Tren Praktik Kekuasaan dalam Penanganan Covid-19 di Indonesia dan Filipina

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 16:20 WIB
loading...
A A A
Selain itu, hal tersebut juga dikarenakan masih terdapatnya peningkatan terhadap jumlah kasus terinfeksi yang relatif tinggi. Kondisi ini dapat dibuktikan dari data yang dirilis oleh WHO yang kemudian menunjukkan bahwa Filipina menempati posisi kedua setelah Indonesia di kawasan Asia Tenggara dari segi jumlah kasus terinfeksi per tanggal 26 Oktober 2020, yakni dengan perbandingan 370.028 kasus di Filipina dan 389.712 kasus di Indonesia.
Alhasil, hal itu mendorong pemerintah Filipina kemudian berupaya keras untuk mencegah potensi munculnya gelombang peningkatan virus Covid-19, dimana salah satunya merujuk pada kebijakan penutupan terhadap sekolah-sekolah sampai vaksin virus dapat ditemukan meskipun vaksin Sputnik yang dirilis oleh pemerintah Rusia telah mulai diuji coba oleh sejumlah kalangan masyarakatnya.
Kemudian, dalam menjelaskan konteks kemunculan praktik otoritarianisme baru selama mewabahnya pandemi Covid-19, setidaknya dapat merujuk pada laporan yang dirilis oleh Lokataru Foundation belakangan ini.

Dalam laporan tersebut, dinyatakan bahwa aparat keamanan yang dilibatkan selama penerapan kebijakan lockdown di Filipina kemudian telah bersikap represif secara ekstrem. Hal ini ditandai dengan adanya penggunaan cara-cara represif oleh para aparat keamanan tersebut, seperti salah satunya dengan melakukan pengurungan terhadap masyarakat yang tidak menaati aturan selama karantina wilayah di dalam sebuah kandang anjing.

Bahkan, instruksi yang dikeluarkan oleh Presiden Rodrigo Duterte kemudian memungkinkan para aparat keamanan tersebut untuk menembak mati masyarakat yang melanggar ketentuan kebijakan lockdown. Kondisi inilah yang disebut oleh Direktur Human Rights Watch (HRW) Asia Brad Adams, telah mencerminkan adanya kecenderungan dimana pemimpin-pemimpin politik di wilayah Asia Tenggara kemudian menjadikan kondisi pandemi Covid-19 sebagai kesempatan untuk melakukan represi terhadap berbagai kritik yang muncul dengan target pada individu-individu tertentu.

Sedangkan, jika merujuk pada konteks di Indonesia kemudian tidak dapat dipisahkan dari munculnya produk-produk hukum yang diprotes publik.

Produk-produk hukum tersebut diantaranya adalah Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Status Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar serta Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Adapun, ketiga jenis produk hukum tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Selain itu, dalam rangka menunjang pelaksanaan kebijakan PSBB di berbagai daerah sebagaimana telah diatur dalam produk-produk hukum tersebut, pihak Kepolisian kemudian juga mengeluarkan tiga instrumen hukum pendukung, yaitu melalui Maklumat Kapolri Nomor Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona, Surat Telegram ST/1100/IV/HUK.7.1./2020 serta Surat Telegram ST/1098/IV/HUK.7.1./2020. Bahkan, adanya produk-produk hukum tersebut dalam realitasnya kemudian dianggap telah memberikan implikasi terhadap beberapa aspek dalam ruang-ruang sipil.

Pertama, merujuk pada ruang kebebasan berkumpul, dimana kemudian banyak bermunculan fenomena-fenomena seperti kriminalisasi, represi, hingga konflik sosial-keagamaan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dalam beberapa kasus, seperti kasus pemukulan terhadap Edo Mense oleh aparat kepolisian di Labuan Bajo, kasus penggunaan kekerasan yang berujung pada kematian terhadap Justinus Silas Dimara yang dilakukan oleh Satgas Covid-19 Papua, hingga kasus salah tangkap dan penyiksaan terhadap seorang anak berisial EF di Timur Tengah Utara dan lain sebagainya.

Kemudian yang kedua adalah terkait dengan ruang kebebasan berpendapat dimana hal tersebut ditandai dengan adanya kriminalisasi hoax, kritik dan penghinaan kepada penguasa seperti yang terjadi dalam kasus Ilyani Sudardjat, kasus penangkapan Ravio Patra, hingga kasus yang dialami oleh seorang mantan anggota TNI Ruslan Buton, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa terdapat indikasi yang cukup kuat untuk menunjukkan bahwa kemunculan praktik-praktik otoritarianisme baru di tengah konteks mewabahnya pandemi Covid-19 saat ini di sejumlah negara terutama seperti terlihat dalam realitas yang berlaku di Indonesia maupun Filipina benar-benar merupakan sesuatu yang kian tampak terlihat.
(dam)
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1210 seconds (0.1#10.140)