Kelemahan Hukum Menghadapi Kekuasaan

Senin, 04 Maret 2024 - 12:47 WIB
loading...
Kelemahan Hukum Menghadapi Kekuasaan
Romli Atmasasmita. Foto/Istimewa
A A A
Romli Atmasasmita

PASCAPUTUSAN MKRI Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan peristiwa selanjutnya seperti ketidakmampuan Komisi Pemilihan Umum ( KPU ) dan Badan Pengawas Pemilu ( Bawaslu ) menegakkan peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Pemilu 2024 , menunjukkan bahwa pada hakikatnya hukum tidak berdaya melawan atau berseberangan dengan kekuasaan . Bahkan akhir dari perjalanannya tampak seperti "bebek lumpuh" (lame-duck).

Sedangkan secara teoritik hukum, diketahui bahwa hukum dan kekuasaan selalu berkelindan satu sama lain: hukum tidak dapat diwujudkan tanpa ada kekuasaan yang menjalankannya, akan tetapi jika kekuasaan yang dijalankan tanpa dasar hukum (akan) timbul anarki atau tindakan sewenang-wenang yang dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, ditempatkan pada bagian yang paling buruk (the worse place of interest) dari suatu kekuasaan. Hal ini lazim terjadi pada sistem pemerintahan monarki absolut.

Namun dalam kenyataan praktik, makhluk yang sempurna untuk mewujudkan keseimbangan antara hukum dan kekuasaan dan satu-satunya adalah manusia, manusia yang beragama dan dengan amanah selurus-lurusnya menjalankannya. Adakah? Jawaban yang pasti, tidak sulit menemukannya akan tetap sangat langka adanya. Yang ada dan sering ditemukan adalah manusia yang menjalankan hukum dengan sewenang-wenang, melampaui batas kewenangannya batas wewenang, mencampuradukkan wewenang, atau bahkaan melakukan tindakan sewenang-wenang.

Pengalaman praktik penegakan hukum ternyata 99% dijalankan secara sewenang-wenang atau bahkan melanggar hukum dan terbanyak mereka yang amanah dan lurus menjalankan UU justru tersisih dari jenjang birokrasi. Sebaliknya yang bertindak sewenang-wenang memperoleh promosi. Bentuk ketidakadilan dalam sistem birokrasi sipil maupun militer dan kepolisiam sudah menjadi rahasia umum.



Dalam kata-kata Nicolo Machiaveli diperkuat Hobbes perilaku sedemikian disebut "HOMO HOMINI LUPUS BELLUM OMNIUM CONTRA OMNES" atau manusia bagai serigala terhadap manusia lain, satu sama lain salimg memangsa. Separah itukah komunitas masyarakat bangsa yang dkenal dengan simbol, Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila? Jawabannya, tidak betul. Akan tetapi saat ini dalam kondisi sosial menuju ke arah sana jika pimpinan bangsa ini tidak segera kembali menahan diri merenungi bangsa kita di masa yang akan datang.

Bagi para ahli hukum, sejarah hukum dan keadilan penuh dengan darah, air mata, dan kerusakan fisik parah. Tidak ada perjuangan menegakkan hukum yang tanpa pengorbanan (given) karena sangat dipercaya sampai saat ini bahwa "Ratu Adil" akan datang bagi khususnya bangsa Indonesia. Apakah kiranya keadilan hukum yang dibawakan dan diberikan kepada bangsa ini? Sudah saatnya sejak bangsa ini merdeka 76 tahun tidak pernah ada satu teori hukum baru yang bersifat komprehensif dan mendasar tentang bangunan hukum yang cocok untuk kehidupan bangsa ini.

Yang telah ada hanyalah konsep hukum baru hasil modifikasi teori barat tentang hukum yang memiliki latar belakang sosial dan budaya berbeda dengan masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen. Di dalam bidang hukum pidana, telah sering terjadi kesungguhan teoritisi hukum mengembangkan dan mengajarkan teori hukum yang ternyata dalam praktik tidak cocok atau bahkan telah menimbulkan kegaduhan, ketidakpastian, ketidakadilan bahkan kemanfaatan bagi individu, masyarakat, dan negara.

Contoh kasus-kasus pidana selama kurang lebih 76 (tujuh puluh enam) tahun khususnya sejak Orde Baru dan Orde Reformasi, orde terkini. Ada banyak perkara pidana yang keliru menjadikan seseorang tersangka bahkan mendekam di lembaga pemasyarakatan tanpa kesalahan apa pun. Inilah yang disebut miscarriage of justice yang telah banyak menimbulkan korban-korban keganasan hukum pidana yang tidak bersalah.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1521 seconds (0.1#10.140)