Tanggung Renteng Layanan Kesehatan Penyintas

Sabtu, 21 November 2020 - 07:35 WIB
loading...
Tanggung Renteng Layanan...
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemenuhan layanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh warga negara, termasuk para korban tindak pidana, merupakan kewajiban negara. Hal ini sesuai Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, pasal tersebut juga mengatur bahwa pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan.

Empat jenis tindak pidana yang dimaksud korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan korban tindak pidana penganiayaan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris sebelumnya pernah menyatakan, dengan berlakunya Perpres Jaminan Kesehatan pada 18 September 2018 biaya pengobatan bagi korban tindak pidana tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. (Baca: Mewaspadai Cita rasa Duia: Indah tapi Beracun)

Ketentuan itu, kata Fahmi, sama seperti yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana biaya layanan kesehatan korban tindak pidana menjadi tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) . BPJS Kesehatan juga telah melakukan sosialisasi ke rumah-rumah sakit yang menjadi rekanan maupun masyarakat terkait dengan pemberlakuan perpres tersebut.

Kendati sudah ada payung hukum berupa perpres dan undang-undang, namun dalam implementasinya muncul masalah. LPSK tidak sanggup menanggung seluruh biaya layanan kesehatan empat jenis korban tindak pidana dimaksud, termasuk semua korban lain yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya.

Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum adanya kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan para penyintas (korban tindak pidana) tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah. LPSK sendiri bukannya diam. Sudah banyak terobosan dilakukan, salah satunya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, instansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait dalam menyikapi persoalan ini. Karenanya, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama sudah semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas. (Baca: Januari 2021, Sekolah Boleh Gelar tatap Muka)

Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dikonfirmasi KORAN SINDO terkait persoalan ini. Dia terdengar menarik nafas panjang. Perempuan yang karib dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.

Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Suaranya terdengar getir. Dia menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab, apalagi pihaknya sangat menyadari siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana harus mendapatkan haknya, termasuk layanan kesehatan.

"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan perpres tersebut dibahas, tiba-tiba rancangan perpres itu menjadi perpres dan kemudian tanggung jawabnya (layanan kesehatan korban tindak pidana) dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Apalagi, setelah perpres itu berlaku banyak (korban tindak pidana) yang mengajukan (perlindungan) ke kami, sementara kami tidak bisa menanggung semua," keluh Susi. (Baca juga: Jangan Kendor, Olahraga Harus tetap Dilakukan Pada Masa Pandemi)

Dia menyatakan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya, tidak salah juga. Di sisi lain, LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru BPJS nanti untuk sama-sama memikirkan anggaran kesehatan bagi korban dan saksi yang kini dibebankan ke LPSK.

"Kalau perlu kita ( LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," katanya.

Mantan staf ahli LPSK ini membeberkan, lembaganya berharap negara, dalam hal ini pemerintah, dapat memberikan semua kebutuhan anggaran untuk pemenuhan layanan atau bantuan bagi para korban, bahkan tidak terbatas hanya pada layanan kesehatan bagi korban tindak pidana. Musababnya, berdasarkan Perpres Nomor 82/2018, Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, hingga Undang-Undang (UU) Perlindungan Saksi dan Korban, bantuan yang harus diberikan mencakup bantuan medis, bantuan rehabilitasi psikososial, bantuan psikologis, penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis, serta beberapa aspek lain. (Baca juga: Angkatan Laut AS Ingin Bentuk Armada Baru di Dekat Singapura)

Anggaran Terus Dipangkas

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Hinca IP Panjaitan menyatakan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Komisi III DPR dengan LPSK pada 16 September lalu seluruh anggota Komisi III menyetujui kenaikan anggaran LPSK yang diajukan sebesar Rp129,1 miliar, dan sebelumnya ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Semoga, kata Hinca, hasil dari RDP tersebut memberikan secercah harapan agar pemerintah jauh lebih peduli terhadap persoalan perlindungan saksi dan korban.

Hinca menegaskan, LPSK adalah malaikat tanpa sayap yang melindungi, tapi tidak dilindungi. Saat beberapa kali rapat di Komisi III DPR Hinca menyampaikan sangat kecewa karena setiap tahunnya justru anggaran LPSK terus dipangkas. Untuk melaksanakan perlindungan terhadap saksi dan korban serta kompensasi korban, LPSK hanya dikasih anggaran Rp12 miliar. Celakanya, karena alasan pandemi Covid-19, anggaran LPSK kembali dipangkas menjadi hanya Rp45 miliar. Alhasil dalam jangka waktu lima tahun anggaran LPSK yang mulanya Rp150 miliar menyusut menjadi hanya sekitar Rp54 miliar.

"Saya melihat ini sebagai situasi yang ironis. Bagaimana bisa kita memberikan LPSK tanggung jawab yang besar, sementara kita membiarkan LPSK lemah secara anggaran. Ibarat kita meminta perlindungan terhadap malaikat yang sudah kehilangan sayapnya. Diminta mengemban misi mulia melindungi saksi dan korban, eh tapi tak dikasih bensin kata orang Asahan," ujar Hinca saat dihubungi KORAN SINDO baru-baru ini. (Baca juga: Jelang Coblosan Pilkada, Pemerintah dan Penyelenggara Diminta Awasi ASN)

Hinca berpendapat dan mendesak pemerintah memaksimalkan peran LPSK sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35/2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Artinya, peranan LPSK perlu dimaksimalkan. Dengan catatan, proses administrasi harus berlangsung satu pintu sehingga tidak menimbulkan birokrasi yang berlapis, terutama bagi para korban tindak pidana.

"Mereka itu sudah menjadi korban, tidak perlu dipersulit. Mereka berhak mendapatkan apa yang negara wajib berikan. Satu lagi, pemerintah harus berkomitmen menaikkan anggaran LPSK, khususnya dalam menangani kompensasi," katanya.

Hinca lantas membandingkan anggaran LPSK, terutama alokasi untuk kepentingan perlindungan saksi dan korban serta kompensasi korban, dengan anggaran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Anggaran untuk BPIP sempat mengalami kenaikan hingga enam kali lipat lebih pada 2018. Meskipun pada 2020 anggaran BPIP menurun, tapi tetap saja angkanya menyentuh Rp260 miliar.

“Selain itu, ada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahwa sejak awal periode Presiden Joko Widodo menjabat, pemerintah sudah menggelontorkan Rp1,32 triliun untuk keperluan aktivitas digital, media sosial, hingga influencer. Ini saya melihat pemerintah sedang kehilangan arah dalam mengambil sikap soal perlindungan saksi dan korban," paparnya. (Baca juga: Respons Kekebalan Terhadap Virus Corona Bertahan Lebih dari 6 Bulan)

Hinca menilai, pemerintah tidak mengetahui urgensi peranan LPSK dalam melindungi setiap nyawa dalam suatu pengungkapan tindak pidana. Padahal, jelas tujuan Republik Indonesia didirikan adalah untuk melindungi segenap tumpah darah bangsa Indonesia. "Jadi silakan publik menilai apakah pemerintah sudah menunjukkan sikap melindungi segenap tumpah darah para saksi dan korban atau para influencer?" ucapnya.

Menko Bidang PMK Tak Tahu

Di tempat terpisah, Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Jamal Wiwoho menilai, ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018 yang mengalihkan tanggung jawab pemenuhan layanan kesehatan bagi para korban tindak pidana dari BPJS Kesehatan ke LPSK tidak disertai dengan pertimbangan yang matang. Ditambah lagi, selama ini anggaran yang dimiliki LPSK sangat terbatas. Karenanya, ketika tanggung jawab beralih ke LPSK, semestinya pemerintah pusat mengucurkan anggaran untuk pemenuhan bantuan medis, psikososial, dan psikologis bagi para penyintas.

“Anggaran itu di luar anggaran yang sudah ditetapkan untuk LPSK karena ketika dalam perpres tanggung jawabnya beralih ke LPSK mestinya sudah ada prediksi alokasi anggarannya untuk LPSK untuk dana kesehatan dan bantuan-bantuan lain itu. LPSK mendorong saja ke pemerintah untuk realisasi anggaran. Itu kan urusan negara, harus direalisasikan atas anggaran itu," ujar Jamal kepada KORAN SINDO belum lama ini.

Mantan inspektur jenderal pada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi ini menggariskan, berbagai upaya LPSK menjalin kerja sama maupun yang masih tahap penjajakan dengan sejumlah lembaga baik pemerintah maupun pihak swasta untuk pemenuhan layanan kesehatan dan bantuan bagi korban tindak pidana harus diapresiasi. Di sisi lain, Jamal mengingatkan, agar kerja sama tersebut tidak menyimpang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun mengakibatkan anggaran dobel. (Lihat videonya: Sisi SD di Gowa Buta usai Belajar Daring 4 Jam)

"Memang, dalam praktik selama ini perlindungan dan pemenuhan layanan kesehatan untuk korban itu belum optimal. Tapi, jangan sampai juga LPSK dibiarkan sendiri. Negara harus benar-benar hadir. Dalam konteks ini LPSK kan punya kepentingan. Harus duduk bersama dengan pihak-pihak terkait untuk terpenuhinya hak-hak warga negara, dalam hal ini layanan kesehatan bagi korban tindak pidana," desak Jamal.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko Bidang PMK) Muhajir Effendy kepada KORAN SINDO menyatakan, hakikatnya pemerintah berkomitmen dan terus melakukan upaya pemenuhan dan peningkatan layanan kesehatan bagi seluruh warga negara.

Sayangnya, saat ditanya soal proses pembahasan Perpres Nomor 82/2018 khususnya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r saat masih menjadi rancangan, termasuk soal kenapa LPSK tidak diikutsertakan saat pembahasan, Muhadjir mengaku tidak tahu. Alasannya, dia waktu itu belum menjabat menteri di Kementerian Koordinator Bidang PMK. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2109 seconds (0.1#10.140)