Tuntaskan Konflik Agraria, Cegah Kekerasan terhadap Perempuan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengakuan hak atas tanah kerap kali berujung pada terjadinya konflik agraria . Gesekan kepentingan itu tidak dipungkiri terjadi di sejumlah daerah, terutama yang berkaitan dengan tanah masyarakat.
Konflik itu berujung pada korban. Tidak hanya kalangan laki-laki, kaum perempuan juga ikut terkena imbasnya. Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada aksi kekerasan.
Komnas Perempuan mencatat, dalam kurun 2003-2019 telah menerima pengaduan terkait konflik agraria dan tata ruang sebanyak 49 kasus. Ditemukan pola yang sama terjadi dalam penanganan konflik agraria, di antaranya pemindahan paksa, penggusuran dan kriminalisasi pada masyarakat yang berjuang atas tanah mereka dan mereka yang dianggap penggerak massa yang melawan. ( )
"Kekerasan termasuk kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam konflik agraria. Puncak dari kekerasan atas nama penanganan konflik agraria adalah penaklukan gerakan perlawanan yang seringkali menyasar tubuh perempuan dalam bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual," kata Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Dewi Kanti dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Jumat (25/9/2020).
Dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data pengaduan ke Komnas HAM menunjukkan luasan konflik mencapai 2.713.369 hektare dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat sekitar 42,3 persen atau 48,8 juta jiwa berada dalam kawasan hutan. Konflik terjadi antara lain di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), tanah adat dan lingkungan yang kerap disertai kekerasan.
Sementara itu, Komnas Perempuan memantau di wilayah tambang Kalimantan Timur, Pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan dan Perkebunan Sawit di Sumatera Utara, terjadi tindak penaklukan dan pembungkaman gerakan dengan menyasar pada tubuh perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mempertahankan wilayah agrarianya mengalami kekerasan fisik seperti dilempar, dipukul, diseret oleh aparat keamanan dan atau preman serta dipenjara. ( )
"Perempuan juga mengalami kekerasan psikis seperti ancaman penjara dan ancaman pembunuhan serta tuduhan sebagai penyebar paham komunis. Selain itu terdapat kekerasan khas yang hanya dialami perempuan seperti stigma perempuan tidak tahu adat, perempuan tidak benar dan tidak bermoral,” imbuhnya.
Sejumlah kekerasan seksual juga dialami perempuan pejuang agraria dalam bentuk pelecehan seksual, perkosaan, perbudakan seksual dan kekerasan ekonomi yang terjadi karena hilangnya sumber penghidupan dari tanah mereka yang dikuasai oleh pemegang hak konsesi lahan dan degradasi lingkungan karena pencemaran sungai, laut dan tanah dari aktivitas pertambangan.
Terkait itu, Ketua Sub Komisi Reformasi, Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyoroti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Meski tujuannya untuk keadilan sosial, namun UUPA sebagai lex generalis tidak pernah dijadikan landasan pembentukan UU sektoral atau lex specialis seperti di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, minerba sampai dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam momentum peringatan Hari Agraria setiap 24 September, ia mendesak pemerintah andil dalam penyelesaian konflik agraria dengan mengedepankan pendekatan berbasis hak, mempertimbangkan riwayat kelekatan masyarakat dengan tanahnya, dan pendekatan non keamanan.
"Memastikan bahwa dalam setiap penyelesaian konflik, kepentingan kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat mendapatkan prioritas perlindungan dan didengarkan suaranya,” tegasnya.
Siti Aminah juga meminta pemerintah wajib mendorong tanggung jawab korporasi untuk memelihara lingkungan dengan merawat dan memulihkan lingkungan dan tidak meninggalkan limbah yang berdampak pada masyarakat sekitar. Selain itu, tidak menyebabkan terjadinya kohesi sosial serta menciptakan perdamaian, keamanan serta keselamatan perempuan pembela HAM.
Konflik itu berujung pada korban. Tidak hanya kalangan laki-laki, kaum perempuan juga ikut terkena imbasnya. Bahkan, tidak sedikit yang berujung pada aksi kekerasan.
Komnas Perempuan mencatat, dalam kurun 2003-2019 telah menerima pengaduan terkait konflik agraria dan tata ruang sebanyak 49 kasus. Ditemukan pola yang sama terjadi dalam penanganan konflik agraria, di antaranya pemindahan paksa, penggusuran dan kriminalisasi pada masyarakat yang berjuang atas tanah mereka dan mereka yang dianggap penggerak massa yang melawan. ( )
"Kekerasan termasuk kekerasan terhadap perempuan kerap terjadi dalam konflik agraria. Puncak dari kekerasan atas nama penanganan konflik agraria adalah penaklukan gerakan perlawanan yang seringkali menyasar tubuh perempuan dalam bentuk kekerasan seksual seperti perkosaan dan pelecehan seksual," kata Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Dewi Kanti dalam keterangan tertulis yang diperoleh SINDOnews, Jumat (25/9/2020).
Dalam lima tahun terakhir, berdasarkan data pengaduan ke Komnas HAM menunjukkan luasan konflik mencapai 2.713.369 hektare dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat sekitar 42,3 persen atau 48,8 juta jiwa berada dalam kawasan hutan. Konflik terjadi antara lain di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, infrastruktur, barang milik negara (BMN), tanah adat dan lingkungan yang kerap disertai kekerasan.
Sementara itu, Komnas Perempuan memantau di wilayah tambang Kalimantan Timur, Pembangunan PLTA di Sulawesi Selatan dan Perkebunan Sawit di Sumatera Utara, terjadi tindak penaklukan dan pembungkaman gerakan dengan menyasar pada tubuh perempuan. Tidak sedikit perempuan yang mempertahankan wilayah agrarianya mengalami kekerasan fisik seperti dilempar, dipukul, diseret oleh aparat keamanan dan atau preman serta dipenjara. ( )
"Perempuan juga mengalami kekerasan psikis seperti ancaman penjara dan ancaman pembunuhan serta tuduhan sebagai penyebar paham komunis. Selain itu terdapat kekerasan khas yang hanya dialami perempuan seperti stigma perempuan tidak tahu adat, perempuan tidak benar dan tidak bermoral,” imbuhnya.
Sejumlah kekerasan seksual juga dialami perempuan pejuang agraria dalam bentuk pelecehan seksual, perkosaan, perbudakan seksual dan kekerasan ekonomi yang terjadi karena hilangnya sumber penghidupan dari tanah mereka yang dikuasai oleh pemegang hak konsesi lahan dan degradasi lingkungan karena pencemaran sungai, laut dan tanah dari aktivitas pertambangan.
Terkait itu, Ketua Sub Komisi Reformasi, Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menyoroti UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Meski tujuannya untuk keadilan sosial, namun UUPA sebagai lex generalis tidak pernah dijadikan landasan pembentukan UU sektoral atau lex specialis seperti di bidang kehutanan, pertambangan, perkebunan, minerba sampai dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Dalam momentum peringatan Hari Agraria setiap 24 September, ia mendesak pemerintah andil dalam penyelesaian konflik agraria dengan mengedepankan pendekatan berbasis hak, mempertimbangkan riwayat kelekatan masyarakat dengan tanahnya, dan pendekatan non keamanan.
"Memastikan bahwa dalam setiap penyelesaian konflik, kepentingan kelompok rentan seperti anak, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat mendapatkan prioritas perlindungan dan didengarkan suaranya,” tegasnya.
Siti Aminah juga meminta pemerintah wajib mendorong tanggung jawab korporasi untuk memelihara lingkungan dengan merawat dan memulihkan lingkungan dan tidak meninggalkan limbah yang berdampak pada masyarakat sekitar. Selain itu, tidak menyebabkan terjadinya kohesi sosial serta menciptakan perdamaian, keamanan serta keselamatan perempuan pembela HAM.
(abd)