Kuasa Hukum Beberkan Kronologi Tewasnya ABK Indonesia di Kapal China
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pada Jumat 8 Mei 2020, 14 orang anak buah kapal (ABK) Indonesia yang bekerja di Kapal Long Xing 629 telah tiba di Jakarta dengan selamat.
Serangkaian pemeriksaan kesehatan dilakukan terhadap para ABK, termasuk menjalani karantina kesehatan selama 14 hari sebagai bagian dari protokol Covid-19.
Lewat rilis pers rilis ini, DNT Lawyers sebagai kuasa hukum para ABK akan menguraikan kronologi yang terjadi pada para ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629, sekaligus menjelaskan tentang langkah-langkah hukum yang akan ditempuh untuk memulihkan hak korban yang menjadi korban perdagangan orang (perbudakan modern/modernslavery).
Selaku kuasa hukum, DNT Lawyers yang melakukan pendampingan hukum bersama Advocaters For Public Interest Law (APIL) Korea Selatan akan menyampaikan beberapa hal terkait pendampingan hukum dan tindakan yang akan dilakukan demi memberikan keadilan pada ABK tersebut.
Ketika memasuki perairan Korea Selatan, ada 15 ABK Indonesia yang berada di Kapal Long Xing 629. Mereka kemudian dipindahkan ke Kapal Tian Yu 8 dan Long Xing 605 yang akan berlabuh di Busan. Sementara itu, Long Xing 629 beserta ABK Tiongkok melanjutkan pelayaran kembali ke China.
Kapal Tian Yu 8 dan kapal Long Xing 605 telah berada di perairan Busan sejak 14 April 2020. Namun Otoritas Imigrasi Korea Selatan mengharuskan ABK tetap berada di atas kapal selama 10 hari sebagai bagian dari Protokol Covid-19.
Para ABK baru diizinkan turun pada 24 April, kemudian mereka menjalani karantina Covid-19 selama 14 hari di Hotel Ramada. Karantina ini difasilitasi oleh agen awak kapal Fisco Marine Corporation Busan.
Selama menjalani karantina, tim APIL Korea Selatan melakukan interview dengan ABK Indonesia. Dari hasil wawancara tersebut ditemukan bukti secara kuat adanya eksploitasi dan kemungkinan perdagangan orang.
APIL kemudian berkoordinasi dengan DNT Lawyers dan Environmental Justice Foundation (organisasi nirlaba yang berbasis di London, Inggris) untuk mendalami fakta-fakta yang mereka temukan, sekaligus mendorong pemerintah Indonesia agar segera melakukan upaya
Hukum terkait kasus pelanggaran HAM tersebut. Karena operasi dan awak kapal bukan berasal dari Korea Selatan, APIL mengirimkan semua bukti dokumen dan video kepada DNT Lawyers untuk ditindak di Indonesia.
Jasad Awal Kapal yang Meninggal Selama Pelayaran Aakan Dibuang ke Laut
Long Xing 629 telah beroperasi sejak 15 Februari 2019, dan selama lebih dari 13 bulan beroperasi di Perairan Samoa (tepatnya di wilayah RFMO Western & Central Pacific Fisheries Commission). Kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah bersandar di daratan atau pulau.
Pada Desember 2019, dua orang ABK bernama Sepri, Alfatah meninggal disebabkan oleh penyakit misterius yang memiliki ciri-ciri sama, yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak nafas.
Sepri dan Alfatah mengalami sakit selama 45 hari sebelum meninggal. Selanjutnya pada Maret 2020, Ari mengalami sakit yang sama selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal pada 30 Maret 2020.
Selama sakit, kapten kapal hanya memberikan obat-obat yang tidak dapat dipahami ABK Indonesia karena tertulis dalam bahasa China, juga diduga telah kadaluarsa.
Kapten juga menolak permintaan para ABK Indonesia untuk membawa temannya yang sakit ke rumah sakit di Samoa. Pada masa kritis itu, Alfatih dipindahkan ke Kapal Long Xing 802, dan Sepri ke Long Xing 629. Mereka meninggal di kedua kapal tersebut.
Para ABK Indonesia telah meminta agar jenazah rekan mereka disimpan di tempat pendingin agar dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun kapten kapal menolak dan justru melarung jenazah tersebut ke tengah laut.
Kemudian, setelah kapal berlabuh di Busan untuk menjalani karantina 14 hari di Hotel Ramada, ABK Effendi Pasaribu mengalami sakit misterius yang sama dengan rekan-rekan terdahulu.
Sayangnya Effendi tidak langsung dibawa ke rumah sakit padahal gejala badan bengkak dan sesak nafas sudah dirasakan Effendi Pasaribu sejak Februari 2020, atau 2 bulan sebelum berlabuh di Busan.
Baru pada 26 April malam Effendi dibawa ke UGD Busan Medical Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Namun akhirnya Effendi meninggal pada 27 April 2020 pagi waktu Busan.
Selain peristiwa meninggalnya empat ABK dengan penyakit misterius, ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629 juga mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang dengan detail sebagai berikut:
1. Jam kerja yang mengharuskan para ABK bekerja selama 18 jam setiap hari. Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, para ABK harus kerja terus-menerus selama 48 jam tanpa istirahat.
2. Selama 13 bulan, kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah berlabuh atau melihat daratan. Hal ini diduga karena kapal melakukan aktivitas illegal sehingga menghindari pemeriksaan petugas di pelabuhan. Juga diduga untuk membatasi akses ABK untuk dapat mengadu ke pihak lain tentang kondisi tidak manusiawi diatas kapal.
3. ABK Indonesia hanya diberikan air sulingan dari air laut yang masih sangat asin, sedangkan ABK Tiongkok meminum air mineral dalam kemasan botol. Beberapa penelitian menunjukkan kebanyakan minum asin dapat menyebabkan hipertensi dan jantung.
4. Dua orang ABK Indonesia mengalami kekerasan fisik oleh wakil kapten dan ABK senior Tiongkok.
5. Gaji selama tiga bulan pertama tidak diberikan secara utuh karena alasan biaya administratif. Padahal menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana.
6. Pembayaran gaji tidak sesuai kontrak. ABK tidak mendapatkan haknya sesuai perjanjian. Ada ABK yang hanya mendapatkan USD 120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum 300 USD setiap bulan.
7. ABK sering diberi makanan berupa umpan ikan yang berbau sehingga mereka mengalami gatal dan keracunan makanan.
8. ABK Indonesia diberi makanan berupa sayur-sayur dan daging ayam yang sudah berada di freezer sejak 13 bulan, sedangkan ABK Tiongkok selalu memakan dari bahan yang masih segar yang disuplai dari kapal lain dalam satu group.
9. Koki Tiongkok membuat 2 pembagian masakan, yaitu makanan khusus ABK Tiongkok yang seluruhnya lebih segar dan menggunakan air minum botol, dan makanan khusus ABK Indonesia dengan makanan lama yang tidak segar dan berbau.
10. Kontrak kerja (Perjanjian Kerja Laut) memuat unsur yang membuat ABK berada dalam kondisi rentan, antara lain jam kerja tidak terbatas semuanya ditentukan kapten, hanya boleh makan-makanan yang disiapkan tidak boleh komplain walau yang ada tidak layak atau bertentangan dengan agama, tidak boleh membantah perintah apapun dari kapten, tidak boleh melarikan diri dari kapal, dan lainnya.
11. Kontrak kerja memuat informasi yang tidak benar, seperti misalnya dalam kontrak disebut kapal berbendera Korea Selatan, nyatanya kapal berbendera Tiongkok.
Umumnya ABK yang direkrut adalah memiliki latar belakang ekonomi dan pendidikan yang lemah. Karena putus asa mencari pekerjaan layak di dalam negeri, para korban didatangi oleh calo penempatan tenaga kerja (biasa disebut sponsor), dan menjanjikan ada pekerjaan yang layak dengan iming-iming gaji besar.
Jika setuju, maka para korban akan dibawa ke agen penyalur ABK, tugas sponsor berhenti sampai di sini dan kemudian mendapatkan uang dari agen penyalur. Setelah itu, agen penyalur akan bekerjasama dengan pemilik kapal untuk penempatan ABK.
Pada kasus ini, Pihak agensi diduga tutup mata dan melepaskan tanggung jawab tentang situasi dan nasib Para ABK setelah berada di Kapal Long Xing 629.
Agensi tidak melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan hidup yang layak Para ABK tersebut, sehingga ABK harus hidup ditempat yang tidak layak dengan makanan dan minuman yang tidak manusiawi.
Lebih parahnya lagi, Agensi yang seharusnya mengirimkan uang kepada keluarga ABK, juga tidak dilaksanakan. Padahal secara hukum agensi bertanggungjawab terhadap ABK dalam masa pra kerja, saat kerja dan pasca kerja (pemulangan).
Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak Penyalur (agensi) tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata.
Kapal Long Xing 629 tergabung dengan grup lainnya seperti Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8 di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Seharusnya grup ini menangkap tuna karena menggunakan alat tangkap long line. Namun faktanya, mereka juga memiliki alat tangkap untuk menangkap hiu dan spesies dilindungi lainnya.
Hasil tangkapan berupa 20 ekor hiu per hari biasanya akan ditransfer ke kapal lain di tengah laut. Pada periode tangkapan terakhir, mereka memiliki 16 box yang masing-masing berisi 45 kilogram sirip hiu.
Sejak pemberitaan mengenai dugaan perbudakan ABK Indonesia di kapal Long Xing 629 menjadi trending di berbagai pemberitaan internasional, Pemerintah Indonesia telah bergerak cepat untuk melakukan pendampingan, pemulangan dan membentuk tim untuk investigasi mendalam terhadap kasus ini.
Lihat Juga: Kapal Penangkap Ikan Geumseongsusan 135 Tenggelam di Korsel, 9 WNI Selamat, 2 WNI Hilang
Serangkaian pemeriksaan kesehatan dilakukan terhadap para ABK, termasuk menjalani karantina kesehatan selama 14 hari sebagai bagian dari protokol Covid-19.
Lewat rilis pers rilis ini, DNT Lawyers sebagai kuasa hukum para ABK akan menguraikan kronologi yang terjadi pada para ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629, sekaligus menjelaskan tentang langkah-langkah hukum yang akan ditempuh untuk memulihkan hak korban yang menjadi korban perdagangan orang (perbudakan modern/modernslavery).
Selaku kuasa hukum, DNT Lawyers yang melakukan pendampingan hukum bersama Advocaters For Public Interest Law (APIL) Korea Selatan akan menyampaikan beberapa hal terkait pendampingan hukum dan tindakan yang akan dilakukan demi memberikan keadilan pada ABK tersebut.
Ketika memasuki perairan Korea Selatan, ada 15 ABK Indonesia yang berada di Kapal Long Xing 629. Mereka kemudian dipindahkan ke Kapal Tian Yu 8 dan Long Xing 605 yang akan berlabuh di Busan. Sementara itu, Long Xing 629 beserta ABK Tiongkok melanjutkan pelayaran kembali ke China.
Kapal Tian Yu 8 dan kapal Long Xing 605 telah berada di perairan Busan sejak 14 April 2020. Namun Otoritas Imigrasi Korea Selatan mengharuskan ABK tetap berada di atas kapal selama 10 hari sebagai bagian dari Protokol Covid-19.
Para ABK baru diizinkan turun pada 24 April, kemudian mereka menjalani karantina Covid-19 selama 14 hari di Hotel Ramada. Karantina ini difasilitasi oleh agen awak kapal Fisco Marine Corporation Busan.
Selama menjalani karantina, tim APIL Korea Selatan melakukan interview dengan ABK Indonesia. Dari hasil wawancara tersebut ditemukan bukti secara kuat adanya eksploitasi dan kemungkinan perdagangan orang.
APIL kemudian berkoordinasi dengan DNT Lawyers dan Environmental Justice Foundation (organisasi nirlaba yang berbasis di London, Inggris) untuk mendalami fakta-fakta yang mereka temukan, sekaligus mendorong pemerintah Indonesia agar segera melakukan upaya
Hukum terkait kasus pelanggaran HAM tersebut. Karena operasi dan awak kapal bukan berasal dari Korea Selatan, APIL mengirimkan semua bukti dokumen dan video kepada DNT Lawyers untuk ditindak di Indonesia.
Jasad Awal Kapal yang Meninggal Selama Pelayaran Aakan Dibuang ke Laut
Long Xing 629 telah beroperasi sejak 15 Februari 2019, dan selama lebih dari 13 bulan beroperasi di Perairan Samoa (tepatnya di wilayah RFMO Western & Central Pacific Fisheries Commission). Kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah bersandar di daratan atau pulau.
Pada Desember 2019, dua orang ABK bernama Sepri, Alfatah meninggal disebabkan oleh penyakit misterius yang memiliki ciri-ciri sama, yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak nafas.
Sepri dan Alfatah mengalami sakit selama 45 hari sebelum meninggal. Selanjutnya pada Maret 2020, Ari mengalami sakit yang sama selama 17 hari sebelum akhirnya meninggal pada 30 Maret 2020.
Selama sakit, kapten kapal hanya memberikan obat-obat yang tidak dapat dipahami ABK Indonesia karena tertulis dalam bahasa China, juga diduga telah kadaluarsa.
Kapten juga menolak permintaan para ABK Indonesia untuk membawa temannya yang sakit ke rumah sakit di Samoa. Pada masa kritis itu, Alfatih dipindahkan ke Kapal Long Xing 802, dan Sepri ke Long Xing 629. Mereka meninggal di kedua kapal tersebut.
Para ABK Indonesia telah meminta agar jenazah rekan mereka disimpan di tempat pendingin agar dapat dibawa pulang ke Indonesia. Namun kapten kapal menolak dan justru melarung jenazah tersebut ke tengah laut.
Kemudian, setelah kapal berlabuh di Busan untuk menjalani karantina 14 hari di Hotel Ramada, ABK Effendi Pasaribu mengalami sakit misterius yang sama dengan rekan-rekan terdahulu.
Sayangnya Effendi tidak langsung dibawa ke rumah sakit padahal gejala badan bengkak dan sesak nafas sudah dirasakan Effendi Pasaribu sejak Februari 2020, atau 2 bulan sebelum berlabuh di Busan.
Baru pada 26 April malam Effendi dibawa ke UGD Busan Medical Centre karena kondisinya yang semakin kritis. Namun akhirnya Effendi meninggal pada 27 April 2020 pagi waktu Busan.
Selain peristiwa meninggalnya empat ABK dengan penyakit misterius, ABK Indonesia di Kapal Long Xing 629 juga mengalami eksploitasi dan menjadi korban perdagangan orang dengan detail sebagai berikut:
1. Jam kerja yang mengharuskan para ABK bekerja selama 18 jam setiap hari. Jika kebetulan pada saat itu tangkapan ikan sedang berlimpah, para ABK harus kerja terus-menerus selama 48 jam tanpa istirahat.
2. Selama 13 bulan, kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah berlabuh atau melihat daratan. Hal ini diduga karena kapal melakukan aktivitas illegal sehingga menghindari pemeriksaan petugas di pelabuhan. Juga diduga untuk membatasi akses ABK untuk dapat mengadu ke pihak lain tentang kondisi tidak manusiawi diatas kapal.
3. ABK Indonesia hanya diberikan air sulingan dari air laut yang masih sangat asin, sedangkan ABK Tiongkok meminum air mineral dalam kemasan botol. Beberapa penelitian menunjukkan kebanyakan minum asin dapat menyebabkan hipertensi dan jantung.
4. Dua orang ABK Indonesia mengalami kekerasan fisik oleh wakil kapten dan ABK senior Tiongkok.
5. Gaji selama tiga bulan pertama tidak diberikan secara utuh karena alasan biaya administratif. Padahal menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana.
6. Pembayaran gaji tidak sesuai kontrak. ABK tidak mendapatkan haknya sesuai perjanjian. Ada ABK yang hanya mendapatkan USD 120 atau Rp 1,7 juta setelah bekerja selama 13 bulan. Padahal seharusnya ABK berhak mendapatkan minimum 300 USD setiap bulan.
7. ABK sering diberi makanan berupa umpan ikan yang berbau sehingga mereka mengalami gatal dan keracunan makanan.
8. ABK Indonesia diberi makanan berupa sayur-sayur dan daging ayam yang sudah berada di freezer sejak 13 bulan, sedangkan ABK Tiongkok selalu memakan dari bahan yang masih segar yang disuplai dari kapal lain dalam satu group.
9. Koki Tiongkok membuat 2 pembagian masakan, yaitu makanan khusus ABK Tiongkok yang seluruhnya lebih segar dan menggunakan air minum botol, dan makanan khusus ABK Indonesia dengan makanan lama yang tidak segar dan berbau.
10. Kontrak kerja (Perjanjian Kerja Laut) memuat unsur yang membuat ABK berada dalam kondisi rentan, antara lain jam kerja tidak terbatas semuanya ditentukan kapten, hanya boleh makan-makanan yang disiapkan tidak boleh komplain walau yang ada tidak layak atau bertentangan dengan agama, tidak boleh membantah perintah apapun dari kapten, tidak boleh melarikan diri dari kapal, dan lainnya.
11. Kontrak kerja memuat informasi yang tidak benar, seperti misalnya dalam kontrak disebut kapal berbendera Korea Selatan, nyatanya kapal berbendera Tiongkok.
Umumnya ABK yang direkrut adalah memiliki latar belakang ekonomi dan pendidikan yang lemah. Karena putus asa mencari pekerjaan layak di dalam negeri, para korban didatangi oleh calo penempatan tenaga kerja (biasa disebut sponsor), dan menjanjikan ada pekerjaan yang layak dengan iming-iming gaji besar.
Jika setuju, maka para korban akan dibawa ke agen penyalur ABK, tugas sponsor berhenti sampai di sini dan kemudian mendapatkan uang dari agen penyalur. Setelah itu, agen penyalur akan bekerjasama dengan pemilik kapal untuk penempatan ABK.
Pada kasus ini, Pihak agensi diduga tutup mata dan melepaskan tanggung jawab tentang situasi dan nasib Para ABK setelah berada di Kapal Long Xing 629.
Agensi tidak melakukan pengawasan terhadap keberlangsungan hidup yang layak Para ABK tersebut, sehingga ABK harus hidup ditempat yang tidak layak dengan makanan dan minuman yang tidak manusiawi.
Lebih parahnya lagi, Agensi yang seharusnya mengirimkan uang kepada keluarga ABK, juga tidak dilaksanakan. Padahal secara hukum agensi bertanggungjawab terhadap ABK dalam masa pra kerja, saat kerja dan pasca kerja (pemulangan).
Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak Penyalur (agensi) tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata.
Kapal Long Xing 629 tergabung dengan grup lainnya seperti Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8 di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Seharusnya grup ini menangkap tuna karena menggunakan alat tangkap long line. Namun faktanya, mereka juga memiliki alat tangkap untuk menangkap hiu dan spesies dilindungi lainnya.
Hasil tangkapan berupa 20 ekor hiu per hari biasanya akan ditransfer ke kapal lain di tengah laut. Pada periode tangkapan terakhir, mereka memiliki 16 box yang masing-masing berisi 45 kilogram sirip hiu.
Sejak pemberitaan mengenai dugaan perbudakan ABK Indonesia di kapal Long Xing 629 menjadi trending di berbagai pemberitaan internasional, Pemerintah Indonesia telah bergerak cepat untuk melakukan pendampingan, pemulangan dan membentuk tim untuk investigasi mendalam terhadap kasus ini.
Lihat Juga: Kapal Penangkap Ikan Geumseongsusan 135 Tenggelam di Korsel, 9 WNI Selamat, 2 WNI Hilang
(nag)