Tiga Ibu dari Anak Penderita Lumpuh Otak Gugat UU Narkotika ke MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Tiga orang ibu dari anak penderita cerebral palsy atau penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh mengajukan permohonan uji materiil Undang-Undang (UU) Narkotika ke Mahkamah Konstitusi (MK) .
Tiga orang ibu tersebut yakni Dwi Pertiwi, ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen (16 Tahun); Santi Warastuti, ibu dari Pika Sasikirana alias Pika (12 Tahun); dan Nafiah Murhayanti, ibu dari Masayu Keynan Almeera P alias Keynan (10 Tahun). Gugatan diajukan ketiganya bersama Koalisi Masyarakat Sipil "Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan" sebagai pemohon.
Koalisi terdiri atas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rumah Cemara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Empowerment and Justice Action (EJA), dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN). ( )
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menyatakan, narkotika golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara. Bahkan, kata Erasmus, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rekomendasinya pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). WHO juga merekomendasikan beberapa senyawa ganja dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.
"Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, telah mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada hari ini, Kamis, 19 November 2020," kata Erasmus melalui siaran pers kepada SINDOnews, di Jakarta, Kamis (19/11/2020) sore.
Secara spesifik, tutur Erasmus, ketentuan pasal yang diujikan yakni penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika terhadap UUD 1945. Para pemohon, kata dia, mendalilkan bahwa pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945. ( engacara Sebut Sayimah Salsabilah Konsumsi Ganja untuk Kesehatan )
"UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1)," katanya.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika berbunyi, "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan." Sedangkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tertera, "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan."
Erasmus melanjutkan, dari tiga anak dari tiga ini yang didiagnosa dengan cerebral palsy, satu anak di antaranya sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan.
"Oleh karenanya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan, sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau," ucapnya.
Tiga orang ibu tersebut yakni Dwi Pertiwi, ibu dari Musa IBN Hassan Pedersen (16 Tahun); Santi Warastuti, ibu dari Pika Sasikirana alias Pika (12 Tahun); dan Nafiah Murhayanti, ibu dari Masayu Keynan Almeera P alias Keynan (10 Tahun). Gugatan diajukan ketiganya bersama Koalisi Masyarakat Sipil "Advokasi Narkotika untuk Pelayanan Kesehatan" sebagai pemohon.
Koalisi terdiri atas Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Rumah Cemara, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), Empowerment and Justice Action (EJA), dan Lingkar Ganja Nusantara (LGN). ( )
Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Abraham Todo Napitupulu menyatakan, narkotika golongan I yang salah satunya meliputi ganja telah terbukti dalam berbagai penelitian internasional mengandung manfaat kesehatan dan juga telah digunakan secara legal untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan di banyak negara. Bahkan, kata Erasmus, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam rekomendasinya pada 2018 menyatakan agar mempertimbangkan kembali posisi senyawa ganja dalam pengaturan konvensi internasional narkotika (Konvensi 1961). WHO juga merekomendasikan beberapa senyawa ganja dikeluarkan dalam pengaturan konvensi tersebut.
"Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, Koalisi Masyarakat Sipil bersama-sama dengan 3 orang ibu dari anak-anak dengan Cerebral Palsy, yakni penyakit lumpuh otak yang mengakibatkan gangguan pada gerakan dan koordinasi tubuh, telah mengajukan permohonan Uji Materi UU Narkotika ke Mahkamah Konstitusi pada hari ini, Kamis, 19 November 2020," kata Erasmus melalui siaran pers kepada SINDOnews, di Jakarta, Kamis (19/11/2020) sore.
Secara spesifik, tutur Erasmus, ketentuan pasal yang diujikan yakni penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika terhadap UUD 1945. Para pemohon, kata dia, mendalilkan bahwa pelarangan penggunaan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan melalui ketentuan penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika telah bertentangan dengan UUD 1945. ( engacara Sebut Sayimah Salsabilah Konsumsi Ganja untuk Kesehatan )
"UUD 1945 yang menjamin hak warga negara untuk memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28H ayat 1) dan memperoleh manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Pasal 26C ayat 1)," katanya.
Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Narkotika berbunyi, "Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan Narkotika Golongan I adalah Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan." Sedangkan penjelasan Pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tertera, "Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan."
Erasmus melanjutkan, dari tiga anak dari tiga ini yang didiagnosa dengan cerebral palsy, satu anak di antaranya sempat membaik kondisi kesehatannya setelah mendapatkan terapi ganja dengan sistem pengasapan (bakar dupa) dan pemberian minyak ganja (Cannabis/CBD Oil) di Australia. Namun ketika berada di Indonesia, pengobatan tersebut menjadi tidak dapat dilanjutkan.
"Oleh karenanya, adanya larangan penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan di Indonesia menjadi penghalang bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan, sehingga kualitas kesehatan dan kualitas hidup anak-anaknya yang didiagnosa dengan Cerebral Palsy tidak dapat diperbaiki/ditingkatkan hingga taraf semaksimal mungkin yang dapat dijangkau," ucapnya.