Catatan terhadap Reformasi TNI di Usianya yang Ke-75 Tahun

Selasa, 06 Oktober 2020 - 14:42 WIB
loading...
Catatan terhadap Reformasi TNI di Usianya yang Ke-75 Tahun
Perayaan HUT Ke-75 TNI di Kodam IV/Diponegoro. Foto/dok.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Tepat 5 Oktober 2020, Tentara Nasional Indonesia (TNI) memasuki usianya yang ke-75. Masih berkaitan dengan momentum tersebut, agenda reformasi dan transformasi TNI sejak 1998 memang telah menghasilkan sejumlah capaian positif seperti seperti penghapusan peran sosial-politik TNI, pemisahan TNI dan Polri, penghapusan bisnis TNI dan lain sebagainya.

Namun, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menilai semua pencapaian itu bukan berarti menandakan bahwa proses reformasi TNI telah tuntas dijalankan. Sejumlah agenda tersisa seperti reformasi peradilan militer, restrukturisasi komando teritorial dan agenda lainnya masih urung dilakukan.

“Bahkan yang terjadi adalah sebaliknya dimana proses reformasi TNI mengalami stagnasi dan dalam sejumlah aspek bisa dikatakan malah mengalami kemunduran,” kata Deputi Direktur Riset ELSAM Wahyudi Djafar dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Selasa (6/10/2020).

(Baca: Ini Rekomendasi Setara Institute untuk Reformasi TNI)

Lebih lanjut, perayaan tersebut tidak boleh hanya menjadi sekadar repetisi perayaan yang sifatnya seremonial belaka. Di tengah kondisi bangsa dan negara yang sedang berada dalam suasana keperihatinan akibat krisis pandemi Covid-19, sudah seharusnya hari jadi TNI kali ini juga dijadikan momentum untuk melakukan pembenahan diri mengingat masih banyaknya permasalahan dan agenda reformasi TNI yang belum terlaksana.

Ada beberapa catatan terkait agenda reformasi TNI yang menjadi pekerjaan rumah yang harus didorong dan dijalankan oleh pemerintah ke depan. Pertama, peran internal militer yang semakin menguat. Salah satu agenda reformasi TNI pada 1998 adalah membatasi ruang keterlibatan militer dalam ranah sipil dan keamanan dalam negeri.

“Namun, dalam beberapa tahun belakangan ini terdapat perkembangan dimana militer mulai terlibat secara aktif dalam mengatasi permasalahan dalam negeri.

Keterlibatan aktif TNI dalam penanganan keamanan dalam negeri terlihat dengan masih dikirimnya pasukan TNI non-organik ke Papua dan Poso untuk mengatasi kelompok kriminal bersenjata (KKB). Pelibatan TNI dalam membantu Polri memang dimungkinkan, namun tugas perbantuan TNI kepada Polri baik di Papua maupun di Poso tidak dilandaskan keputusan politik negara sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat (3) UU TNI.

(Baca: Momen Terharu Panglima TNI Saat Diberi Kejutan Kapolri pada HUT TNI ke-75)

Menguatnya keterlibatan TNI dalam tugas keamanan dalam negeri juga terlihat dalam rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Aturan itu memberikan kewenangan yang luas mulai dari penangkalan, penindakan hingga pemulihan dan pelibatannya tidak melalui keputusan politik negara sebagaimana amanat Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Ada beberapa substansi rancangan Perpres yang bermasalah, seperti pengaturan kewenangan TNI untuk menjalankan fungsi penangkalan yang sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya. Di sisi lain, Perpres ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait apa yang dimaksud dengan operasi lainnya,” imbuhnya.

Masalah lainnya adalah tentang penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI yang menyatakan anggaran TNI hanya bersumber dari APBN.

(Baca: Rayakan HUT ke-75, Peran TNI Dibutuhkan Untuk Melawan COVID-19)

“Pelibatan TNI sebenarnya baru dapat dilakukan ketika kondisi ancaman sudah kritis dan institusi penegak hukum sudah tidak dapat menanganinya. Lebih dari itu, pelibatan TNI dalam menangani aksi terorisme berpotensi menggeser kebijakan penanganan terorisme menjadi eksesif serta keluar dari koridor penegakan hukum,” ujar dia.

Lebih jauh, berbagai MoU antara TNI dengan beberapa kementerian dan instansi yang belakangan ini marak dibentuk merupakan langkah keliru dan secara jelas bertentangan dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI yang menyebutkan bahwa operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika terdapat keputusan politik negara dalam hal ini keputusan Presiden. Berdasarkan catatan Imparsial, setidaknya terdapat 41 MoU antara TNI dan kementerian dan instansi lain telah dibentuk dalam kerangka pelaksanaan tugas perbantuan TNI yaitu operasi militer selain perang.

Berbagai MoU itu mengarah pada menguatnya kembali militerisme dan berpotensi menempatkan tata kelola keamanan seperti pada masa Orde Baru, yang membuka ruang bagi hadirnya peran militer secara luas dalam keamanan dalam negeri dan ranah sipil. Perkembangan itu tidak sejalan dan tidak senafas dengan arah reformasi sektor keamanan dan kehidupan negara demokratik.

Catatan kritis lainnya, lanjut Wahyudi, yaitu kembalinya TNI di jabatan sipil. Reformasi politik paska 1998 mensyaratkan mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI dan salah satu cerminnya adalah militer aktif tidak lagi menduduki jabatan politik seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan lainnya.

Kini, banyak anggota TNI aktif yang menduduki jabatan sipil seperti di kementerian dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ombudsman RI mencatat sebanyak 27 anggota TNI aktif menjabat di BUMN.
(muh)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1031 seconds (0.1#10.140)