Kuasa Hukum Beberkan Kronologi Tewasnya ABK Indonesia di Kapal China
loading...
A
A
A
Umumnya ABK yang direkrut adalah memiliki latar belakang ekonomi dan pendidikan yang lemah. Karena putus asa mencari pekerjaan layak di dalam negeri, para korban didatangi oleh calo penempatan tenaga kerja (biasa disebut sponsor), dan menjanjikan ada pekerjaan yang layak dengan iming-iming gaji besar.
Jika setuju, maka para korban akan dibawa ke agen penyalur ABK, tugas sponsor berhenti sampai di sini dan kemudian mendapatkan uang dari agen penyalur. Setelah itu, agen penyalur akan bekerjasama dengan pemilik kapal untuk penempatan ABK.
Pada kasus ini, Pihak agensi diduga tutup mata dan melepaskan tanggung jawab tentang situasi dan nasib Para ABK setelah berada di Kapal Long Xing 629.
Agensi tidak melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan hidup yang layak Para ABK tersebut, sehingga ABK harus hidup ditempat yang tidak layak dengan makanan dan minuman yang tidak manusiawi.
Lebih parahnya lagi, Agensi yang seharusnya mengirimkan uang kepada keluarga ABK, juga tidak dilaksanakan. Padahal secara hukum agensi bertanggungjawab terhadap ABK dalam masa pra kerja, saat kerja dan pasca kerja (pemulangan).
Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak Penyalur (agensi) tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata.
Kapal Long Xing 629 tergabung dengan grup lainnya seperti Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8 di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Seharusnya grup ini menangkap tuna karena menggunakan alat tangkap long line. Namun faktanya, mereka juga memiliki alat tangkap untuk menangkap hiu dan spesies dilindungi lainnya.
Hasil tangkapan berupa 20 ekor hiu per hari biasanya akan ditransfer ke kapal lain di tengah laut. Pada periode tangkapan terakhir, mereka memiliki 16 box yang masing-masing berisi 45 kilogram sirip hiu.
Sejak pemberitaan mengenai dugaan perbudakan ABK Indonesia di kapal Long Xing 629 menjadi trending di berbagai pemberitaan internasional, Pemerintah Indonesia telah bergerak cepat untuk melakukan pendampingan, pemulangan dan membentuk tim untuk investigasi mendalam terhadap kasus ini.
Jika setuju, maka para korban akan dibawa ke agen penyalur ABK, tugas sponsor berhenti sampai di sini dan kemudian mendapatkan uang dari agen penyalur. Setelah itu, agen penyalur akan bekerjasama dengan pemilik kapal untuk penempatan ABK.
Pada kasus ini, Pihak agensi diduga tutup mata dan melepaskan tanggung jawab tentang situasi dan nasib Para ABK setelah berada di Kapal Long Xing 629.
Agensi tidak melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan hidup yang layak Para ABK tersebut, sehingga ABK harus hidup ditempat yang tidak layak dengan makanan dan minuman yang tidak manusiawi.
Lebih parahnya lagi, Agensi yang seharusnya mengirimkan uang kepada keluarga ABK, juga tidak dilaksanakan. Padahal secara hukum agensi bertanggungjawab terhadap ABK dalam masa pra kerja, saat kerja dan pasca kerja (pemulangan).
Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak Penyalur (agensi) tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata.
Kapal Long Xing 629 tergabung dengan grup lainnya seperti Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8 di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Seharusnya grup ini menangkap tuna karena menggunakan alat tangkap long line. Namun faktanya, mereka juga memiliki alat tangkap untuk menangkap hiu dan spesies dilindungi lainnya.
Hasil tangkapan berupa 20 ekor hiu per hari biasanya akan ditransfer ke kapal lain di tengah laut. Pada periode tangkapan terakhir, mereka memiliki 16 box yang masing-masing berisi 45 kilogram sirip hiu.
Sejak pemberitaan mengenai dugaan perbudakan ABK Indonesia di kapal Long Xing 629 menjadi trending di berbagai pemberitaan internasional, Pemerintah Indonesia telah bergerak cepat untuk melakukan pendampingan, pemulangan dan membentuk tim untuk investigasi mendalam terhadap kasus ini.
(nag)