Dua Gugatan terhadap UU MK Mulai Disidangkan
loading...
A
A
A
Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menyidangkan dua perkara ini uji formil dan uji materiil Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, Kamis (19/11/2020).
Perkara pertama nomor: 97/PUU-XVIII/2020 dengan pokok perkara pengujian materiil diajukan oleh dua orang advokat yakni Suhardi dan Linda Yendrawati Puspa. Keduanya mengajukan uji materi Pasal 87 UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, serta usia jabatan hakim konstitusi hingga 70 tahun.
Keduanya merasa dirugikan dengan berlakunya pasal ini karena menghalangi kesempatan mereka untuk menjadi hakim konstitusi. Pasal 87 dinilai potensial melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap para pemohon serta juga kewibawaan MK.
"Dengan demikian perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," tegas Ferdian Sutanto, kuasa hukum pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Kamis (19/11/2020).
(Baca: MK Klaim Independen Memutus Uji Materiil dan Uji Formil UU Baru KPK)
Sementara itu, perkara nomor 100/PUU-XVIII/2020 dengan pokok perkara pengujian formil dan pengujian materiil diajukan tujuh pemohon. Mereka yakni Raden Violla Reininda Hafidz, Muhammad Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara M, Korneles Materay, Beni Kurnia Illahi, Giri Ahmad Taufik , dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Tujuh pemohon tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Mereka didampingi Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, dkk sebagai kuasa pemohon.
Untuk aspek uji formil, para pemohon menilai pembentukan dan pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 22A UUD 1945. Uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2020 fokus pada Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2) yang dihapus, dan Pasal 87.
Secara umum, pasal-pasal ini terkait dengan syarat pengangkatan seseorang menjadi hakim konstitusi minimal berusia 55 tahun dan memiliki pengalaman di bidang hukum paling sedikit 15 tahun; tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang; pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi saat berusia 70 tahun; serta masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK serta usia jabatan hakim konstitusi hingga 70 tahun.
(Baca: Tiga Ibu dari Anak Penderita Lumpuh Otak Gugat UU Narkotika ke MK)
Untuk uji materiil UU Nomor 24 Tahun 2003, para pemohon fokus pada Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19. Dua pasal ini mengatur secara umum tentang komposisi hakim konstitusi yakni 3 diajukan dari Mahkamah Agung, 3 diajukan DPR, dan 3 diajukan pemerintah untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Berikutnya calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim tersebut.
Para pemohon perkara nomor 100 mendalilkan, secara formil pada prinsipnya UUD 1945 telah memberikan batasan konstitusional bahwa ada rambu-rambu yang ketat yang harus dipatuhi dalam membentuk undang-undang. Menurut para pemohon, UU 7 Tahun 2020 dibangun dengan landasan penyimpangan prosedural. Penyimpangan yang terjadi dalam proses pembentukan UU a quo yaitu pembentuk UU melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. UU a quo juga tidak memenuhi syarat carry over.
"Pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. UU Nomor 7 Tahun 2020 tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan naskah akademik hanya formalitas belaka. Proses pembahasan dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, tergesa-gesa, dan tidak memperlihatkan sense of crisis pandemi Covid-19. UU Nomor 7 Tahun 2020 berdasar hukum undang-undang yang invalid," ujar Kurnia Ramadhana.
Para pemohon perkara nomor 97 dan nomor 100 meminta di antaranya agar para hakim konstitusi MK memutuskan agar pasal-pasal a quo dalam uji materiil maupun uji formil UU a aquo (dalam perkara nomor 100) bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Untuk uji formil UU Nomor 7 Tahun 2020, agar MK menyatakan pembentukan UU a quo cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Perkara pertama nomor: 97/PUU-XVIII/2020 dengan pokok perkara pengujian materiil diajukan oleh dua orang advokat yakni Suhardi dan Linda Yendrawati Puspa. Keduanya mengajukan uji materi Pasal 87 UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, serta usia jabatan hakim konstitusi hingga 70 tahun.
Keduanya merasa dirugikan dengan berlakunya pasal ini karena menghalangi kesempatan mereka untuk menjadi hakim konstitusi. Pasal 87 dinilai potensial melanggar prinsip penghormatan dan pengakuan terhadap para pemohon serta juga kewibawaan MK.
"Dengan demikian perumusan Pasal yang demikian, maka Pasal a quo tidak proporsional dan berlebihan dan dengan sendirinya melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945," tegas Ferdian Sutanto, kuasa hukum pemohon dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Kamis (19/11/2020).
(Baca: MK Klaim Independen Memutus Uji Materiil dan Uji Formil UU Baru KPK)
Sementara itu, perkara nomor 100/PUU-XVIII/2020 dengan pokok perkara pengujian formil dan pengujian materiil diajukan tujuh pemohon. Mereka yakni Raden Violla Reininda Hafidz, Muhammad Ihsan Maulana, Rahmah Mutiara M, Korneles Materay, Beni Kurnia Illahi, Giri Ahmad Taufik , dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh.
Tujuh pemohon tergabung dalam Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Mereka didampingi Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, dkk sebagai kuasa pemohon.
Untuk aspek uji formil, para pemohon menilai pembentukan dan pengesahan UU Nomor 7 Tahun 2020 bertentangan dengan norma Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 22A UUD 1945. Uji materiil UU Nomor 7 Tahun 2020 fokus pada Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 23 ayat (1) huruf c, Pasal 59 ayat (2) yang dihapus, dan Pasal 87.
Secara umum, pasal-pasal ini terkait dengan syarat pengangkatan seseorang menjadi hakim konstitusi minimal berusia 55 tahun dan memiliki pengalaman di bidang hukum paling sedikit 15 tahun; tata cara seleksi, pemilihan, dan pengajuan hakim konstitusi diatur oleh masing-masing lembaga yang berwenang; pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi saat berusia 70 tahun; serta masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK serta usia jabatan hakim konstitusi hingga 70 tahun.
(Baca: Tiga Ibu dari Anak Penderita Lumpuh Otak Gugat UU Narkotika ke MK)
Untuk uji materiil UU Nomor 24 Tahun 2003, para pemohon fokus pada Pasal 18 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 19. Dua pasal ini mengatur secara umum tentang komposisi hakim konstitusi yakni 3 diajukan dari Mahkamah Agung, 3 diajukan DPR, dan 3 diajukan pemerintah untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Berikutnya calon hakim konstitusi dipublikasikan di media massa baik cetak maupun elektronik, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk ikut memberi masukan atas calon hakim tersebut.
Para pemohon perkara nomor 100 mendalilkan, secara formil pada prinsipnya UUD 1945 telah memberikan batasan konstitusional bahwa ada rambu-rambu yang ketat yang harus dipatuhi dalam membentuk undang-undang. Menurut para pemohon, UU 7 Tahun 2020 dibangun dengan landasan penyimpangan prosedural. Penyimpangan yang terjadi dalam proses pembentukan UU a quo yaitu pembentuk UU melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. UU a quo juga tidak memenuhi syarat carry over.
"Pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. UU Nomor 7 Tahun 2020 tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan naskah akademik hanya formalitas belaka. Proses pembahasan dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik, tergesa-gesa, dan tidak memperlihatkan sense of crisis pandemi Covid-19. UU Nomor 7 Tahun 2020 berdasar hukum undang-undang yang invalid," ujar Kurnia Ramadhana.
Para pemohon perkara nomor 97 dan nomor 100 meminta di antaranya agar para hakim konstitusi MK memutuskan agar pasal-pasal a quo dalam uji materiil maupun uji formil UU a aquo (dalam perkara nomor 100) bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Untuk uji formil UU Nomor 7 Tahun 2020, agar MK menyatakan pembentukan UU a quo cacat formil dan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
(muh)