Tanggung Renteng Layanan Kesehatan Penyintas
loading...
A
A
A
Mantan staf ahli LPSK ini membeberkan, lembaganya berharap negara, dalam hal ini pemerintah, dapat memberikan semua kebutuhan anggaran untuk pemenuhan layanan atau bantuan bagi para korban, bahkan tidak terbatas hanya pada layanan kesehatan bagi korban tindak pidana. Musababnya, berdasarkan Perpres Nomor 82/2018, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, hingga Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban, bantuan yang harus diberikan mencakup bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial, bantuan psikologis, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta beberapa aspek lain. (Baca juga: Angkatan Laut AS Ingin Bentuk Armada Baru di Dekat Singapura)
Anggaran Terus Dipangkas
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca IP Panjaitan menyatakan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan LPSK pada 16 September lalu seluruh anggota Komisi III menyetujui kenaikan anggaran LPSK yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar, dan sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Semoga, kata Hinca, hasil dari RDP tersebut memberikan secercah harapan agar pemerintah jauh lebih peduli terhadap persoalan perlindungan saksi dan korban.
Hinca menegaskan, LPSK adalah malaikat tanpa sayap yang melindungi, tapi tidak dilindungi. Saat beberapa kali rapat di Komisi III DPR Hinca menyampaikan sangat kecewa karena setiap tahunnya justru anggaran LPSK terus dipangkas. Untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban serta kompensasi korban, LPSK hanya dikasih anggaran Rp12 miliar. Celakanya, karena alasan pandemi Covid-19, anggaran LPSK kembali dipangkas menjadi hanya Rp45 miliar. Alhasil dalam jangka waktu lima tahun anggaran LPSK yang mulanya Rp150 miliar menyusut menjadi hanya sekitar Rp54 miliar.
"Saya melihat ini sebagai situasi yang ironis. Bagaimana bisa kita memberikan LPSK tanggung jawab yang besar, sementara kita membiarkan LPSK lemah secara anggaran. Ibarat kita meminta perlindungan terhadap malaikat yang sudah kehilangan sayapnya. Diminta mengemban misi mulia melindungi saksi dan korban, eh tapi tak dikasih bensin kata orang Asahan," ujar Hinca saat dihubungi KORAN SINDO baru-baru ini. (Baca juga: Jelang Coblosan Pilkada, Pemerintah dan Penyelenggara Diminta Awasi ASN)
Hinca berpendapat dan mendesak pemerintah memaksimalkan peran LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya, peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis, terutama bagi para korban tindak pidana.
"Mereka itu sudah menjadi korban, tidak perlu dipersulit. Mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK, khususnya dalam menangani kompensasi," katanya.
Hinca lantas membandingkan anggaran LPSK, terutama alokasi untuk kepentingan perlindungan saksi dan korban serta kompensasi korban, dengan anggaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Anggaran untuk BPIP sempat mengalami kenaikan hingga enam kali lipat lebih pada 2018. Meskipun pada 2020 anggaran BPIP menurun, tapi tetap saja angkanya menyentuh Rp260 miliar.
“Selain itu, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer. Ini saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya. (Baca juga: Respons Kekebalan Terhadap Virus Corona Bertahan Lebih dari 6 Bulan)
Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal, jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. "Jadi silakan publik menilai apakah pemerintah sudah menunjukkan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" ucapnya.
Anggaran Terus Dipangkas
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca IP Panjaitan menyatakan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan LPSK pada 16 September lalu seluruh anggota Komisi III menyetujui kenaikan anggaran LPSK yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar, dan sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Semoga, kata Hinca, hasil dari RDP tersebut memberikan secercah harapan agar pemerintah jauh lebih peduli terhadap persoalan perlindungan saksi dan korban.
Hinca menegaskan, LPSK adalah malaikat tanpa sayap yang melindungi, tapi tidak dilindungi. Saat beberapa kali rapat di Komisi III DPR Hinca menyampaikan sangat kecewa karena setiap tahunnya justru anggaran LPSK terus dipangkas. Untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban serta kompensasi korban, LPSK hanya dikasih anggaran Rp12 miliar. Celakanya, karena alasan pandemi Covid-19, anggaran LPSK kembali dipangkas menjadi hanya Rp45 miliar. Alhasil dalam jangka waktu lima tahun anggaran LPSK yang mulanya Rp150 miliar menyusut menjadi hanya sekitar Rp54 miliar.
"Saya melihat ini sebagai situasi yang ironis. Bagaimana bisa kita memberikan LPSK tanggung jawab yang besar, sementara kita membiarkan LPSK lemah secara anggaran. Ibarat kita meminta perlindungan terhadap malaikat yang sudah kehilangan sayapnya. Diminta mengemban misi mulia melindungi saksi dan korban, eh tapi tak dikasih bensin kata orang Asahan," ujar Hinca saat dihubungi KORAN SINDO baru-baru ini. (Baca juga: Jelang Coblosan Pilkada, Pemerintah dan Penyelenggara Diminta Awasi ASN)
Hinca berpendapat dan mendesak pemerintah memaksimalkan peran LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya, peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis, terutama bagi para korban tindak pidana.
"Mereka itu sudah menjadi korban, tidak perlu dipersulit. Mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK, khususnya dalam menangani kompensasi," katanya.
Hinca lantas membandingkan anggaran LPSK, terutama alokasi untuk kepentingan perlindungan saksi dan korban serta kompensasi korban, dengan anggaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Anggaran untuk BPIP sempat mengalami kenaikan hingga enam kali lipat lebih pada 2018. Meskipun pada 2020 anggaran BPIP menurun, tapi tetap saja angkanya menyentuh Rp260 miliar.
“Selain itu, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer. Ini saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya. (Baca juga: Respons Kekebalan Terhadap Virus Corona Bertahan Lebih dari 6 Bulan)
Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal, jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. "Jadi silakan publik menilai apakah pemerintah sudah menunjukkan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" ucapnya.