Merespons Kejatuhan Harga Minyak

Rabu, 06 Mei 2020 - 07:05 WIB
loading...
Merespons Kejatuhan Harga Minyak
Peneliti INDEF - Center of Food, Energy and Sustainable Development, Abra el Talattov. Foto/KORAN SINDO
A A A
Abra el Talattov
Peneliti INDEF - Center of Food, Energy and Sustainable Development

ESKALASI penyebaran Covid-19 masih merajalela di seluruh penjuru bumi. Pandemi terburuk sepanjang sejarah manusia ini ternyata tidak hanya merusak organ vital tubuh manusia, tetapi juga telah bermutasi dalam wujud yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya sehingga berhasil menggerogoti roda perekonomian global. Kelumpuhan yang terjadi pada hampir seluruh sektor ekonomi secara mengejutkan menyulut kejatuhan harga minyak dunia yang sempat menyentuh teritori negatif.

Sejarah baru pasar minyak dunia yang terjadi baru-baru ini memang sulit diterima dengan akal sehat. Betapa tidak, minyak yang sebelumnya menjadi komoditas strategis yang diperebutkan dunia karena jumlahnya terbatas dan tak terbarukan, kini di tengah wabah Covid-19 justru menjadi residu para spekulan yang kesulitan menemukan pembeli. Akibatnya, para trader tersebut berani memberi kompensasi bagi konsumen yang berminat mengambil minyak mentah karena khawatir ketidakcukupan storage untuk menampung kelebihan minyak mentah.

Gejolak harga minyak dunia seakan tidak pernah ada habisnya dan selalu membuat jantung pemerintah berdebar-debar. Pada saat harga minyak dunia melonjak tinggi akibat geliat ekonomi dunia maupun terpantik sentimen konflik antarnegara, pemerintah dipusingkan karena harus menanggung kenaikan beban subsidi energi. Namun, kini di saat harga minyak dunia jatuh sedalam-dalamnya akibat pandemi Covid-19, pemerintah pun menghadapi ancaman merosotnya penerimaan negara dari sektor migas.

Tersandera Harga Minyak
Tak dimungkiri lagi bahwa setiap terjadi gejolak harga minyak dunia, baik kenaikan maupun penurunan harga secara ekstrem, pemerintah selalu tersandera dalam situasi yang dilematis. Kali ini di saat harga minyak dunia terjun bebas, publik menuntut pemerintah agar melakukan penyesuaian harga jual eceran BBM. Pertanyaannya, apakah penurunan harga BBM saat ini merupakan langkah yang tepat untuk ditempuh pemerintah?

Tekanan terhadap ekonomi global saat ini turut memengaruhi permintaan minyak mentah global. Seperti yang diproyeksikan International Energy Agency (IEA) bahwa permintaan minyak mentah dunia sepanjang 2020 ini akan menyusut sebesar 1,1 juta barel per hari (bph) menjadi 99,9 juta bph. Bahkan, walaupun drama perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia diakhiri dengan kesepakatan penambahan pemangkasan produksi OPEC+ hingga 9,7 juta bph (10% dari pasokan global), tetap saja manuver organisasi negara-negara eksportir minyak tersebut tidak berhasil mengerek naik harga minyak dunia.

Lantas dengan harga minyak mentah dunia yang berada pada titik nadirnya saat ini apakah pemerintah mesti latah melakukan penyesuaian harga jual eceran BBM? Pertimbangan utama yang perlu dicermati pemerintah adalah seberapa lama harga minyak dunia akan bertahan pada level rendah seperti saat ini. Mari kita belajar dari pengalaman gejolak harga minyak dunia yang pernah terjadi pada masa sebelum dan setelah krisis keuangan global tahun 2008.

Pada saat prakrisis 2008, harga minyak mentah (jenis WTI) mengalami lonjakan kenaikan secara drastis dari USD91,7/barel (2 Januari 2008) menjadi USD140/barel (2 Juni 2008) atau meroket 52,6%. Melesatnya harga minyak dunia pada periode itu terbukti anomali karena faktanya menurut The Energy Information Administration (The EIA) justru konsumsi minyak mengalami penurunan dari 86,6 juta bph (triwulan IV-2007) menjadi 85,73 juta bph (triwulan II- 2008). Sebaliknya, pasokan minyak malah meningkat dari 85,5 juta bph menjadi 86,17 juta bph. Inkonsistensi antara kondisi supply-demand dengan harga minyak mentah tersebut dipicu oleh ulah para trader di pasar komoditas berjangka yang memang gemar mengeruk untung dari aksi spekulasi.

Setelah harga minyak mencapai titik puncaknya pada awal Juni 2008, akhirnya secara dramatis harga minyak jatuh terjerembab hingga 70% ke level USD41 pada akhir 2008. Kejutan harga minyak tidak berhenti di situ. Sejak awal tahun 2009 harga minyak kembali rebound hingga level USD79/barel (1 Desember 2009) seiring sentimen pemulihan ekonomi global seusai krisis 2008. Pengalaman tersebut menceritakan sendiri bahwa hanya dalam waktu singkat harga minyak bisa melonjak tajam sampai 92%, bahkan kenaikannya lebih tinggi dibandingkan situasi prakrisis 2008.

Situasi turun-naiknya harga minyak dunia secara ekstrem bak roller coaster sangat mungkin terjadi setelah pandemi Covid-19 usai. Ketika pandemi berhasil dilawan dan ekonomi dunia mulai siuman, pemerintah harus bersiap menghadapi potensi lompatan kenaikan harga minyak dunia. Pemerintah juga perlu mencermati sinyal superoptimistis IMF yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global tahun depan menanjak ke level 5,8%.

Bijak Merespons
Di tengah rendahnya harga minyak dunia saat ini memang wajar jika ada sebagian pihak yang mendesak pemerintah untuk segera menurunkan harga jual eceran BBM. Namun, penentuan harga jual ritel BBM faktanya tidak hanya dipengaruhi oleh harga minyak mentah (Indonesian Crude Price /ICP), tetapi juga harus mempertimbangkan pergerakan nilai tukar rupiah dan inflasi.

Meskipun harga ICP bulan Maret mengalami penurunan 39,5% dari USD 56,61/barel (Februari) menjadi USD 34,23/barel, pandangan kita juga tidak boleh lepas dari volatilitasi nilai tukar rupiah yang mengalami puncaknya hingga Rp16.741/dolar per 2 April 2020 atau terdepresiasi 20,5% (ytd). Tekanan terhadap nilai tukar rupiah diprediksi akan terus berlanjut sebagaimana outlook pemerintah yang memproyeksikan kurs rupiah berada di level Rp17.500 (skenario berat) hingga Rp20.000 (skenario sangat berat).

Selain itu, pertimbangan penurunan harga BBM saat ini juga perlu melihat tingkat inflasi yang saat ini terjaga di level 2,96% per Maret 2020 (yoy). Bahkan, inflasi komponen energi juga relatif rendah di kisaran 1,32% (yoy) atau 0,23% (ytd). Di tengah rendahnya konsumsi BBM akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) maka penurunan harga BBM saat ini justru antiklimaks. Terbukti, Pertamina merilis penurunan konsumsi BBM jenis premium selama bulan Maret hingga 16,78% dan juga solar yang menyusut 8,38%. Bahkan, dengan adanya kebijakan larangan mudik pastinya juga akan semakin menggerus konsumsi BBM nasional.

Jika harga BBM terpaksa diturunkan saat ini, hal lain yang paling dikhawatirkan adalah ketika nantinya harga minyak mentah kembali bergejolak akibat sentimen recovery ekonomi, pemerintah harus bersiap menaikkan kembali harga BBM. Persoalannya, di kala situasi saat ini sedang terjadi gangguan produksi (supply shock ) maka menaikkan kembali harga BBM akan sangat mudah memicu kenaikan harga-harga barang secara liar terutama bahan kebutuhan pokok. Dengan argumentasi ini, pemerintah tidak boleh gegabah menurunkan harga BBM karena semata-mata tekanan politis. Sebab, di balik kebijakan tersebut terkandung risiko besar terjadinya inflation shock ketika terjadi rebound harga minyak dunia.

Pertimbangan strategis berikutnya yang harus digenggam erat oleh pemerintah ialah paradigma menjaga ketahanan energi nasional. Anjloknya harga minyak mentah dunia saat ini jangan mengalahkan komitmen pemerintah untuk meningkatkan produksi (lifting ) migas nasional hingga target 1 juta bph. Pemerintah mesti merawat kesadaran untuk terus meningkatkan iklim investasi migas, baik di hulu maupun di hilir. Di samping dapat mengurangi defisit migas, menjaga keberlangsungan industri migas nasional sama artinya dengan memelihara sumber penerimaan negara sekaligus memperteguh kedaulatan energi nasional.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1020 seconds (0.1#10.140)