Pengguna Kontrasepsi Menurun, Hamil Tak Direncanakan Meningkat di Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proyeksi kehamilan tak diinginkan (KTD) tak bisa diabaika n. Bahkan di saat pandemi Covid-19, berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) 2020 terdapat penurunan angka jumlah pengguna alat kontrasepsi sekitar 40 persen.
(Baca juga: Klaster Tenaga Kerja Tuntas, Panja DPR Yakin RUU Cipta Kerja Rampung 8 Oktober)
Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menganggap tutupnya berbagai layanan kesehatan mulai dari posyandu, puskesmas maupun rumah sakit menjadi salah satu pemicu tertundanya layanan. Apalagi menurut perkiraan BKKBN, sekitar 2,5 juta pasangan usia subur yang tidak menggunakan alat kontrasepsi dengan persentase kehamilan paling rendah sekitar 15-20 persen.
Kondisi itu setidaknya akan menambah angka kehamilan 370 ribu sampai 500 ribu kehamilan baru. (Baca juga: Ini Syarat-syarat Sembuh dan Selesai Isolasi Covid-19)
"Permasalahannya, kemungkinan adanya kehamilan yang tak direncanakan akan menambah buntut panjang beban sosio-ekonomi pada masa pandemi maupun transisi menuju setelahnya. Selain itu, konsekuensi kehamilan tidak diinginkan sebenarnya akan sangat berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan ibu dan anak," tutur Nopitri Wahyuni, Peneliti bidang Sosial TII kepada SINDOnews, Kamis (1/10/2020).
Sekalipun alat kontrasepsi tersedia, lanjut Nopitri, tingginya angka kehamilan tidak diinginkan akan mengarah pada risiko tinggi tindakan aborsi, pendarahan maupun keguguran. Menurut catatan UNFPA tahun ini, kasus tersebut akan memperbesar risiko kematian ibu yang pada akhirnya banyak anak akan lahir dan besar tanpa ibu.
Persoalan lainnya di masa pandemi Covid-19 juga menyibak realitas lain terkait dengan perkawinan anak. UNFPA memprediksi 13 juta anak yang dikawinkan selama pembatasan sosial (lockdown) diterapkan.
Di Indonesia, setidaknya terdapat 34 ribu permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama sampai Juni 2020. Faktanya lagi, 97 persen dari permohonan dispensasi tersebut dikabulkan. Dengan kata lain, perkawinan diizinkan untuk dilaksanakan.
"Tak bisa ditampik bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penting terhadap tingginya angka perkawinan anak. Apalagi, dalam konteks pandemi, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan tingkat kemiskinan meruncing di berbagai negara berpendapatan rendah di mana tingkat perkawinan anak masih amat tinggi. Situasi sosio-ekonomi yang rendah, pada akhirnya akan menjadikan keluarga yang terbentuk dari perkawinan anak sebagai kelompok masyarakat yang rentan pula," tegas dia.
Masalah lainnya yaitu perkawinan anak dan kehamilan pada usia remaja. Pada kebanyakan kasus seperti yang diutarakan oleh The Global Partnership to End Child Marriage, perkawinan anak adalah penyebab kehamilan pada usia dini dan di antaranya berupa kehamilan tidak diinginkan.
Kondisi tersebut menyebabkan risiko komplikasi kehamilan dan kematian bayi yang sering terjadi pada perkawinan anak. Hal ini tentunya harus mendapatkan perhatian bersama, terutama dari pemerintah dan lembaga-lembaga layanan terkait.
"Berbagai konteks permasalahan sebenarnya tak terlepas dari bagaimana akses layanan kesehatan seksual dan reproduktif dapat tetap disediakan di tengah-tengah krisis. Pemerintah harus mengakui bahwa layanan kesehatan seksual dan reproduksi merupakan salah satu kebutuhan layanan kesehatan yang penting," imbuhnya.
Nopitri mengatakan ada beberapa cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, memastikan bahwa akses terhadap berbagai informasi mengenai layanan tersebut tersedia, baik secara digital maupun non-digital yang tersebar di berbagai fasilitas kesehatan dasar.
Selain itu, optimalisasi layanan berbasis daring seperti telemedika pada aspek kesehatan seksual dan reproduksi sehingga memudahkan mendapatkan layanan kesehatan yang ada. Di Indonesia, perlu ada penerapan telemedika yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga masyarakat bisa mengakses konsultasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi secara cepat dan mudah tanpa frekuensi tinggi untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Pada saat yang sama, fungsi layanan berbasis komunitas (community based health-care) juga amat dibutuhkan untuk memasifkan informasi tersebut kepada keluarga yang tak terjangkau teknologi maupun akses layanan yang tersedia.
Cara lainnya yaitu intervensi untuk memangkas hambatan finansial yang ada sehingga masyarakat bisa mengakses layanan. Misalnya, optimalisasi bantuan sosial yang fokus pada layanan kesehatan reproduksi seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
(Baca juga: Klaster Tenaga Kerja Tuntas, Panja DPR Yakin RUU Cipta Kerja Rampung 8 Oktober)
Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) menganggap tutupnya berbagai layanan kesehatan mulai dari posyandu, puskesmas maupun rumah sakit menjadi salah satu pemicu tertundanya layanan. Apalagi menurut perkiraan BKKBN, sekitar 2,5 juta pasangan usia subur yang tidak menggunakan alat kontrasepsi dengan persentase kehamilan paling rendah sekitar 15-20 persen.
Kondisi itu setidaknya akan menambah angka kehamilan 370 ribu sampai 500 ribu kehamilan baru. (Baca juga: Ini Syarat-syarat Sembuh dan Selesai Isolasi Covid-19)
"Permasalahannya, kemungkinan adanya kehamilan yang tak direncanakan akan menambah buntut panjang beban sosio-ekonomi pada masa pandemi maupun transisi menuju setelahnya. Selain itu, konsekuensi kehamilan tidak diinginkan sebenarnya akan sangat berdampak buruk terhadap kondisi kesehatan ibu dan anak," tutur Nopitri Wahyuni, Peneliti bidang Sosial TII kepada SINDOnews, Kamis (1/10/2020).
Sekalipun alat kontrasepsi tersedia, lanjut Nopitri, tingginya angka kehamilan tidak diinginkan akan mengarah pada risiko tinggi tindakan aborsi, pendarahan maupun keguguran. Menurut catatan UNFPA tahun ini, kasus tersebut akan memperbesar risiko kematian ibu yang pada akhirnya banyak anak akan lahir dan besar tanpa ibu.
Persoalan lainnya di masa pandemi Covid-19 juga menyibak realitas lain terkait dengan perkawinan anak. UNFPA memprediksi 13 juta anak yang dikawinkan selama pembatasan sosial (lockdown) diterapkan.
Di Indonesia, setidaknya terdapat 34 ribu permohonan dispensasi perkawinan yang masuk ke pengadilan agama sampai Juni 2020. Faktanya lagi, 97 persen dari permohonan dispensasi tersebut dikabulkan. Dengan kata lain, perkawinan diizinkan untuk dilaksanakan.
"Tak bisa ditampik bahwa faktor ekonomi menjadi salah satu faktor penting terhadap tingginya angka perkawinan anak. Apalagi, dalam konteks pandemi, krisis ekonomi yang terjadi menyebabkan tingkat kemiskinan meruncing di berbagai negara berpendapatan rendah di mana tingkat perkawinan anak masih amat tinggi. Situasi sosio-ekonomi yang rendah, pada akhirnya akan menjadikan keluarga yang terbentuk dari perkawinan anak sebagai kelompok masyarakat yang rentan pula," tegas dia.
Masalah lainnya yaitu perkawinan anak dan kehamilan pada usia remaja. Pada kebanyakan kasus seperti yang diutarakan oleh The Global Partnership to End Child Marriage, perkawinan anak adalah penyebab kehamilan pada usia dini dan di antaranya berupa kehamilan tidak diinginkan.
Kondisi tersebut menyebabkan risiko komplikasi kehamilan dan kematian bayi yang sering terjadi pada perkawinan anak. Hal ini tentunya harus mendapatkan perhatian bersama, terutama dari pemerintah dan lembaga-lembaga layanan terkait.
"Berbagai konteks permasalahan sebenarnya tak terlepas dari bagaimana akses layanan kesehatan seksual dan reproduktif dapat tetap disediakan di tengah-tengah krisis. Pemerintah harus mengakui bahwa layanan kesehatan seksual dan reproduksi merupakan salah satu kebutuhan layanan kesehatan yang penting," imbuhnya.
Nopitri mengatakan ada beberapa cara untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, memastikan bahwa akses terhadap berbagai informasi mengenai layanan tersebut tersedia, baik secara digital maupun non-digital yang tersebar di berbagai fasilitas kesehatan dasar.
Selain itu, optimalisasi layanan berbasis daring seperti telemedika pada aspek kesehatan seksual dan reproduksi sehingga memudahkan mendapatkan layanan kesehatan yang ada. Di Indonesia, perlu ada penerapan telemedika yang bekerjasama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sehingga masyarakat bisa mengakses konsultasi terkait kesehatan seksual dan reproduksi secara cepat dan mudah tanpa frekuensi tinggi untuk berkunjung ke fasilitas kesehatan.
Pada saat yang sama, fungsi layanan berbasis komunitas (community based health-care) juga amat dibutuhkan untuk memasifkan informasi tersebut kepada keluarga yang tak terjangkau teknologi maupun akses layanan yang tersedia.
Cara lainnya yaitu intervensi untuk memangkas hambatan finansial yang ada sehingga masyarakat bisa mengakses layanan. Misalnya, optimalisasi bantuan sosial yang fokus pada layanan kesehatan reproduksi seperti Program Keluarga Harapan (PKH).
(maf)