Eks Calon Hakim Adhoc Tipikor MA Gugat UU Komisi Yudisial ke MK
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mantan calon hakim adhoc tindak pidana korupsi (tipikor) di Mahkamah Agung (MA), Burhanudin mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas pemberlakuan Pasal 13 huruf a UU Komisi Yudisial (KY) .
Permohonan yang diajukan Burhanudin teregister dengan perkara nomor: 92/PUU-XVIII/2020. Dia menggandeng Wasis Susetio dan kawan-kawan (dkk) sebagai kuasa pemohon. Secara spesifik, norma yang diujikan yakni sepanjang frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).
Pasal 13 huruf a UU KY berbunyi, "Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan". ( )
MK menggelar persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Senin (9/11/2020). Perkara ditangani oleh hakim panel konstitusi yang dipimpin Saldi Isra dengan anggota Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih. Persidangan dilangsungkan secara virtual. Ada dua kuasa hukum Burhanuddin yang hadir yakni Wasis Susetio dan Zainal Arifin.
Wasis Susetio membeberkan, Burhanuddin selaku pemohon prinsipal merupakan warga negara Indonesia yang juga pernah mengikuti seleksi calon hakim adhoc tipikor di MA pada 2016 yang seleksinya diselenggarakan oleh KY. Burhanuddin sebagai pemohon merasa terhalangi oleh frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a UU KY.
Keberadaan dan pemberlakuan pasal a quo, menurut pemohon, telah menyamakan posisi hakim agung dengan hakim ad hoc yang melaksanakan tugas di MA. Selain itu, pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."
Ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bagi pemohon, jelas menyebutkan kewenangan limitatif KY yaitu berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, bukan hakim adhoc. Namun karena Pasal 13 huruf a UU KY menentukan bahwa KY juga berwenang mengusulkan pengangkatan hakim adhoc di MA, maka Komisi Yudisial melakukan seleksi seperti halnya seleksi hakim agung. ( )
"Padahal, jelas Komisi Yudisial memiliki kewenangan limitatif hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung. Dengan adanya aturan hukum dalam UU KY a quo yang menyamakan hakim adhoc dengan hakim agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945," kata Wasis saat membacakan permohonan uji materiil di hadapan hakim konstitusi MK saat persidangan secara virtual.
Dia melanjutkan, dengan mekanisme pengusulan pengangkatan calon hakim adhoc, dalam kasus a quo adalah untuk tindak pidana korupsi di MA melalui mekanisme yang sama dengan pengangkatan hakim agung, maka menjadikan hakim adhoc memiliki kriteria dan prasyarat yang sama dengan calon hakim agung. Namun dalam kenyataannya, status hakim agung dengan hakim adhoc berbeda dari aspek administrasi dan masa jabatannya sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
"Meskipun memiliki fungsi yang sama di bidang judisial, yaitu memutus perkara pengadilan tingkat kasasi," ujarnya.
Wasis menggariskan, adanya penyamaan seleksi antara hakim adhoc pada MA dengan hakim agung yang secara status hakim agung dengan hakim adhoc pada MA berbeda dari aspek kewenangan, adminsitrasi, dan masa jabatannya sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, meskipun memiliki fungsi yang sama di bidang judisial (hakim adhoc memiliki kewenangan judisial khusus), maka menurut pemohon, hak konstitusional pemohon telah dirugikan oleh berlakunya frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a UU KY. Hak konstitusional pemohon tersebut sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Kerugian hak konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa "dan hakim ad hoc". Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon, maka kerugian hak konstitusional pemohon tidak lagi terjadi," katanya.
Wasis melanjutkan, pada bagian petitum, Burhanuddin sebagai pemohon meminta agar majelis hakim konstitusi MK memutuskan tiga hal. Satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tiga, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
"Atau, apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," katanya.
Permohonan yang diajukan Burhanudin teregister dengan perkara nomor: 92/PUU-XVIII/2020. Dia menggandeng Wasis Susetio dan kawan-kawan (dkk) sebagai kuasa pemohon. Secara spesifik, norma yang diujikan yakni sepanjang frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UU KY).
Pasal 13 huruf a UU KY berbunyi, "Komisi Yudisial mempunyai wewenang: a. Mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan". ( )
MK menggelar persidangan dengan agenda pemeriksaan pendahuluan, Senin (9/11/2020). Perkara ditangani oleh hakim panel konstitusi yang dipimpin Saldi Isra dengan anggota Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih. Persidangan dilangsungkan secara virtual. Ada dua kuasa hukum Burhanuddin yang hadir yakni Wasis Susetio dan Zainal Arifin.
Wasis Susetio membeberkan, Burhanuddin selaku pemohon prinsipal merupakan warga negara Indonesia yang juga pernah mengikuti seleksi calon hakim adhoc tipikor di MA pada 2016 yang seleksinya diselenggarakan oleh KY. Burhanuddin sebagai pemohon merasa terhalangi oleh frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a UU KY.
Keberadaan dan pemberlakuan pasal a quo, menurut pemohon, telah menyamakan posisi hakim agung dengan hakim ad hoc yang melaksanakan tugas di MA. Selain itu, pada Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 telah menyatakan, "Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim."
Ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bagi pemohon, jelas menyebutkan kewenangan limitatif KY yaitu berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, bukan hakim adhoc. Namun karena Pasal 13 huruf a UU KY menentukan bahwa KY juga berwenang mengusulkan pengangkatan hakim adhoc di MA, maka Komisi Yudisial melakukan seleksi seperti halnya seleksi hakim agung. ( )
"Padahal, jelas Komisi Yudisial memiliki kewenangan limitatif hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung. Dengan adanya aturan hukum dalam UU KY a quo yang menyamakan hakim adhoc dengan hakim agung, merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945," kata Wasis saat membacakan permohonan uji materiil di hadapan hakim konstitusi MK saat persidangan secara virtual.
Dia melanjutkan, dengan mekanisme pengusulan pengangkatan calon hakim adhoc, dalam kasus a quo adalah untuk tindak pidana korupsi di MA melalui mekanisme yang sama dengan pengangkatan hakim agung, maka menjadikan hakim adhoc memiliki kriteria dan prasyarat yang sama dengan calon hakim agung. Namun dalam kenyataannya, status hakim agung dengan hakim adhoc berbeda dari aspek administrasi dan masa jabatannya sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
"Meskipun memiliki fungsi yang sama di bidang judisial, yaitu memutus perkara pengadilan tingkat kasasi," ujarnya.
Wasis menggariskan, adanya penyamaan seleksi antara hakim adhoc pada MA dengan hakim agung yang secara status hakim agung dengan hakim adhoc pada MA berbeda dari aspek kewenangan, adminsitrasi, dan masa jabatannya sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, meskipun memiliki fungsi yang sama di bidang judisial (hakim adhoc memiliki kewenangan judisial khusus), maka menurut pemohon, hak konstitusional pemohon telah dirugikan oleh berlakunya frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a UU KY. Hak konstitusional pemohon tersebut sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Kerugian hak konstitusional pemohon bersifat spesifik dan aktual yang memiliki hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional Pemohon dengan berlakunya ketentuan Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya frasa "dan hakim ad hoc". Apabila Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan pemohon, maka kerugian hak konstitusional pemohon tidak lagi terjadi," katanya.
Wasis melanjutkan, pada bagian petitum, Burhanuddin sebagai pemohon meminta agar majelis hakim konstitusi MK memutuskan tiga hal. Satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Dua, menyatakan frasa "dan hakim ad hoc" dalam Pasal 13 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tiga, memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
"Atau, apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," katanya.
(abd)