Soal UU Kejaksaan, Pakar Hukum Tegaskan Jaksa Tugasnya Penuntut Umum Tunggal
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang ( RUU) tentang Kejaksaan menjadi sorotan lantaran adanya perluasan wewenang bagi jaksa, yakni bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penuntutan sebagaimana tertulis di Pasal 1 ayat (1).
Terkait hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan secara universal dimana pun belahan dunia bahwa jaksa itu hadir dalam konteks sistem penegakan hukum yang berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya. Sehingga, jaksa dinilai serakah karena mau mengambil banyak tugas dan fungsi penegakan hukum. (Baca juga: Komjak Soroti Kewenangan Penyidikan dan Penyelidikan di RUU Kejaksaan
Dia menilai ada kesan kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum. Pasalnya, semua tugas dan fungsi ingin mereka ambil melalui revisi Undang-undang Kejaksaan itu. “Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” ujar Fickar kepada wartawan, Sabtu (26/9/2020).
Diketahui, dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dirinya berpendapat, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja. Sebab, penyidikan selama ini selain polisi juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum,” jelasnya.
Selain itu, dia menambahkan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif saja bagi pemerintah. Karena, fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat. “Jangan mengambil peran profesi advokat,” imbuhnya. (Baca juga: Akademisi Unhas Nilai Sikap DPR Mengharmonisasi RUU Kejaksaan Hal yang Baik)
Dia juga mengkritisi fungsi intelijen kejaksaan. Dia menilai menyadap tidak boleh diberikan secara umum tanpa izin pengadilan. Karena, jaksa dalam status dominis litis hanya dapat mengendalikan khusus perkara pidana. “Karena itu, penyadapan pun harus dalam konteks perkara pidana dan tetap harus ada izin pengadilan,” pungkasnya.
Terkait hal tersebut, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar mengatakan secara universal dimana pun belahan dunia bahwa jaksa itu hadir dalam konteks sistem penegakan hukum yang berfungsi sebagai penuntut umum tunggal dan pelaksana eksekusi hukumannya. Sehingga, jaksa dinilai serakah karena mau mengambil banyak tugas dan fungsi penegakan hukum. (Baca juga: Komjak Soroti Kewenangan Penyidikan dan Penyelidikan di RUU Kejaksaan
Dia menilai ada kesan kejaksaan serakah terhadap wewenang dan tugas dalam penegakan hukum. Pasalnya, semua tugas dan fungsi ingin mereka ambil melalui revisi Undang-undang Kejaksaan itu. “Ya serakah, terkesan jaksa selain menjadi penuntut, penyidik juga, advokat juga. Karena itu, harus dibatasi,” ujar Fickar kepada wartawan, Sabtu (26/9/2020).
Diketahui, dalam Pasal 1 Ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Dirinya berpendapat, kewenangan jaksa sebagai penyidik harus dibatasi dan diletakkan pada proporsinya yakni hanya menangani perkara tindak pidana tertentu saja. Sebab, penyidikan selama ini selain polisi juga bisa dilakukan oleh PPNS atau penyidik PNS Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Jadi jika ingin diberikan fungsi penyidikan, itu hanya pada tindak pidana tertentu saja seperti tipikor (tindak pidana korupsi) dan TPPU (tindak pidana pencucian uang). Jadi harus jelas dan pasti dalam perkara apa, bukan dalam arti penyidik secara umum,” jelasnya.
Selain itu, dia menambahkan wewenang jaksa sebagai ahli hukum lain (tata usaha negara perdata) juga harus bersifat konsultatif saja bagi pemerintah. Karena, fungsi operasionalnya merupakan bagian dari wilayah kerja profesi advokat. “Jangan mengambil peran profesi advokat,” imbuhnya. (Baca juga: Akademisi Unhas Nilai Sikap DPR Mengharmonisasi RUU Kejaksaan Hal yang Baik)
Dia juga mengkritisi fungsi intelijen kejaksaan. Dia menilai menyadap tidak boleh diberikan secara umum tanpa izin pengadilan. Karena, jaksa dalam status dominis litis hanya dapat mengendalikan khusus perkara pidana. “Karena itu, penyadapan pun harus dalam konteks perkara pidana dan tetap harus ada izin pengadilan,” pungkasnya.
(kri)