Pilkada Sehat Pemilih Selamat-(kah)?

Jum'at, 30 Oktober 2020 - 05:45 WIB
loading...
Pilkada Sehat Pemilih Selamat-(kah)?
Dian Permata
A A A
Dian Permata
Peneliti Senior Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD, Founder Institut Riset Indonesia (Insis)

PELAKSANAAN pemilihan kepala daerah (pilkada) di masa pandemi Covid-19 menjadi tantangan baru bagi penyelenggara pemilihan umum (pemilu). Penjelasannya, ini kali pertama pemilu dilaksanakan di tengah tersebarnya virus atau penyakit. Walhasil, penyelenggara pemilu dipaksa untuk memasukan instrumen protokol kesehatan dalam setiap pelaksanaan tahapan. Langkah Ini untuk mengantisipasi dan melindungi penyelenggara dan pemilih dari ancaman persebaran Covid-19 saat perhelatan hajat demokrasi itu.

Pelaksanaan pilkada gelombang keempat ini sudah di depan mata. Tinggal sebulan lebih, tepatnya pada 9 Desember 2020. Ada 270 wilayah akan melaksanakan pemilu lokal memilih kepala daerah. Dari sejumlah tahapan jelang coblosan ada dua tahapan krusial yang melibatkan kerumunan orang banyak. Masa kampanye dan masa pungut hitung (putung).

Praktis, semua fokus pemerintah dan masyarakat akan tertuju pada dua tahapan tersebut. Soalnya, ada kekhawatiran akan melonjak jumlah penderita Covid-19 dan kerumunan yang menjadi pangkal musababnya. Jika kita runut ke belakang, kekhawatiran tersebut masuk akal. Di antaranya yakni sejumlah komisioner penyelenggara terkena Covid-19.

Dari tujuh Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), tiga di antaranya pernah positif Covid-19. Arief Budiman, Evi Ginting, dan Pramono Ubaid. Belum lagi dengan sejumlah aparatur di KPU yang positif terkena wabah penyakit ini. Di Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), ada Dewi Pettalolo yang sempat positif terinfeksi. Kuat dugaan, mereka terkena saat menjalankan tugas pada tahapan kampanye.

Belum lagi di sisi peserta pemilu. Ada 67 pasangan calon positif Covid-19. Meskipun belakangan, menurut KPU, mereka sudah sembuh. Berhenti di situ sajakah Covid-19? Tidak. Covid-19 rupanya juga memakan korban keluarga dari seorang paslon. Korban adalah kakak si paslon. Paslon itu berasal dari wilayah pilkada di Jawa Tengah.

Dugaan bahwa paslon itu terkena Covid-19 pada masa pendaftaran terkonfirmasi. Artinya, di antaranya saat paslon melakukan pawai atau arak-arakan pendaftaran di sejumlah KPU daerah.Bahkan, saat pendaftaran, terdapat 75 orang bakal calon di 31 daerah yang belum menyerahkan hasil uji usap atau swab test atas kemungkinan terpapar virus korona atau PCR saat pendaftaran.

Dari rangkaian di atas, maka dapat kita tarik asumsi, tingkat disiplin pasangan calon dalam mematuhi protokol kesehatan masih mengkhawatirkan. Kampanye sehat dan pemilih selamat masih sebatas wacana di atas kertas. Belum menjadi bagian prinsip utama bagi pasangan calon saat berinteraksi dengan pemilih atau masyarakat.

Padahal, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jauh-jauh hari sudah memberikan peringatan kepada para pasangan calon dan pemberitahuan kepada masyarakat agar tidak memilih calon kepala daerah yang tidak memasukkan soal kesehatan dan bahaya Covid-19 dalam materi kampanye maupun saat sosialisasi dengan masyarakat.

Bagaimana (Nasib) Pemilih?
Ada temuan menarik riset Institut Riset Indonesia (Insis) medio Oktober 2020 menyoal pilkada di tengah pandemi. Riset di Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, sebagai contoh. Pemilih di daerah tersebut, 76,25%, mengaku lebih menyukai model kampanye tatap muka. Kampanye daring hanya disukai 2,25% warga. Dari 76,25% itu 58,5% mengaku akan hadir dengan pengaman diri berupa masker dan lainnya serta tetap menjaga jarak. Di Jember, kurang lebih sama. Ada 60% pemilih lebih menyukai model kampanye tatap muka. Kampanye daring hanya disukai 10%. Dari 60% itu 70% mengaku akan hadir.

Jika kita amati data itu maka dapat dilihat bahwa, pemilih lebih menyukai kampanye serangan darat (bertemu langsung dengan pasangan calon) ketimbang serangan udara (kampanye daring dan iklan media). Jika pilkada dilaksanakan dalam situasi normal maka data itu akan terlihat biasa saja dan pada umumnya model kampanye itu memang disukai pemilih. Namun, yang jadi masalah utama ialah pilkada dilaksanakan di tengah situasi tidak normal, alias ada ancaman Covid-19.

Alasan pemilih mereka ingin kenal dan dekat dengan kandidat. Tidak mau beli kucing dalam karung. Argumentasi ini masuk akal. Lantaran sedikit alasan pemilih mau memilih si kandidat dari kekuatan figur si kandidat itu sendiri. Di sisi kandidat, harus kita akui, hingga saat ini kandidat masih gagap dan gugup menggunakan kampanye non mainstream. Maka tak ayal, masih kita lihat kandidat blusukan di tengah pemilih mencari dukungan suara.

Jika kita tarik ke belakang, diskusi di Pilkada 2020 di tengah pandemi dua mazhab yang saling berhadapan. Mazhab pilkada ditunda dan mazhab pilkada dilanjutkan. Pengusung mazhab pilkada ditunda mengedepankan argumentasi bahwa kesehatan dan keselamatan publik harus dikedepankan. Sebaliknya, pengusung mazhab pilkada dilanjutkan berargumentasi bahwa banyak negara yang melaksanakan pemilu di tengah pandemi. Keberhasilan dan rintangan pengalaman sejumlah negara melaksanakan pesta demokrasi itu harus dijadikan contoh.

Hanya, tidak semua pemilu yang dilaksanakan di tengah pandemi berjalan mulus. Pilihan Raya Negeri (PRN)—pemilu lokal, di Sabah, Malaysia, contohnya. Setelah pesta demokrasi itu ada kenaikan penderita Covid-19.

Bagaimana dengan nasib pilkada 9 Desember 2020? Pemerintah sudah memutuskan untuk melaksanakannya sesuai jadwal. Sekalipun, angka persebaran Covid-19 di daerah yang melaksanakan pilkada harap-harap cemas. Lantaran angka penyebaran dan korban baru Covid-19 menunjukkan kecenderungan naik. Karena itu, diperlukan kebijakan super out of the box dalam memitigasi hal seperti ini.

Apa saja itu? Dalam riset Insis juga terpotret bahwa pemilih di Tanah Toraja memiliki dan aktif menggunakan akun sejumlah media sosial. Sebagai contoh 43,25% memiliki akun Facebook. Ada 39,25% memiliki akun WhatsApp, 21,25% akun YouTube, 18,5% memiliki akun Instagram.

Jika kita perhatikan data riset itu, tidak berlebihan jika media sosial—Facebook, memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan lainnya seperti WhatsApp, YouTube, dan Instagram. Karena itu, agar kampanye di medium kampanye non ainstream—internet dan turunannya, menjadi efektif maka penyelenggara pemilu dan pemerintah mesti mengetahui peta dan sebaran pengguna Facebook. Termasuk di dalamnya, demografi, umur, dan gender, serta fan page apa saja yang sering disinggahi pengguna. Dengan begitu kampanye akan tepat sasaran.

Pesan yang ingin disampaikan beragam. Misalnya, melakukan pendidikan politik pemilih mengenai tanggal pelaksanaan pilkada dan ajakan menggunakan hak politik atau hak suara di tengah pandemi. Soalnya, tingkat pengetahuan pelaksanaan pilkada di Tanah Toraja, hanya 53,25% saja masyarakat yang tahu kapan tepat pelaksanaan pilkada pada 9 Desember 2020. Sedangkan 26,25% mengaku tidak tahu kapan coblosan. Sisanya hanya tahu tanggal atau bulan pelaksanaannya saja. Angka ini menjadi peringatan bagi penyelenggara pemilu dan pasangan calon.

Soalnya, antusiasme warga untuk menggunakan hak politik atau hak pilih pada 9 Desember 2020 terbilang tinggi. Ada 91,50% mengaku akan datang ke lokasi TPS dengan menerapkan protokol kesehatan. Seperti menggunakan masker dan membawa hand sanitizier. Sementara 5,75% mengaku akan melihat situasi perkembangan persebaran Covid-19. Selebihnya, 1,25% mengaku tidak akan datang ke TPS, dan 1,50% mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.

Ini yang harus dijawab oleh penyelenggara pemilu. Jargon pemilu sehat dan pemilih selamat harus terus dikampanyekan. Sebab, sukses tidaknya pelaksanaan pemilu juga dilihat dari pengetahuan pemilih serta keinginan menggunakan hak suara. Bagi pasangan calon, tentu saja, kehadiran pemilih terutama konstituen mereka menjadi hal penting. Pastikan konstituen masing-masing tahu bahwa hari coblosan pada 9 Desember.
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2302 seconds (0.1#10.140)