Ketauladanan Itu Penting!
loading...
A
A
A
Potongan doa yang disebutkan terdahulu: Waj’alnaa lil-muttaqiina imaama” (jadikan kami Pemimpin bagi orang-orang bertakwa) mengindikasikan bahwa Pemimpin (imaam) itu harusnya berada di garda depan dalam ketakwaan.
Karenanya karakter “Shidiq, Fathonah, Amanah, dan Tablig” nabi-nabi menjadi tuntutan untuk ditauladani oleh para Pemimpin. Mereka harus memiliki semua itu dalam menjalankan kepemimpinan dan dalam melayani mereka yang dipimpin.
Pemimpin yang gagal menjadi tauladan kepada rakyatnya bagaikan imam sholat yang batal wudhu. Dengan sendirinya harus sadar diri jika dia tidak lagi layak untuk mengimami makmumnya.
Keenam, juga tidak kalah pentingnya untuk disadari bahwa secara kolektif umat Islam harus membangun ketauladanan kepada Umat-Umat yang lain.
Kita diingatkan bagaimana Allah SWT memposisikan Umat ini di tengah Umat-Umat yang lain. Dua posisi yang paling kita kenal adalah “Khaer Ummah” (Umat terbaik) dan “ummatan wasathan” (ummat pertengahan).
Kedua posisi keumatan (khaeriyah dan wasatiyah) itu mengandung makna, salah satunya, bahwa Umat ini adalah Umat yang memiliki tauladan (al-Qudwah) bagi Umat-Umat yang lain.
Oleh karenanya Umat ini harus sadar untuk selalu berjuang untuk memperbaiki diri sehingga pada masanya Umat-Umat lain akan menjadikannya sebagai contoh atau tauladan dalam segala aspek kehidupannya.
Sayang saat ini semua terbalik. Justeru kerap kehidupan Umat menjadi tertawaan Umat lain. Bahkan Umat ini sendiri justeru kerap berkiblat (berqudwah) kepada orang lain. Lebih jauh bahkan minder pada diri sendiri dan terkagum-kagum pada orang lain.
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan kenapa al-qudwah atau ketauladanan itu menjadi tuntutan yang mendasar dan mendesak untuk kita bangun. Baik pada tataran pribadi maupun pada tataran kehidupan komunal keumatan kita. Insya Allah!
New York, 19 November 2020
Karenanya karakter “Shidiq, Fathonah, Amanah, dan Tablig” nabi-nabi menjadi tuntutan untuk ditauladani oleh para Pemimpin. Mereka harus memiliki semua itu dalam menjalankan kepemimpinan dan dalam melayani mereka yang dipimpin.
Pemimpin yang gagal menjadi tauladan kepada rakyatnya bagaikan imam sholat yang batal wudhu. Dengan sendirinya harus sadar diri jika dia tidak lagi layak untuk mengimami makmumnya.
Keenam, juga tidak kalah pentingnya untuk disadari bahwa secara kolektif umat Islam harus membangun ketauladanan kepada Umat-Umat yang lain.
Kita diingatkan bagaimana Allah SWT memposisikan Umat ini di tengah Umat-Umat yang lain. Dua posisi yang paling kita kenal adalah “Khaer Ummah” (Umat terbaik) dan “ummatan wasathan” (ummat pertengahan).
Kedua posisi keumatan (khaeriyah dan wasatiyah) itu mengandung makna, salah satunya, bahwa Umat ini adalah Umat yang memiliki tauladan (al-Qudwah) bagi Umat-Umat yang lain.
Oleh karenanya Umat ini harus sadar untuk selalu berjuang untuk memperbaiki diri sehingga pada masanya Umat-Umat lain akan menjadikannya sebagai contoh atau tauladan dalam segala aspek kehidupannya.
Sayang saat ini semua terbalik. Justeru kerap kehidupan Umat menjadi tertawaan Umat lain. Bahkan Umat ini sendiri justeru kerap berkiblat (berqudwah) kepada orang lain. Lebih jauh bahkan minder pada diri sendiri dan terkagum-kagum pada orang lain.
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan kenapa al-qudwah atau ketauladanan itu menjadi tuntutan yang mendasar dan mendesak untuk kita bangun. Baik pada tataran pribadi maupun pada tataran kehidupan komunal keumatan kita. Insya Allah!
New York, 19 November 2020