Konvensi Partai Dinilai Salah Satu Opsi Jaring Capres-Cawapres 2024
loading...
A
A
A
Sedangkan pengamat politik Arya Fernandes mengatakan bahwa dalam konvensi dan seleksi kepemimpinan mensyaratkan adanya pencalonan yang terbuka, demokratis, dan kompetitif.
Selain itu, terbukanya ruang kontestasi yang partisipatoris, meningkatnya loyalitas kader dan pemilih partai, serta terbentuknya party-id yang kuat.
Konvensi ini pun harus memberi efek kepada partai. Efek itu bisa berupa perolehan suara partai, berefek terhadap terbentuknya koalisi, serta terbangunnya narasi positif dalam seleksi kepemimpinan nasional.
"Kita bisa belajar dari konvensi sebelumnya, baik dari partai Golkar maupun partai Demokrat. Dari Golkar kita bisa belajar soal potensi pembelian suara dan konvensi berbiaya mahal. Dan dari Demokrat kita bisa belajar soal kegagalan konvensi karena kesulitan memenuhi syarat pencalonan dan perubahan arah politik Ketua Umum," pesan Arya.
Pengamat politik Phillips J Vermonte juga sangat mendukung rencana konvensi partai Nasdem. Jika Nasdem duluan menggelar konvensi, kemungkinan partai lain akan mengikuti.
Dia berpesan agar Nasdem bisa menjamin adanya loyalitas dari partai-partai. Termasuk loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi.
"Kalau partai lain tidak melihat adanya itu (loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi), mereka (partai-partai) tidak akan ikut. Kegagalan konvensi Golkar dan Demokrat harus menjadi pembelajaran berharga," kata Phillips.
Pengamat politik Ray Rangkuti mengusulkan perlunya membuat definisi yang tepat terhadap konvensi dan implikasinya. Apakah konvensi capres, konvensi capres dan cawapres, atau konvensi capres dan atau cawapres.
"Ini penting supaya publik ada kejelasan. Juga perlu ada ikatan supaya calon atau parpolnya tidak keluar koalisi selama dua tahun," ujar Ray.
Sementara itu, pakar psikologi politik Hamdi Muluk menyoroti dua hal. Pertama, apakah UU No 7 tahun 2012 akan direvisi? Jika target Nasdem seperti itu, hal ini harus didudukkan terlebih dulu. Sebab, masalah ini pernah dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) tapi kandas.
Selain itu, terbukanya ruang kontestasi yang partisipatoris, meningkatnya loyalitas kader dan pemilih partai, serta terbentuknya party-id yang kuat.
Konvensi ini pun harus memberi efek kepada partai. Efek itu bisa berupa perolehan suara partai, berefek terhadap terbentuknya koalisi, serta terbangunnya narasi positif dalam seleksi kepemimpinan nasional.
"Kita bisa belajar dari konvensi sebelumnya, baik dari partai Golkar maupun partai Demokrat. Dari Golkar kita bisa belajar soal potensi pembelian suara dan konvensi berbiaya mahal. Dan dari Demokrat kita bisa belajar soal kegagalan konvensi karena kesulitan memenuhi syarat pencalonan dan perubahan arah politik Ketua Umum," pesan Arya.
Pengamat politik Phillips J Vermonte juga sangat mendukung rencana konvensi partai Nasdem. Jika Nasdem duluan menggelar konvensi, kemungkinan partai lain akan mengikuti.
Dia berpesan agar Nasdem bisa menjamin adanya loyalitas dari partai-partai. Termasuk loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi.
"Kalau partai lain tidak melihat adanya itu (loyalitas Nasdem terhadap hasil konvensi), mereka (partai-partai) tidak akan ikut. Kegagalan konvensi Golkar dan Demokrat harus menjadi pembelajaran berharga," kata Phillips.
Pengamat politik Ray Rangkuti mengusulkan perlunya membuat definisi yang tepat terhadap konvensi dan implikasinya. Apakah konvensi capres, konvensi capres dan cawapres, atau konvensi capres dan atau cawapres.
"Ini penting supaya publik ada kejelasan. Juga perlu ada ikatan supaya calon atau parpolnya tidak keluar koalisi selama dua tahun," ujar Ray.
Sementara itu, pakar psikologi politik Hamdi Muluk menyoroti dua hal. Pertama, apakah UU No 7 tahun 2012 akan direvisi? Jika target Nasdem seperti itu, hal ini harus didudukkan terlebih dulu. Sebab, masalah ini pernah dibawa ke Mahmakah Konstitusi (MK) tapi kandas.