Pilkada Serentak Tak Harus Ditunda, Ini Tujuh Alasan LSI Denny JA

Kamis, 24 September 2020 - 16:47 WIB
loading...
Pilkada Serentak Tak Harus Ditunda, Ini Tujuh Alasan LSI Denny JA
Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 kabupaten/kota dan provinsi pada 9 Desember 2020 mendatang menuai pro dan kontra. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 kabupaten/kota dan provinsi pada 9 Desember 2020 mendatang menuai pro dan kontra. Meskipun Pemerintah bersama dengan DPR dan KPU telah memutuskan pilkada tetap dilaksanakan sesuai jadwal, namun tidak sedikit pihak yang menyuarakan agar pilkada ditunda, seiring terus meningkatnya kasus COVID-19 di Tanah Air.

Peneliti LSI Denny JA, Ikrama Masloman mengatakan Pilkada Serentak 2020 tidak perlu ditunda namun cukup dilakukan modifikasi dalam teknis pelaksanaannya. Setidaknya ada tujuh alasan mengapa Pilkada Serentak 2020 harus tetap digelar tahun ini. (Baca juga: Pengamat Apresiasi Larangan Kampanye Rapat Umum di Pilkada 2020)

Pertama alasan legitimasi. Ikrama mengatakan, jika pilkada ditunda, sebanyak 270 daerah di Indonesia akan dipimpin oleh pelaksana tugas (Plt). Padahal pada Februari 2021 saja ada 209 kepala daerah yang sudah selesai masa jabatannya.

"Legitimasi Plt tentunya berbeda dengan kepala daerah yang dipilih rakyat. Kewenangannya pun terbatas. Plt misalnya tidak bisa mengambil kebijakan yang bersifat substansial, terutama yang berdampak pada anggaran, serta tidak dapat mengambil kebijakan yang mengikat lainnya," ujarnya kepada wartawan, Kamis (24/9/2020).

Di era pandemi COVID-19 seperti saat ini, kata dia, jumlah Plt kepala daerah sebanyak 49% dari total 548 kepala daerah di Indonesia itu jumlah yang terlalu banyak.

Alasan kedua yakni proporsi. Saat ini dari total 270 daerah yang menggelar pilkada hanya ada 16,3% yang masuk zona merah. Karena itu, tidak tepat jika harus pula membatalkan 83,7% wilayah lain. Untuk pilkada di wilayah zona merah, kata Ikrama, dapat dilakukan treatment khusus tanpa harus digeneralisasi untuk 83,7% wilayah lain.
"Misalnya, khusus di 16,3% kasus (44 wilayah), calon kepala daerah dilarang melakukan pengerahan massa lebih dari 5 orang," tuturnya.

Alasan ketiga yakni kepastian hukum dan politik. Ikrama mengatakan jika pilkada kembali ditunda dan menunggu vaksin dapat digunakan masyarakat hingga kini tidak ada kepastian. Para ahli pun tidak bisa memastikan kapan vaksin yang disahkah WHO dapat digunakan masyarakat.

"Pemilihan pilkada di 270 wilayah atau 49 persen dari wilayah Indonesia, itu terlalu penting jika disandarkan pada situasi yang tidak pasti," katanya.

Keempat adalah alasan pilihan kebijakan. Menurut Ikrama, dalam setiap situasi sulit atau krisis setiap pemimpin punya pilihan kebijakan yang tidak mudah namun tetap harus diambil dengan mempertimbangkan semua aspek. Presiden Jokowi dengan partai pemimpin koalisi, PDIP sudah menyatakan sikapnya berkali-kali bahwa mereka memilih kebijakan untuk tetap melanjutkan pilkada sesuai jadwal yaitu 9 Desember 2020.

Tak hanya eksekutif, DPR melalui Komisi II juga telah menyetujui bahwa pelaksanaan Pilkada 2020 tetap dilaksanakan pada Desember 2020. Keputusan tersebut merupakan hasil rapat bersama Mendagri, KPU, DKPP, Bawaslu dan Komisi II DPR.

"Mayoritas parpol satu saara bahwa Pilkada 2020 tak mungkin ditunda. UU Pilkada dan Perppu mustahil diubah tanpa ada persetujuan presiden. Perppu dari presiden pun tak akan berlaku jika ditolak DPR yang merupakan representasi parpol," tuturnya.

Berikutnya adalah asalan kesehatan. Menurut Ikrama, hanya 16,3% dari 270 wilayah pilkada yang termasuk zona merah. Karena itu, di zona merah, pilkada dapat diberikan aturan khusus. Misalnya tidak boleh membuat publik berkumpul lebih dari 5 orang. Sementara di wilayah lainnya tidak boleh publik berkumpul di atas 50 orang. Di sisi lain, protokol kesehatan juga tetap harus dijaga.

"Calon yang tidak mematuhi dapat dikenakan sanksi bertingkat hingga diskualifikasi. Banyak jenis kampanye yang bisa dilakukan tanpa harus mengumpulkan massa seperti kampanye media kampanye luar ruangan dan door to door yang mengikuti protokol kesehatan.

Alasan keenam, yakni ekonomi, Dikatakan Ikrama, kondisi ekonomi masyarakat secara nasional saat ini sedang menurun. Data menunjukkan ekonomi nasional kini minus 5,3%. Kemenaker hingga 31 Juli 2020, mencatat jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan mencapai 3,5 juta lebih.

"Kegiatan pilkada dan kampanye di 270 wilayah dapat menjadi penggerak ekonomi lokal. Biaya kampanye, biaya saksi, tim sukses, cetak dan pemasangan atribut dan lain-lain, dapat bergulir di masyarakat bawah atau di daerah," tuturnya.

Di era sulit seperti saat ini, lanjut Ikrama, kegiatan yang dapat menggerakkan ekonomi sekecil apapun, sejauh dapat mengontrol protokol kesehatan harus didorong.

Terakhir adalah alasan modifikasi bentuk kampanye. Menurutnya, banyak referensi dari pelaksanaan pilkada di tengah pandemi dari berbagai negara. Dibandingkan semua negara di dunia, yang tercatat COVID-19 tertinggi saat ini adalah Amerika Serikat (AS). Hingga Kamis (24/9/2020), total kasus COVID-19 di AS mencapai 7.139.553. Kondisi ini jauh dibandingkan Indonesia sebanyak 262.022 kasus. (Baca juga: Ngotot Gelar Pilkada, Posisi Pemerintah Dinilai Dilematis)

"Tentu perbandingan ini tidak apple to apple karena berbedanya intensitas tes, namun data itu bisa memberikan insight, bahkan di AS, pemilu tidak ditunda. Hal yang dimodifikasi adalah bentuk kampanye yaitu kampanye dan pertemuan yang menghimpun orang banyak harus dihindari," tutupnya.
(kri)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3164 seconds (0.1#10.140)