Kesalahan di UU Cipta Kerja Tidak Bisa Diperbaiki Secara Sembarangan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti menilai kesalahan ketik atau typo dalam Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) adalah fatal. Maka itu, Bivitri ikut mengkritisinya.
"Itu kesalahan fatal. Karena penomoran suatu UU bukan hanya soal administrasi, tetapi punya makna pengumuman ke publik melalui penempatan suatu UU ke Lembaran Negara (dan Penjelasannya masuk Tambahan Lembaran Negara). Makanya dibilangnya pengundangan," ujar Bivitri Susanti kepada SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Menurut Bivitri, hal tersebut sangat penting sehingga dikenal teori fiksi hukum. "Di mana bila sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mengaku dirinya tidak mengetahui bahwa UU itu ada sehingga bisa menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu," ujarnya.
( ).
"Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 (halaman 6) dan Pasal 175 (halaman 757) itu tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani, yang itu pun sudah salah," tambah Bivitri.
Dia pun mengkritisi pernyataan pemerintah yang menganggap typo itu sebagai kesalahan administrasi belaka. "Menurut saya pernyataan ini mengerdilkan makna proses legislasi. Proses legislasi itu bukan sekadar urusan administrasi, tetapi perwujudan konkret demokrasi perwakilan. Ada moralitas demokrasi yang tercederai di sini," pungkasnya.
( ).
Sekadar diketahui, bunyi Pasal 6 UU Cipta Kerja adalah 'Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi; a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. penyederhanaan persyaratan investasi'.
Sementara, Pasal 5 tidak memiliki satu ayat pun, bunyinya 'adalah Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait'.( ).
"Itu kesalahan fatal. Karena penomoran suatu UU bukan hanya soal administrasi, tetapi punya makna pengumuman ke publik melalui penempatan suatu UU ke Lembaran Negara (dan Penjelasannya masuk Tambahan Lembaran Negara). Makanya dibilangnya pengundangan," ujar Bivitri Susanti kepada SINDOnews, Selasa (3/11/2020).
Menurut Bivitri, hal tersebut sangat penting sehingga dikenal teori fiksi hukum. "Di mana bila sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mengaku dirinya tidak mengetahui bahwa UU itu ada sehingga bisa menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu," ujarnya.
( ).
"Jadi, terhadap kesalahan di Pasal 6 (halaman 6) dan Pasal 175 (halaman 757) itu tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani, yang itu pun sudah salah," tambah Bivitri.
Dia pun mengkritisi pernyataan pemerintah yang menganggap typo itu sebagai kesalahan administrasi belaka. "Menurut saya pernyataan ini mengerdilkan makna proses legislasi. Proses legislasi itu bukan sekadar urusan administrasi, tetapi perwujudan konkret demokrasi perwakilan. Ada moralitas demokrasi yang tercederai di sini," pungkasnya.
( ).
Sekadar diketahui, bunyi Pasal 6 UU Cipta Kerja adalah 'Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi; a. penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; b. penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; c. penyederhanaan perizinan berusaha sektor, dan d. penyederhanaan persyaratan investasi'.
Sementara, Pasal 5 tidak memiliki satu ayat pun, bunyinya 'adalah Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait'.( ).
(zik)