Ketauladanan Itu Penting!
loading...
A
A
A
Aspek-aspek ketauladanan
Ketauladanan ini kemudian harus terbangun dalam kehidupan manusia secara menyeluruh. Artinya bahwa insan-insan Mukmin harus membangun ketauladanan dalam segala aspek dan tingkatan hidupnya.
Pertama, seorang Mukmin itu senantiasa membangun ketauladanan pada dan untuk dirinya sendiri. Seorang Mukmin akan selalu berkaca pada dirinya dan melakukan perbaikan di mana ada salah dan pengembangan di mana ada kelebihan.
Di sinilah sesungguhnya salah satu makna dan tujuan "al-muhasabah" (introspeksi diri) yang dianjurkan oleh agama. "Hisablah dirimu sebelum kalian dihisab".
Makna dari ungkapan Umar RA ini adalah bahwa seorang Mukmin itu tidak akan pernah membiarkan dirinya terhanyut dalam ombak hawa nafsu sehingga terjadi kelalaian-kelalaian dalam hidupnya.
"Nasuu Allah fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa Allah. Maka Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka)," kata Al-Quran.
Maka salah satu cara untuk menjaga agar manusia Mukmin tidak lupa diri adalah selalu membangun ketauladanan pada diri. Membimbing diri sendiri ke arah yang baik, bahkan lebih baik. "Dan pada dirimu tidakkah kamu perhatikan?".
Kedua, seorang Mukmin akan selalu membangun ketauladanan kepada keluarganya. Suami menjadi tauladan bagi istrinya. Sebaliknya istri juga menjadi tauladan kepada suaminya.
Saling menjadi tauladan antara suami dan isteri ini diistilahkan antara lain dalam Al-Quran dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (Lelaki dan wanita Muslim itu adalah wali antara satu sama lain).
Pada ayat lain diistilahkan dengan "libaas" (Lelaki adalah pakaian bagi wanita dan wanita adalah pakaian bagi lelaki).
Tentu yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa orang tua harus membangun ketauladanan kepada anak-anak mereka. Perintah melindungi anak dari api negara (quu anfusakum) salah satunya yang terpenting adalah memberikan ketauladanan kepada mereka.
Ketauladanan ini kemudian harus terbangun dalam kehidupan manusia secara menyeluruh. Artinya bahwa insan-insan Mukmin harus membangun ketauladanan dalam segala aspek dan tingkatan hidupnya.
Pertama, seorang Mukmin itu senantiasa membangun ketauladanan pada dan untuk dirinya sendiri. Seorang Mukmin akan selalu berkaca pada dirinya dan melakukan perbaikan di mana ada salah dan pengembangan di mana ada kelebihan.
Di sinilah sesungguhnya salah satu makna dan tujuan "al-muhasabah" (introspeksi diri) yang dianjurkan oleh agama. "Hisablah dirimu sebelum kalian dihisab".
Makna dari ungkapan Umar RA ini adalah bahwa seorang Mukmin itu tidak akan pernah membiarkan dirinya terhanyut dalam ombak hawa nafsu sehingga terjadi kelalaian-kelalaian dalam hidupnya.
"Nasuu Allah fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa Allah. Maka Allah jadikan mereka lupa pada diri mereka)," kata Al-Quran.
Maka salah satu cara untuk menjaga agar manusia Mukmin tidak lupa diri adalah selalu membangun ketauladanan pada diri. Membimbing diri sendiri ke arah yang baik, bahkan lebih baik. "Dan pada dirimu tidakkah kamu perhatikan?".
Kedua, seorang Mukmin akan selalu membangun ketauladanan kepada keluarganya. Suami menjadi tauladan bagi istrinya. Sebaliknya istri juga menjadi tauladan kepada suaminya.
Saling menjadi tauladan antara suami dan isteri ini diistilahkan antara lain dalam Al-Quran dengan "ba'dhuhum awliyaa ba'da" (Lelaki dan wanita Muslim itu adalah wali antara satu sama lain).
Pada ayat lain diistilahkan dengan "libaas" (Lelaki adalah pakaian bagi wanita dan wanita adalah pakaian bagi lelaki).
Tentu yang juga tidak kalah pentingnya adalah bahwa orang tua harus membangun ketauladanan kepada anak-anak mereka. Perintah melindungi anak dari api negara (quu anfusakum) salah satunya yang terpenting adalah memberikan ketauladanan kepada mereka.