Bumi Segantang Lada, Siap Dijadikan Pusat Persatuan Kawasan
loading...
A
A
A
KEPRI - Pejabat Sementara (Pjs) Gubernur Kepri Bahtiar Baharuddin mengingatkan Provinsi Kepulauan Riau atau kesohor dengan sebutan 'Bumi Segantang Lada' punya catatan sejarah panjang, sejatinya Kepulauan Riau 'serumpun' dengan Malaysia atau Singapura.
Oleh karenanya memiliki letak politik geografis strategis. Berbatasan dengan negara tetangga yakni Singapura, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Bila aktualisasi Pancasila ditegakkan, Kepri bakal jadi alat pemersatu kawasan.
Pandangan ini mengemuka dalam diskusi 'Internalisasi Dan Institusionalisasi Pancasila Dalam Peraturan Perundang Undangan Provinsi Kepulauan Riau yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Tanjung Pinang, Selasa (20/10/2020).
"Maka dari itu, saya berharap kepada BPIP, mari kita bersama kontekstualisasi kembali Pancasila dan nasionalisme. Hitung dan narasikan kawasan ini secara baik," ujar Bahtiar saat memberikan sambutan.
Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri ini meyakini, Kepri bisa menjadi alat diplomasi atau pusat persatuan kawasan. Bilamana terjadi ketegangan antara Malaysia dan Singapura.
"Titik nol di Tanjung Pinang. Diingatkan, nenek moyang kita sama. Apalagi Singapura. Jangan Kepri ini sekadar tempat pure untuk bisnis, tidak ada nilai sejarahnya," cetus Bahtiar.
Secara khusus, Bahtiar juga menyinggung soal pandemi Covid-19. Dunia kelabakan lantaran tidak siap secara sistem dan pelayanan. Meski ikut gagap, ia menilai sejauh ini Indonesia bisa lebih survive. "Kuncinya di leadership. Indonesia tidak hancur hancuran, karena masih ada semangat toleransi, peradaban dan budaya antar elemen masyarakat," tandasnya.
Sementara itu, Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono menegaskan Pancasila adalah tanggung jawab bersama. Internalisasi khusus pada manusianya untuk menjiwai Pancasila. Adapun organisasi ketika berkomitmen untuk menjalani nilai-nilai yang disepakati bersama maka disebut institusionalisasi.
"Pancasila sebenarnya sudah ada, yang belum cara kita melaksanakan dalam kehidupan maupun regulasi-regulasi yang ada. Contoh sederhana, ketika pemerintah coba mempertimbangkan penanganan darurat karena Covid-19, masyarakat tidak setuju. Padahal ancaman masif tidak bisa ditangani dengan kondisi yang biasa," tandas penulis buku ini.
Hariyono mengamini tantangan kebebasan berpendapat sejak era reformasi. Oleh karenanya, dia berharap ada cek ricek peraturan perundang-undangan yang sesuai atau tidak dengan Pancasila.
Oleh karenanya memiliki letak politik geografis strategis. Berbatasan dengan negara tetangga yakni Singapura, Malaysia, Vietnam dan Kamboja. Bila aktualisasi Pancasila ditegakkan, Kepri bakal jadi alat pemersatu kawasan.
Pandangan ini mengemuka dalam diskusi 'Internalisasi Dan Institusionalisasi Pancasila Dalam Peraturan Perundang Undangan Provinsi Kepulauan Riau yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Tanjung Pinang, Selasa (20/10/2020).
"Maka dari itu, saya berharap kepada BPIP, mari kita bersama kontekstualisasi kembali Pancasila dan nasionalisme. Hitung dan narasikan kawasan ini secara baik," ujar Bahtiar saat memberikan sambutan.
Mantan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kementerian Dalam Negeri ini meyakini, Kepri bisa menjadi alat diplomasi atau pusat persatuan kawasan. Bilamana terjadi ketegangan antara Malaysia dan Singapura.
"Titik nol di Tanjung Pinang. Diingatkan, nenek moyang kita sama. Apalagi Singapura. Jangan Kepri ini sekadar tempat pure untuk bisnis, tidak ada nilai sejarahnya," cetus Bahtiar.
Secara khusus, Bahtiar juga menyinggung soal pandemi Covid-19. Dunia kelabakan lantaran tidak siap secara sistem dan pelayanan. Meski ikut gagap, ia menilai sejauh ini Indonesia bisa lebih survive. "Kuncinya di leadership. Indonesia tidak hancur hancuran, karena masih ada semangat toleransi, peradaban dan budaya antar elemen masyarakat," tandasnya.
Sementara itu, Wakil Kepala BPIP Prof Hariyono menegaskan Pancasila adalah tanggung jawab bersama. Internalisasi khusus pada manusianya untuk menjiwai Pancasila. Adapun organisasi ketika berkomitmen untuk menjalani nilai-nilai yang disepakati bersama maka disebut institusionalisasi.
"Pancasila sebenarnya sudah ada, yang belum cara kita melaksanakan dalam kehidupan maupun regulasi-regulasi yang ada. Contoh sederhana, ketika pemerintah coba mempertimbangkan penanganan darurat karena Covid-19, masyarakat tidak setuju. Padahal ancaman masif tidak bisa ditangani dengan kondisi yang biasa," tandas penulis buku ini.
Hariyono mengamini tantangan kebebasan berpendapat sejak era reformasi. Oleh karenanya, dia berharap ada cek ricek peraturan perundang-undangan yang sesuai atau tidak dengan Pancasila.