Tanggung Renteng Layanan Kesehatan Penyintas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemenuhan layanan kesehatan yang maksimal bagi seluruh warga negara, termasuk para korban tindak pidana, merupakan kewajiban negara. Hal ini sesuai Pasal 52 ayat (1) huruf r Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan. Namun, pasal tersebut juga mengatur bahwa pelayanan kesehatan bagi korban empat jenis tindak pidana sudah tidak lagi ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
Empat jenis tindak pidana yang dimaksud korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan korban tindak pidana penganiayaan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris sebelumnya pernah menyatakan, dengan berlakunya Perpres Jaminan Kesehatan pada 18 September 2018 biaya pengobatan bagi korban tindak pidana tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. (Baca: Mewaspadai Cita rasa Duia: Indah tapi Beracun)
Ketentuan itu, kata Fahmi, sama seperti yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana biaya layanan kesehatan korban tindak pidana menjadi tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) . BPJS Kesehatan juga telah melakukan sosialisasi ke rumah-rumah sakit yang menjadi rekanan maupun masyarakat terkait dengan pemberlakuan perpres tersebut.
Kendati sudah ada payung hukum berupa perpres dan undang-undang, namun dalam implementasinya muncul masalah. LPSK tidak sanggup menanggung seluruh biaya layanan kesehatan empat jenis korban tindak pidana dimaksud, termasuk semua korban lain yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya.
Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum adanya kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan para penyintas (korban tindak pidana) tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah. LPSK sendiri bukannya diam. Sudah banyak terobosan dilakukan, salah satunya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, instansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait dalam menyikapi persoalan ini. Karenanya, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama sudah semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas. (Baca: Januari 2021, Sekolah Boleh Gelar tatap Muka)
Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dikonfirmasi KORAN SINDO terkait persoalan ini. Dia terdengar menarik nafas panjang. Perempuan yang karib dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.
Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Suaranya terdengar getir. Dia menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab, apalagi pihaknya sangat menyadari siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana harus mendapatkan haknya, termasuk layanan kesehatan.
"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan perpres tersebut dibahas, tiba-tiba rancangan perpres itu menjadi perpres dan kemudian tanggung jawabnya (layanan kesehatan korban tindak pidana) dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Apalagi, setelah perpres itu berlaku banyak (korban tindak pidana) yang mengajukan (perlindungan) ke kami, sementara kami tidak bisa menanggung semua," keluh Susi. (Baca juga: Jangan Kendor, Olahraga Harus tetap Dilakukan Pada Masa Pandemi)
Dia menyatakan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya, tidak salah juga. Di sisi lain, LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru BPJS nanti untuk sama-sama memikirkan anggaran kesehatan bagi korban dan saksi yang kini dibebankan ke LPSK.
"Kalau perlu kita ( LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," katanya.
Empat jenis tindak pidana yang dimaksud korban kekerasan seksual, korban terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dan korban tindak pidana penganiayaan. Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris sebelumnya pernah menyatakan, dengan berlakunya Perpres Jaminan Kesehatan pada 18 September 2018 biaya pengobatan bagi korban tindak pidana tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan. (Baca: Mewaspadai Cita rasa Duia: Indah tapi Beracun)
Ketentuan itu, kata Fahmi, sama seperti yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban, di mana biaya layanan kesehatan korban tindak pidana menjadi tanggung jawab Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) . BPJS Kesehatan juga telah melakukan sosialisasi ke rumah-rumah sakit yang menjadi rekanan maupun masyarakat terkait dengan pemberlakuan perpres tersebut.
Kendati sudah ada payung hukum berupa perpres dan undang-undang, namun dalam implementasinya muncul masalah. LPSK tidak sanggup menanggung seluruh biaya layanan kesehatan empat jenis korban tindak pidana dimaksud, termasuk semua korban lain yang mengajukan permohonan ke lembaga tersebut. Keterbatasan anggaran yang dimiliki LPSK menjadi salah satu muaranya.
Bertambahnya tanggung jawab LPSK dan belum adanya kejelasan realisasi anggaran layanan kesehatan para penyintas (korban tindak pidana) tentu harus menjadi perhatian serius pemerintah. LPSK sendiri bukannya diam. Sudah banyak terobosan dilakukan, salah satunya bekerja sama dengan berbagai kementerian, lembaga, instansi, organisasi filantropi, hingga pihak-pihak lain yang terkait dalam menyikapi persoalan ini. Karenanya, ketersediaan anggaran serta inovasi, terobosan, dan kerja sama sudah semestinya konsisten dan berkesinambungan semata untuk kepentingan penyintas. (Baca: Januari 2021, Sekolah Boleh Gelar tatap Muka)
Dari ujung sambungan telepon seluler, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias dikonfirmasi KORAN SINDO terkait persoalan ini. Dia terdengar menarik nafas panjang. Perempuan yang karib dipanggil Susi ini lantas memutar ingatan ihwal pengesahan dan berlakunya ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf r Perpres Nomor 82/2018. Sekonyong-konyong, kata dia, tanggung jawab biaya atau bantuan bagi korban tindak pidana dibebankan ke LPSK dengan ketentuan tersebut.
Susi sempat tertawa saat disinggung keterbatasan atau minimnya anggaran LPSK setiap tahun dibandingkan dengan penambahan tanggung jawab tersebut. Suaranya terdengar getir. Dia menegaskan, LPSK bukan mau menolak tanggung jawab, apalagi pihaknya sangat menyadari siapa pun yang menjadi saksi maupun korban tindak pidana harus mendapatkan haknya, termasuk layanan kesehatan.
"Kita ini tidak dilibatkan waktu rancangan perpres tersebut dibahas, tiba-tiba rancangan perpres itu menjadi perpres dan kemudian tanggung jawabnya (layanan kesehatan korban tindak pidana) dibebankan kepada LPSK. Ini kan agak repot kemudian. Apalagi, setelah perpres itu berlaku banyak (korban tindak pidana) yang mengajukan (perlindungan) ke kami, sementara kami tidak bisa menanggung semua," keluh Susi. (Baca juga: Jangan Kendor, Olahraga Harus tetap Dilakukan Pada Masa Pandemi)
Dia menyatakan, posisi BPJS Kesehatan yang tetap kukuh bahwa korban tindak pidana menjadi tanggung jawab LPSK untuk pembiayaan layanan kesehatan atau medisnya, tidak salah juga. Di sisi lain, LPSK memiliki harapan besar ke direksi baru BPJS nanti untuk sama-sama memikirkan anggaran kesehatan bagi korban dan saksi yang kini dibebankan ke LPSK.
"Kalau perlu kita ( LPSK dan BPJS Kesehatan) menggandeng BUMN (perusahaan BUMN) dan pihak swasta untuk membantu para korban yang tidak bisa dibantu oleh LPSK," katanya.