Typo Setelah Diteken Presiden Melengkapi Cacat UU Cipta Kerja Sejak Awal
loading...
A
A
A
JAKARTA -
Perubahan jumlah halaman, substansi materi hingga ditemukannya banyak salah tulis alias typo bahkan setelah diteken presiden dan masuk lembaran negara melengkapi kontroversi UU Cipta Kerja .
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) , Allan Fatchan Gani mengatakan, alasan pemerintah dan DPR bahwa perubahan halaman itu akibat legal drafting itu merupakan hal yang mengada-ada, karena semua sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
(Baca: Typo dan Konten Hilang UU Ciptaker Dinilai 'Sengaja' agar Fokusnya ke Sana)
“Soal formatting yang disampaikan Kemenko Perekonomian dan Menteri Sekretaris Negara. Sudah jelas, kalau naskah RUU itu pakai bookman oldstyle sebagaimana diatur dalam UU 11/2012. Salah font dan sebagainya alasan mengada-ada. Di Indonesia, dalam proses legislasi tidak boleh kemudian UU yang selesai dibahas dan disahkan, baik kata, frasa, pasal, ayat, titik atau koma,” kata Allan kepada SINDO Media, Selasa (3/11/2020).
Menurut Allan, kalau kemudian ada perubahan, itu tidak sesuai dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau Mahkamah Konstitusi (MK) cermat dalam melihat uji materi UU ini, sangat mungkin dilakukan uji formil dan dikabulkan. Karena, selain Pasal 6 Bab III UU Cipta Kerja, setelah ditelusuri, banyak juga kesalahan pengetikan dalam UU tersebut.
(Baca: Ada Typo di UU Cipta Kerja, Ini Langkah yang Bisa Diambil)
“Secara formil, proses pembentukan omnibus law sudah cacat sejak awal, tidak disusun berdasarkan kaidah penyusunan yang baik. Presiden mengatakan masyarakat baca dulu, ini terbukti presiden nggak baca draf itu di Pasal 5 atau typo dan lain sebagainya,” bebernya.
“Begitu juga secara materiil yang selama ini diungkapkan banyak pihak,” imbuhnya.
Kemudian, Allan menambahkan, temuan banyaknya kesalahan dalam UU Ciptaker ini bukti nyata bahwa UU ini dibahas secara ugal-ugalan. “Proses pembentukan omnibus law yang setelah diteken banyak temuan kesalahan, membuktikan omnibus law ugal-ugalan dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan,” tandasnya.
Perubahan jumlah halaman, substansi materi hingga ditemukannya banyak salah tulis alias typo bahkan setelah diteken presiden dan masuk lembaran negara melengkapi kontroversi UU Cipta Kerja .
Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) , Allan Fatchan Gani mengatakan, alasan pemerintah dan DPR bahwa perubahan halaman itu akibat legal drafting itu merupakan hal yang mengada-ada, karena semua sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11/2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3).
(Baca: Typo dan Konten Hilang UU Ciptaker Dinilai 'Sengaja' agar Fokusnya ke Sana)
“Soal formatting yang disampaikan Kemenko Perekonomian dan Menteri Sekretaris Negara. Sudah jelas, kalau naskah RUU itu pakai bookman oldstyle sebagaimana diatur dalam UU 11/2012. Salah font dan sebagainya alasan mengada-ada. Di Indonesia, dalam proses legislasi tidak boleh kemudian UU yang selesai dibahas dan disahkan, baik kata, frasa, pasal, ayat, titik atau koma,” kata Allan kepada SINDO Media, Selasa (3/11/2020).
Menurut Allan, kalau kemudian ada perubahan, itu tidak sesuai dengan proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Jadi, kalau Mahkamah Konstitusi (MK) cermat dalam melihat uji materi UU ini, sangat mungkin dilakukan uji formil dan dikabulkan. Karena, selain Pasal 6 Bab III UU Cipta Kerja, setelah ditelusuri, banyak juga kesalahan pengetikan dalam UU tersebut.
(Baca: Ada Typo di UU Cipta Kerja, Ini Langkah yang Bisa Diambil)
“Secara formil, proses pembentukan omnibus law sudah cacat sejak awal, tidak disusun berdasarkan kaidah penyusunan yang baik. Presiden mengatakan masyarakat baca dulu, ini terbukti presiden nggak baca draf itu di Pasal 5 atau typo dan lain sebagainya,” bebernya.
“Begitu juga secara materiil yang selama ini diungkapkan banyak pihak,” imbuhnya.
Kemudian, Allan menambahkan, temuan banyaknya kesalahan dalam UU Ciptaker ini bukti nyata bahwa UU ini dibahas secara ugal-ugalan. “Proses pembentukan omnibus law yang setelah diteken banyak temuan kesalahan, membuktikan omnibus law ugal-ugalan dan tidak sesuai peraturan perundang-undangan,” tandasnya.
(muh)