Sejak 2011, Komnas Perempuan Catat 46 Ribu Kasus Kekerasan Seksual
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komnas Perempuan mengungkapkan kekerasan seksual menjadi fenomena kejahatan yang marak terjadi dalam sedekade terakhir. Sepanjang 2011-2019, tercatat 46.698 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di ranah personal maupun publik.
(Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi)
Berdasarkan jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, yang meliputi 9.039 kasus perkosaan, 2.861 kasus pelecehan seksual, dan 91 kasus kejahatan siber (cyber crime) bernuansa seksual. Selama kurun 2016-2019, jumlah korban kekerasan seksual yang tercatat mencapai 21.605 orang.
"Namun, hanya 29 persen kasus yang diproses kepolisian dan 22 persennya dari proses itu yang kemudian diputus oleh pengadilan. Artinya, proses penanganan ini masih menjadi persoalan kita," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam diskusi daring, Senin (27/7/2020).
(Baca juga: Kekerasan pada Anak Marak, Kak Seto: Melindungi Anak Perlu Orang Sekampung)
Ironisnya, dalam periode 2018 hingga Januari 2020, sebanyak 115 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan justru pelaku kekerasan yang dilaporkan adalah pejabat publik. Ada 26 kasus di antaranya melibatkan aparatur sipil negara, disusul dengan polisi sebanyak 20 kasus, guru 16 kasus, dan aparat militer 12 kasus.
Menyikapi fenomena tersebut, Siti menilai perlunya reformasi hukum demi melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual. menurut dia, sudah saatnya pemerintah dan DPR menyadari perlunya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebab, aturan itu menjadi urgensi kebutuhan hukum yang sudah dinantikan publik.
"Sudah dari 2014, kami bersama masyarakat sipil sudah mendorong perlunya RUU ini. Namun, sampai sekarang belum juga disahkan. Apalagi tahun ini RUU tersebut juga harus dikeluarkan lagi dari Prolegnas 2020," keluh dia.
Siti tak ingin kejahatan seksual semakin marak terus lantaran tidak ada kejelasan tentang RUU PKS. Sementara di sisi lain, para korban membutuhkan jaminan perlindungan dan keadilan hukum atas kerugian fisik, psikis, ekonomi akibat tindakan kejahatan yang dialami.
Lantaran itu, ia meminta agar pemerintah dan DPR berkomitmen untuk memasukan kembali RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Pihaknya juga akan terus mendorong agar masyarakat juga sadar tentang pentingnya beleid itu dan memberikan masukan agar rancangan tersebut semakin komprehensif.
(Baca juga: Darurat Kekerasan Seksual, Susahnya Melindungi Alat Reproduksi)
Berdasarkan jumlah itu, sebanyak 23.021 kasus terjadi di ranah publik, yang meliputi 9.039 kasus perkosaan, 2.861 kasus pelecehan seksual, dan 91 kasus kejahatan siber (cyber crime) bernuansa seksual. Selama kurun 2016-2019, jumlah korban kekerasan seksual yang tercatat mencapai 21.605 orang.
"Namun, hanya 29 persen kasus yang diproses kepolisian dan 22 persennya dari proses itu yang kemudian diputus oleh pengadilan. Artinya, proses penanganan ini masih menjadi persoalan kita," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi dalam diskusi daring, Senin (27/7/2020).
(Baca juga: Kekerasan pada Anak Marak, Kak Seto: Melindungi Anak Perlu Orang Sekampung)
Ironisnya, dalam periode 2018 hingga Januari 2020, sebanyak 115 kasus yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan justru pelaku kekerasan yang dilaporkan adalah pejabat publik. Ada 26 kasus di antaranya melibatkan aparatur sipil negara, disusul dengan polisi sebanyak 20 kasus, guru 16 kasus, dan aparat militer 12 kasus.
Menyikapi fenomena tersebut, Siti menilai perlunya reformasi hukum demi melindungi korban dan mencegah kekerasan seksual. menurut dia, sudah saatnya pemerintah dan DPR menyadari perlunya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Sebab, aturan itu menjadi urgensi kebutuhan hukum yang sudah dinantikan publik.
"Sudah dari 2014, kami bersama masyarakat sipil sudah mendorong perlunya RUU ini. Namun, sampai sekarang belum juga disahkan. Apalagi tahun ini RUU tersebut juga harus dikeluarkan lagi dari Prolegnas 2020," keluh dia.
Siti tak ingin kejahatan seksual semakin marak terus lantaran tidak ada kejelasan tentang RUU PKS. Sementara di sisi lain, para korban membutuhkan jaminan perlindungan dan keadilan hukum atas kerugian fisik, psikis, ekonomi akibat tindakan kejahatan yang dialami.
Lantaran itu, ia meminta agar pemerintah dan DPR berkomitmen untuk memasukan kembali RUU PKS dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Pihaknya juga akan terus mendorong agar masyarakat juga sadar tentang pentingnya beleid itu dan memberikan masukan agar rancangan tersebut semakin komprehensif.
(maf)