Ketauladanan Itu Penting!
loading...
A
A
A
Shamsi Ali
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center, Presiden Nusantara Foundation
SALAH satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia yang sekaligus menjadi perhatian besar agama Islam adalah aspek ketauladanan (al-Qudwah). Bahwa dalam hidupnya manusia secara alami (fitri) memerlukan ketauladanan itu. Manusia dalam hidupnya akan mencari ketauladanan itu untuk menjadi cerminan, sekaligus ukuran akan dirinya sendiri.
Sejujurnya, jika melihat kepada ajaran Islam itu sendiri secara dekat, niscaya akan didapati bahwa hampir semua tingkatan dan sisi ajaran agama ini membangun ketauladanan itu.
Ambillah misalnya konsep Tauhid dalam Islam. Ketika Allah mengekspos Nama-Nama dan sifat-sifat-Nya sesungguhnya dimaksudkan salah satunya untuk dijadikan sabagai ketauladanan bagi manusia. Tentu pada tingkatan tabiat kemanusiaan itu sendiri. ( )
Allah itu Rahman Rahim misalnya. Allah itu begitu cinta dan penuh kasih yang tiada batas. Tabiat Allah yang tida batas menjadikan cinta dan kasih-Nya tentu juga tiada batas. Tapi manusia dengan tabiat keterbatasannya dituntut untuk menauladani Allah dalam kasih sayang-Nya sesuai tabiat kemanusiaannya.
Artinya eksposur sifat-sifat Allah kepada kita bukan sekedar untuk dihafal. Walau menghafalkannya pasti punya keutamaan yang besar. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah menauladani sifat-sifat Allah yang mulia itu dalam kehidupan nyata kita. Mari kita memiliki sifat cinta dan kasih dengan cinta dan kasih Allah. Kita membangun sifat mulia dengan "karomah" (Kemuliaan) Allah yang Al-Karim (Maha Mulia). Demikian seterusnya.
Demikian pula dengan Rasulullah SAW. Beliau ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan (tablig) ajaran agama ini kepada seluruh manusia. Bahkan seolah Allah SWT menegaskan dan membatasi tugas/kewajiban itu, seperti yang di firmankan: "Tidak ada kewajiban kamu kecuali menyampaikan (al-balaagh)". ( )
Tapi kenyataannya justru Allah juga menegaskan posisi lain Rasulullah SAW dalam Al-Quran sebagai "tauladan" (role model) kepada seluruh manusia. Firman-Nya: "Sesungguhnya bagi kamu sekalian pada diri Rasulullah ketauladanan yang baik (uswah hasanah)".
Pertanyaannya kemudian adalah jika Rasulullah SAW itu hanya berkewajiban tablig atau menyampaikan lalu kenapa beliau harus memposisikan diri sebagai contoh tauladan bagi manusia?
Jawabannya seperti yang disebutkan terdahulu bahwa secara alami semua orang memerlukan ketauladanan dari dalam hidupnya. Bagi seorang Mukmin tentunya ketauladanan terbesar dan termulia dalam hidupnya adalah ketauladanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Aspek-aspek ketauladanan
Ketauladanan ini kemudian harus terbangun dalam kehidupan manusia secara menyeluruh. Artinya bahwa insan-insan Mukmin harus membangun ketauladanan dalam segala aspek dan tingkatan hidupnya.
Pertama, seorang Mukmin itu senantiasa membangun ketauladanan pada dan untuk dirinya sendiri. Seorang Mukmin akan selalu berkaca pada dirinya dan melakukan perbaikan di mana ada salah dan pengembangan di mana ada kelebihan.
Di sinilah sesungguhnya salah satu makna dan tujuan "al-muhasabah" (introspeksi diri) yang dianjurkan oleh agama. "Hisablah dirimu sebelum kalian dihisab".
Makna dari ungkapan Umar RA ini adalah bahwa seorang Mukmin itu tidak akan pernah membiarkan dirinya terhanyut dalam ombak hawa nafsu sehingga terjadi kelalaian-kelalaian dalam hidupnya.
"Nasuu Allah fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa Allah. Maka Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka)," kata Al-Quran.
Maka salah satu cara untuk menjaga agar manusia Mukmin tidak lupa diri adalah selalu membangun ketauladanan pada diri. Membimbing diri sendiri ke arah yang baik, bahkan lebih baik. "Dan pada dirimu tidakkah kamu perhatikan?".
Kedua, seorang Mukmin akan selalu membangun ketauladanan kepada keluarganya. Suami menjadi tauladan bagi istrinya. Sebaliknya istri juga menjadi tauladan kepada suaminya.
Saling menjadi tauladan antara suami dan isteri ini diistilahkan antara lain dalam Al-Quran dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (Lelaki dan wanita Muslim itu adalah wali antara satu sama lain).
Pada ayat lain diistilahkan dengan "libaas" (Lelaki adalah pakaian bagi wanita dan wanita adalah pakaian bagi lelaki).
Tentu yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa orang tua harus membangun ketauladanan kepada anak-anak mereka. Perintah melindungi anak dari api negara (quu anfusakum) salah satunya yang terpenting adalah memberikan ketauladanan kepada mereka.
Anak-anak itu secara alami bahkan dengan diam-diam memperhatikan kedua orang tuanya. Mereka akan kagum atau sebaliknya kecewa kepada orang tua mereka, tergantung bagaiman kedua orang tua membawa diri di hadapan anak-anaknya.
Doa yang selalu kita panjatkan: "waj'alna lil muttaqiina imaama" (jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa) salah satunya mengindikasikan pentingnya membangun ketauladanan kepada anak.
Ketiga, Urgensi membangun ketauladanan kepada sesama Mukmin. Bahwa seorang Mukmin itu adalah tauladan kepada sesama Mukmin. Ini yang ditegaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW: "al-mu’minu mir-aatul mu'min" (orang beriman itu adalah cermin kepada sesama orang beriman).
Menjadi tauladan kepada sesama Mukmin itu juga diekspresikan dalam ayat dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (mereka adalah wali di antara mereka).
Dengan melihat kepada sesama Mukmin akan terbangun keinginan untuk saling mencontoh kebaikan dan saling memperbaiki kesalahan. Itulah juga salah satu makna makna dari "tawashow bil-haqq wa tawashow bis-shobr". Tidak selamanya dalam bentuk ceramah dan kata-kata. Tapi juga saling menjadi contoh satu sama lain.
Keempat, ketauladanan juga menjadi sangat penting kepada sesama manusia, termasuk kepada non Muslim di sekitar kita. Bahkan lebih penting lagi ketika hal ini dibawa ke ranah dakwah.
Saya sering menyampaikan bahwa metode Dakwah yang paling efektif adalah "al-qudwah" (ketauladanan). Bahwa ketika Islam ditampilkan dalam kehidupan nyata itu lebih dahsyat dampaknya kepada teman-teman non Muslim ketimbang menceramahkannya dengan retorika-retorika indah.
Dakwah dalam ceramah itu efektifitasnya dalam merubah persepsi atau menjadi jalan hidayah hanya 15-20 persen dari seluruh rangkaian Dakwah itu sendiri.
Di sinilah Urgensinya setiap Muslim untuk mampu membangun ketauladanan kepada sesama manusia di sekitarnya. Dengan prilaku dan akhlak mulia manusia akan berubah dan mengubah pandangan, bahkan boleh jadi menerima Islam sebagai jalan hidupnya.
Kelima, tentu saja jika anda berada di posisi kepemimpinan Umat (publik) maka anda harus mampu membangun ketauladanan. Mereka yang dipimpin tidak saja melihat kepada kemampuan menejerial dalam kepemimpinan. Tapi juga melihat kepada karakter dan integritas sang Pemimpin.
Potongan doa yang disebutkan terdahulu: Waj’alnaa lil-muttaqiina imaama” (jadikan kami Pemimpin bagi orang-orang bertakwa) mengindikasikan bahwa Pemimpin (imaam) itu harusnya berada di garda depan dalam ketakwaan.
Karenanya karakter “Shidiq, Fathonah, Amanah, dan Tablig” nabi-nabi menjadi tuntutan untuk ditauladani oleh para Pemimpin. Mereka harus memiliki semua itu dalam menjalankan kepemimpinan dan dalam melayani mereka yang dipimpin.
Pemimpin yang gagal menjadi tauladan kepada rakyatnya bagaikan imam sholat yang batal wudhu. Dengan sendirinya harus sadar diri jika dia tidak lagi layak untuk mengimami makmumnya.
Keenam, juga tidak kalah pentingnya untuk disadari bahwa secara kolektif umat Islam harus membangun ketauladanan kepada Umat-Umat yang lain.
Kita diingatkan bagaimana Allah SWT memposisikan Umat ini di tengah Umat-Umat yang lain. Dua posisi yang paling kita kenal adalah “Khaer Ummah” (Umat terbaik) dan “ummatan wasathan” (ummat pertengahan).
Kedua posisi keumatan (khaeriyah dan wasatiyah) itu mengandung makna, salah satunya, bahwa Umat ini adalah Umat yang memiliki tauladan (al-Qudwah) bagi Umat-Umat yang lain.
Oleh karenanya Umat ini harus sadar untuk selalu berjuang untuk memperbaiki diri sehingga pada masanya Umat-Umat lain akan menjadikannya sebagai contoh atau tauladan dalam segala aspek kehidupannya.
Sayang saat ini semua terbalik. Justeru kerap kehidupan Umat menjadi tertawaan Umat lain. Bahkan Umat ini sendiri justeru kerap berkiblat (berqudwah) kepada orang lain. Lebih jauh bahkan minder pada diri sendiri dan terkagum-kagum pada orang lain.
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan kenapa al-qudwah atau ketauladanan itu menjadi tuntutan yang mendasar dan mendesak untuk kita bangun. Baik pada tataran pribadi maupun pada tataran kehidupan komunal keumatan kita. Insya Allah!
New York, 19 November 2020
Imam/Direktur Jamaica Muslim Center, Presiden Nusantara Foundation
SALAH satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia yang sekaligus menjadi perhatian besar agama Islam adalah aspek ketauladanan (al-Qudwah). Bahwa dalam hidupnya manusia secara alami (fitri) memerlukan ketauladanan itu. Manusia dalam hidupnya akan mencari ketauladanan itu untuk menjadi cerminan, sekaligus ukuran akan dirinya sendiri.
Sejujurnya, jika melihat kepada ajaran Islam itu sendiri secara dekat, niscaya akan didapati bahwa hampir semua tingkatan dan sisi ajaran agama ini membangun ketauladanan itu.
Ambillah misalnya konsep Tauhid dalam Islam. Ketika Allah mengekspos Nama-Nama dan sifat-sifat-Nya sesungguhnya dimaksudkan salah satunya untuk dijadikan sabagai ketauladanan bagi manusia. Tentu pada tingkatan tabiat kemanusiaan itu sendiri. ( )
Allah itu Rahman Rahim misalnya. Allah itu begitu cinta dan penuh kasih yang tiada batas. Tabiat Allah yang tida batas menjadikan cinta dan kasih-Nya tentu juga tiada batas. Tapi manusia dengan tabiat keterbatasannya dituntut untuk menauladani Allah dalam kasih sayang-Nya sesuai tabiat kemanusiaannya.
Artinya eksposur sifat-sifat Allah kepada kita bukan sekedar untuk dihafal. Walau menghafalkannya pasti punya keutamaan yang besar. Tapi yang tidak kalah pentingnya adalah menauladani sifat-sifat Allah yang mulia itu dalam kehidupan nyata kita. Mari kita memiliki sifat cinta dan kasih dengan cinta dan kasih Allah. Kita membangun sifat mulia dengan "karomah" (Kemuliaan) Allah yang Al-Karim (Maha Mulia). Demikian seterusnya.
Demikian pula dengan Rasulullah SAW. Beliau ditugaskan oleh Allah untuk menyampaikan (tablig) ajaran agama ini kepada seluruh manusia. Bahkan seolah Allah SWT menegaskan dan membatasi tugas/kewajiban itu, seperti yang di firmankan: "Tidak ada kewajiban kamu kecuali menyampaikan (al-balaagh)". ( )
Tapi kenyataannya justru Allah juga menegaskan posisi lain Rasulullah SAW dalam Al-Quran sebagai "tauladan" (role model) kepada seluruh manusia. Firman-Nya: "Sesungguhnya bagi kamu sekalian pada diri Rasulullah ketauladanan yang baik (uswah hasanah)".
Pertanyaannya kemudian adalah jika Rasulullah SAW itu hanya berkewajiban tablig atau menyampaikan lalu kenapa beliau harus memposisikan diri sebagai contoh tauladan bagi manusia?
Jawabannya seperti yang disebutkan terdahulu bahwa secara alami semua orang memerlukan ketauladanan dari dalam hidupnya. Bagi seorang Mukmin tentunya ketauladanan terbesar dan termulia dalam hidupnya adalah ketauladanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Aspek-aspek ketauladanan
Ketauladanan ini kemudian harus terbangun dalam kehidupan manusia secara menyeluruh. Artinya bahwa insan-insan Mukmin harus membangun ketauladanan dalam segala aspek dan tingkatan hidupnya.
Pertama, seorang Mukmin itu senantiasa membangun ketauladanan pada dan untuk dirinya sendiri. Seorang Mukmin akan selalu berkaca pada dirinya dan melakukan perbaikan di mana ada salah dan pengembangan di mana ada kelebihan.
Di sinilah sesungguhnya salah satu makna dan tujuan "al-muhasabah" (introspeksi diri) yang dianjurkan oleh agama. "Hisablah dirimu sebelum kalian dihisab".
Makna dari ungkapan Umar RA ini adalah bahwa seorang Mukmin itu tidak akan pernah membiarkan dirinya terhanyut dalam ombak hawa nafsu sehingga terjadi kelalaian-kelalaian dalam hidupnya.
"Nasuu Allah fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa Allah. Maka Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka)," kata Al-Quran.
Maka salah satu cara untuk menjaga agar manusia Mukmin tidak lupa diri adalah selalu membangun ketauladanan pada diri. Membimbing diri sendiri ke arah yang baik, bahkan lebih baik. "Dan pada dirimu tidakkah kamu perhatikan?".
Kedua, seorang Mukmin akan selalu membangun ketauladanan kepada keluarganya. Suami menjadi tauladan bagi istrinya. Sebaliknya istri juga menjadi tauladan kepada suaminya.
Saling menjadi tauladan antara suami dan isteri ini diistilahkan antara lain dalam Al-Quran dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (Lelaki dan wanita Muslim itu adalah wali antara satu sama lain).
Pada ayat lain diistilahkan dengan "libaas" (Lelaki adalah pakaian bagi wanita dan wanita adalah pakaian bagi lelaki).
Tentu yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa orang tua harus membangun ketauladanan kepada anak-anak mereka. Perintah melindungi anak dari api negara (quu anfusakum) salah satunya yang terpenting adalah memberikan ketauladanan kepada mereka.
Anak-anak itu secara alami bahkan dengan diam-diam memperhatikan kedua orang tuanya. Mereka akan kagum atau sebaliknya kecewa kepada orang tua mereka, tergantung bagaiman kedua orang tua membawa diri di hadapan anak-anaknya.
Doa yang selalu kita panjatkan: "waj'alna lil muttaqiina imaama" (jadikan kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa) salah satunya mengindikasikan pentingnya membangun ketauladanan kepada anak.
Ketiga, Urgensi membangun ketauladanan kepada sesama Mukmin. Bahwa seorang Mukmin itu adalah tauladan kepada sesama Mukmin. Ini yang ditegaskan dalam sebuah hadits Rasulullah SAW: "al-mu’minu mir-aatul mu'min" (orang beriman itu adalah cermin kepada sesama orang beriman).
Menjadi tauladan kepada sesama Mukmin itu juga diekspresikan dalam ayat dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (mereka adalah wali di antara mereka).
Dengan melihat kepada sesama Mukmin akan terbangun keinginan untuk saling mencontoh kebaikan dan saling memperbaiki kesalahan. Itulah juga salah satu makna makna dari "tawashow bil-haqq wa tawashow bis-shobr". Tidak selamanya dalam bentuk ceramah dan kata-kata. Tapi juga saling menjadi contoh satu sama lain.
Keempat, ketauladanan juga menjadi sangat penting kepada sesama manusia, termasuk kepada non Muslim di sekitar kita. Bahkan lebih penting lagi ketika hal ini dibawa ke ranah dakwah.
Saya sering menyampaikan bahwa metode Dakwah yang paling efektif adalah "al-qudwah" (ketauladanan). Bahwa ketika Islam ditampilkan dalam kehidupan nyata itu lebih dahsyat dampaknya kepada teman-teman non Muslim ketimbang menceramahkannya dengan retorika-retorika indah.
Dakwah dalam ceramah itu efektifitasnya dalam merubah persepsi atau menjadi jalan hidayah hanya 15-20 persen dari seluruh rangkaian Dakwah itu sendiri.
Di sinilah Urgensinya setiap Muslim untuk mampu membangun ketauladanan kepada sesama manusia di sekitarnya. Dengan prilaku dan akhlak mulia manusia akan berubah dan mengubah pandangan, bahkan boleh jadi menerima Islam sebagai jalan hidupnya.
Kelima, tentu saja jika anda berada di posisi kepemimpinan Umat (publik) maka anda harus mampu membangun ketauladanan. Mereka yang dipimpin tidak saja melihat kepada kemampuan menejerial dalam kepemimpinan. Tapi juga melihat kepada karakter dan integritas sang Pemimpin.
Potongan doa yang disebutkan terdahulu: Waj’alnaa lil-muttaqiina imaama” (jadikan kami Pemimpin bagi orang-orang bertakwa) mengindikasikan bahwa Pemimpin (imaam) itu harusnya berada di garda depan dalam ketakwaan.
Karenanya karakter “Shidiq, Fathonah, Amanah, dan Tablig” nabi-nabi menjadi tuntutan untuk ditauladani oleh para Pemimpin. Mereka harus memiliki semua itu dalam menjalankan kepemimpinan dan dalam melayani mereka yang dipimpin.
Pemimpin yang gagal menjadi tauladan kepada rakyatnya bagaikan imam sholat yang batal wudhu. Dengan sendirinya harus sadar diri jika dia tidak lagi layak untuk mengimami makmumnya.
Keenam, juga tidak kalah pentingnya untuk disadari bahwa secara kolektif umat Islam harus membangun ketauladanan kepada Umat-Umat yang lain.
Kita diingatkan bagaimana Allah SWT memposisikan Umat ini di tengah Umat-Umat yang lain. Dua posisi yang paling kita kenal adalah “Khaer Ummah” (Umat terbaik) dan “ummatan wasathan” (ummat pertengahan).
Kedua posisi keumatan (khaeriyah dan wasatiyah) itu mengandung makna, salah satunya, bahwa Umat ini adalah Umat yang memiliki tauladan (al-Qudwah) bagi Umat-Umat yang lain.
Oleh karenanya Umat ini harus sadar untuk selalu berjuang untuk memperbaiki diri sehingga pada masanya Umat-Umat lain akan menjadikannya sebagai contoh atau tauladan dalam segala aspek kehidupannya.
Sayang saat ini semua terbalik. Justeru kerap kehidupan Umat menjadi tertawaan Umat lain. Bahkan Umat ini sendiri justeru kerap berkiblat (berqudwah) kepada orang lain. Lebih jauh bahkan minder pada diri sendiri dan terkagum-kagum pada orang lain.
Itulah beberapa hal yang menjadi alasan kenapa al-qudwah atau ketauladanan itu menjadi tuntutan yang mendasar dan mendesak untuk kita bangun. Baik pada tataran pribadi maupun pada tataran kehidupan komunal keumatan kita. Insya Allah!
New York, 19 November 2020
(abd)