihatkan ketidakberdayaan seseorang di area publik tanpa mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitarnya. Fenomena yang dikenal dengan deindividuasi itu seakan menjadi perhatian yang harus diwaspadai.

Belum lama ini beredar video yang menampilkan seorang pemuda ber-sweater hitam tengah berdiri persis di tepi atas sebuah gedung pusat perbelanjaan di Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. Aksi yang sempat viral di media sosial Twitter ini direkam oleh salah seorang warga sekitar. (Baca: Antara Cacian dan Doa yang Dikabulkan)

Tampak dalam video tersebut tidak ada warga yang menolong, mereka malah memerintahkan pemuda itu segera melompat. “Loncat, loncat, loncat,” ujar beberapa orang yang merekam. Tak lama berselag, pemuda itu benar-benar melompat dan tewas mengenaskan.

Deindividuasi , penyakit sosial yang lebih mengutamakan kepuasan diri, juga pernah terjadi setelah tsunami menyapu Pandeglang, Banten, pada Desember 2018 lalu. Beberapa orang asyik berswafoto sembari tersenyum di lokasi kejadian dengan latar belakang bangunan yang luluh lantak. Aksi yang diunggah di media sosial Twitter ini sempat mendapat sorotan warganet, bahkan media asal Inggris The Guardian pun mengangkat fenomena swafoto ini.

Secara umum deindividuasi adalah suatu kondisi psikologis di mana seseorang kehilangan motivasi, tidak tanggap, acuh tak acuh atau juga tidak peduli terhadap aspek emosional, sosial ataupun kehidupan fisik. Sikap ini hanya mementingkan kepuasan dirinya dan kelompoknya.

Menurut sosiolog Erna Karim, penyebab timbulnya sikap deindividuasi ini karena masyarakat terlalu asyik dengan kesenangan sendiri. Teknologi yang semakin canggih dan media sosial juga berpengaruh terhadap berkurangnya rasa simpati dan empati. (Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Guru Wajib Terdata di Dapodik)

"Misalnya ada kejadian yang tidak baik langsung tersebar di media sosial dan menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Menurutku, sekarang orang bukan surfing to the internet lagi, tapi sudah berubah menjadi diving to the internet dan langsung tersebar di media sosial," tegasnya di Jakarta kemarin.

Ada beberapa tanda yang menunjukkan seseorang memiliki sikap individuasi atau kurang empati. Erna menjelaskan, orang dengan sikap deindividuasi biasanya sering mengkritik tanpa melihat perspektif orang lain, cenderung tampak dingin atau bahkan senang ketika melihat orang lain menderita. Sangat percaya diri dan menilai mereka yang tidak sepemahaman sebagai orang bodoh.

Tanda selanjutnya yang ditunjukkan adalah sikap sulit merasa bahagia demi orang lain, susah membuat atau menjaga hubungan pertemanan, dan sukar bergaul dengan keluarga. Mereka akan bicara lebih banyak tentang diri sendiri tanpa peduli cerita orang lain dan mengatakan sesuatu yang menyakiti orang lain.

"Faktor pemicu bisa datang dari lingkungan keluarga. Contohnya orang tua yang tidak memberikan edukasi dini tentang rasa empati terhadap sesama semisal orang tua membiarkan anaknya menertawakan temannya yang terjatuh atau sekarang banyak yang menjadikan kesusahan orang sebagai konten di media sosial," papar Erna.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 1.6993 seconds (0.1#10.140)