Pengguna Kontrasepsi Menurun, Hamil Tak Direncanakan Meningkat di Pandemi

Kamis, 01 Oktober 2020 - 11:19 WIB
loading...
Pengguna Kontrasepsi Menurun, Hamil Tak Direncanakan Meningkat di Pandemi
Proyeksi KTD tak bisa diabaikan. Bahkan di saat pandemi, berdasarkan data BKKBN 2020 terdapat penurunan angka pengguna alat kontrasepsi sekitar 40 persen. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Proyeksi kehamilan tak diinginkan (KTD) tak bisa diabaika n. Bahkan di saat pandemi Covid-19, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2020 terdapat penurunan angka jumlah pengguna alat kontrasepsi sekitar 40 persen.

(Baca juga: Klaster Tenaga Kerja Tuntas, Panja DPR Yakin RUU Cipta Kerja Rampung 8 Oktober)

Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menganggap tutupnya berbagai layanan kesehatan mulai dari posyandu, puskesmas maupun rumah sakit menjadi salah satu pemicu tertundanya layanan. Apalagi menurut perkiraan BKKBN, sekitar 2,5 juta pasangan usia subur yang tidak menggunakan alat kontrasepsi dengan persentase kehamilan paling rendah sekitar 15-20 persen.

Kondisi itu setidaknya akan menambah angka kehamilan 370 ribu sampai 500 ribu kehamilan baru. (Baca juga: Ini Syarat-syarat Sembuh dan Selesai Isolasi Covid-19)

"Permasalahannya, kemungkinan adanya kehamilan yang tak direncanakan akan menambah buntut panjang beban sosio-ekonomi pada masa pandemi maupun transisi menuju setelahnya. Selain itu, konsekuensi kehamilan tidak diinginkan sebenarnya akan sangat berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan ibu dan anak," tutur Nopitri Wahyuni, Peneliti bidang Sosial TII kepada SINDOnews, Kamis (1/10/2020).

Sekalipun alat kontrasepsi tersedia, lanjut Nopitri, tingginya angka kehamilan tidak diinginkan akan mengarah pada risiko tinggi tindakan aborsi, pendarahan maupun keguguran. Menurut catatan UNFPA tahun ini, kasus tersebut akan memperbesar risiko kematian ibu yang pada akhirnya banyak anak akan lahir dan besar tanpa ibu.

Persoalan lainnya di masa pandemi Covid-19 juga menyibak realitas lain terkait dengan perkawinan anak. UNFPA memprediksi 13 juta anak yang dikawinkan selama pembatasan sosial (lockdown) diterapkan.

Di Indonesia, setidaknya terdapat 34 ribu permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama sampai Juni 2020. Faktanya lagi, 97 persen dari permohonan dispensasi tersebut dikabulkan. Dengan kata lain, perkawinan diizinkan untuk dilaksanakan.

"Tak bisa ditampik bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penting terhadap tingginya angka perkawinan anak. Apalagi, dalam konteks pandemi, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan tingkat kemiskinan meruncing di berbagai negara berpendapatan rendah di mana tingkat perkawinan anak masih amat tinggi. Situasi sosio-ekonomi yang rendah, pada akhirnya akan menjadikan keluarga yang terbentuk dari perkawinan anak sebagai kelompok masyarakat yang rentan pula," tegas dia.

Masalah lainnya yaitu perkawinan anak dan kehamilan pada usia remaja. Pada kebanyakan kasus seperti yang diutarakan oleh The Global Partnership to End Child Marriage, perkawinan anak adalah penyebab kehamilan pada usia dini dan di antaranya berupa kehamilan tidak diinginkan.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1445 seconds (0.1#10.140)