Urgensi RUU PKS, Komnas Perempuan: Korban Masih Minim Jaminan Perlindungan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Proses pemulihan dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual kerap menemui sejumlah kendala, terutama saat berkaitan dengan penegakan hukum. Keberadaan aturan yang saat ini dinilai belum sepenuhnya berspektif pada korban.
Kondisi itu dinilai Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Andy Yentriyani menjadi urgensi perlunya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk segera disahkan. Beragam data selama beberapa tahun telah menunjukkan kasus kekerasan seksual masih tinggi. (Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Dalam catatan Komnas Perempuan, selama 2019 saja, angka kekerasan seksual di dalam rumah tangga dan komunitas mencapai ribuan kasus. Dari 14.719 kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebanyak 4.898 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Namun dari kasus yang diadukan, hanya 29 persen yang diproses kepolisian.
“Setelah diproses, hanya 22 persen saja yang diputuskan pengadilan. Artinya, sedikit sekali kasus yang sampai dipidana,” keluh Yeni dalam keterangannya, Jumat (7/8/2020).
Ia menilai situasi penegakan hukum di Indonesia saat ini hanya pada berlandaskan pada KUHP. Hukum acara pidana yang minim pada jaminan perlindungan dan dukungan bagi korban.
Lebih ironis lagi, paradigma kekerasan seksual seperti perkosaan, pencabulan, dan lainnya hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Kasus tersebut kerap direkatkan dengan moralitas korban seperti stigma aib. Hal itu membuat korban sulit melapor dan terhambat untuk pulih karena stigma dan budaya yang lebih menyalahkan korban dan menyangkal terjadi kekerasan seksual.
“Ada kekosongan hukum saat ini terhadap penanganan kasus tersebut. Tidak semua jenis kekerasan ini dikenali dalam hukum Indonesia seperti pelecehan, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi,” jelasnya.
Hal itu dilatari juga karena definisi kekerasan seksual yang masih parsial. Yang dikenali masih terbatas atau hanya pada konteks tertentu. Ironisnya lagi, masih ada tumpang tindih hukum sehingga dapat merugikan korban. Misalnya kasus perkosaan, eksploitasi seksual, pelecehan yang beririsan dengan pencabulan dan persetubuhan.
“Karena multitafsir ini sehingga memungkinkan terjadi kriminalisasi korban, seperti eksploitasi seksual yang menggunakan UU ITE, UU Pornografi, dan UU HAM,” celetuknya. (Baca juga: Presiden Lagi-lagi Marahi Menteri, Effendi Simbolon: Dari Awal Bukan The Dream Team)
Yeni menambahkan, persoalan lain yang membatasi hukum untuk menghapus kekerasan seksual yaitu belum ada kewajiban pemulihan bagi korban sejak awal pelaporan hingga pasca eksekusi. Lantaran itu, ia menilai RUU PKS menjadi kebutuhan mendesak demi perlindungan hukum kepada korban dan menguatkan jerat pidana bagi pelakunya.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
Kondisi itu dinilai Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, Andy Yentriyani menjadi urgensi perlunya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) untuk segera disahkan. Beragam data selama beberapa tahun telah menunjukkan kasus kekerasan seksual masih tinggi. (Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual Tinggi, RUU PKS Diminta Tak Ditunda Lagi)
Dalam catatan Komnas Perempuan, selama 2019 saja, angka kekerasan seksual di dalam rumah tangga dan komunitas mencapai ribuan kasus. Dari 14.719 kasus kekerasan yang dialami perempuan, sebanyak 4.898 di antaranya merupakan kekerasan seksual. Namun dari kasus yang diadukan, hanya 29 persen yang diproses kepolisian.
“Setelah diproses, hanya 22 persen saja yang diputuskan pengadilan. Artinya, sedikit sekali kasus yang sampai dipidana,” keluh Yeni dalam keterangannya, Jumat (7/8/2020).
Ia menilai situasi penegakan hukum di Indonesia saat ini hanya pada berlandaskan pada KUHP. Hukum acara pidana yang minim pada jaminan perlindungan dan dukungan bagi korban.
Lebih ironis lagi, paradigma kekerasan seksual seperti perkosaan, pencabulan, dan lainnya hanya dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Kasus tersebut kerap direkatkan dengan moralitas korban seperti stigma aib. Hal itu membuat korban sulit melapor dan terhambat untuk pulih karena stigma dan budaya yang lebih menyalahkan korban dan menyangkal terjadi kekerasan seksual.
“Ada kekosongan hukum saat ini terhadap penanganan kasus tersebut. Tidak semua jenis kekerasan ini dikenali dalam hukum Indonesia seperti pelecehan, penyiksaan seksual, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi,” jelasnya.
Hal itu dilatari juga karena definisi kekerasan seksual yang masih parsial. Yang dikenali masih terbatas atau hanya pada konteks tertentu. Ironisnya lagi, masih ada tumpang tindih hukum sehingga dapat merugikan korban. Misalnya kasus perkosaan, eksploitasi seksual, pelecehan yang beririsan dengan pencabulan dan persetubuhan.
“Karena multitafsir ini sehingga memungkinkan terjadi kriminalisasi korban, seperti eksploitasi seksual yang menggunakan UU ITE, UU Pornografi, dan UU HAM,” celetuknya. (Baca juga: Presiden Lagi-lagi Marahi Menteri, Effendi Simbolon: Dari Awal Bukan The Dream Team)
Yeni menambahkan, persoalan lain yang membatasi hukum untuk menghapus kekerasan seksual yaitu belum ada kewajiban pemulihan bagi korban sejak awal pelaporan hingga pasca eksekusi. Lantaran itu, ia menilai RUU PKS menjadi kebutuhan mendesak demi perlindungan hukum kepada korban dan menguatkan jerat pidana bagi pelakunya.
Lihat Juga: Polda Jateng Ungkap Kasus Kekerasan Seksual Kakak Adik di Purworejo, 3 Tersangka Ditangkap
(kri)