Relaksasi PSBB Makin Picu Transmisi Lokal
loading...
A
A
A
DUA bulan seusai pemerintah resmi mendeklarasikan kasus positif virus korona (Covid-19) di Indonesia, tren peningkatan tak kunjung melambat. Kurva yang kian tegak menanjak dan menembus hingga angka 11.000 kasus tentu situasi yang kian memprihatinkan.
Di tengah kondisi ini, kita juga seolah belum memiliki ramuan solusi yang jitu untuk menghentikannya. Praktis, kapan dan sampai berapa banyak orang yang akan menjadi korban kian misteri. Kekhawatiran makin tinggi manakala ikhtiar pengekangan virus lewat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku di lebih dari 22 daerah tak kunjung efektif.
Tak heran, hampir semua pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang selesai periode pertama PSSB menginginkan agar kebijakan itu terus dipertahankan. Sampai kapan? Lagi-lagi tidak ada yang bisa menjawab pasti.
Perpanjangan PSSB ini bisa terlihat di DKI Jakarta. Kebijakan lockdown setengah hati ini diteruskan hingga 22 Mei mendatang seusai berakhir pada 23 April lalu. Di Sumatera Barat, gubernur bersama bupati dan wali kota, Selasa (5/5), menggelar rapat karena PSBB periode pertama akan berakhir. Gubernur Irwan Prayitno dan Wakil Gubernur Nasrul Abit menginginkan PSBB tetap dilanjut karena selama ini masih tak maksimal. Berbagai langkah antisipatif telah dilakukan, namun kenaikan kasus terus terjadi. Bahkan, yang kian mengkhawatirkan, tren sebaran saat ini adalah transmisi lokal, bukan lagi dari pendatang.
Tak sekadar di Sumatera Barat, potensi model sebaran baru transmisi lokal ini menjadi ancaman semua wilayah. PSBB yang diikuti dengan penyekatan-penyekatan jalan memang terbukti meminimalisasi persebaran virus antarwilayah. Namun, ketika virus sudah lebih dahulu masuk ke suatu wilayah dan masyarakat setempat masih abai dengan protokol kesehatan Covid-19, itu menjadi tidak banyak berarti. Kasus tertularnya lebih dari 30 pedagang di Pasar Raya Padang, puluhan dokter dan perawat di RS Kariadi Semarang, serta puluhan karyawan pabrik rokok di Surabaya menjadi bukti.
Sengkarut penanganan Covid-19 makin menjadi manakala di saat daerah-daerah berjuang keras agar cepat bersih dari pandemi ini, kita dikagetkan rencana pemerintah yang justru ingin merelaksasi PSBB. Apa pun dalihnya, tentu wacana ini kurang tepat jika diterapkan. Lebih-lebih jika usulan ini dimunculkan untuk mewadahi kepentingan ekonomi kelompok tertentu, bukan orang banyak. Banyak kepala daerah akan tercederai dengan kebijakan (injuring policy) ini. Mereka sudah mengencangkan ikat pinggang mengerahkan berbagai cara agar Covid-19 tuntas, namun pada saat yang sama justru dimentahkan dari pusat.
Tidak dikabulkannya keinginan para kepala daerah di Jabodetabek yang mengusulkan penonaktifan sementara kereta rel listrik (KRL) menjadi salah satu bukti bahwa relaksasi-relaksasi dari pusat sangat kontraproduktif. Hasil test swab secara acak terhadap 325 penumpang KRL rute Jakarta-Bogor belum ini lama ini menunjukkan, ada tiga di antaranya positif. Ini baru acak, bagaimana jika dilakukan menyeluruh yang jumlahnya ratusan ribu penumpang per hari? Relaksasi juga berpotensi memicu gelombang kedua kasus korona (second strike) seperti di Singapura.
Di tengah keruwetan-keruwetan yang belum berhasil terurai ini, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk makin patuh terhadap aturan protokol kesehatan adalah sebuah langkah pasti. Ini tentu bukan hal enteng. Di sana-sini nyatanya sering kita temui masih banyak warga nekat berkumpul di tempat ibadah, orang hajatan, atau pasar. Kearifan lokal masyarakat Indonesia yang umumnya suka guyub dan saling membantu sesama menjadi faktor yang membuat kebiasaan ini sulit ditiadakan. Kepatuhan juga sudah saatnya diikuti dengan sanksi tegas. Tanpa itu, lagi-lagi kita akan sia-sia kembali.
Di tengah kondisi ini, kita juga seolah belum memiliki ramuan solusi yang jitu untuk menghentikannya. Praktis, kapan dan sampai berapa banyak orang yang akan menjadi korban kian misteri. Kekhawatiran makin tinggi manakala ikhtiar pengekangan virus lewat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku di lebih dari 22 daerah tak kunjung efektif.
Tak heran, hampir semua pemerintah provinsi atau kabupaten/kota yang selesai periode pertama PSSB menginginkan agar kebijakan itu terus dipertahankan. Sampai kapan? Lagi-lagi tidak ada yang bisa menjawab pasti.
Perpanjangan PSSB ini bisa terlihat di DKI Jakarta. Kebijakan lockdown setengah hati ini diteruskan hingga 22 Mei mendatang seusai berakhir pada 23 April lalu. Di Sumatera Barat, gubernur bersama bupati dan wali kota, Selasa (5/5), menggelar rapat karena PSBB periode pertama akan berakhir. Gubernur Irwan Prayitno dan Wakil Gubernur Nasrul Abit menginginkan PSBB tetap dilanjut karena selama ini masih tak maksimal. Berbagai langkah antisipatif telah dilakukan, namun kenaikan kasus terus terjadi. Bahkan, yang kian mengkhawatirkan, tren sebaran saat ini adalah transmisi lokal, bukan lagi dari pendatang.
Tak sekadar di Sumatera Barat, potensi model sebaran baru transmisi lokal ini menjadi ancaman semua wilayah. PSBB yang diikuti dengan penyekatan-penyekatan jalan memang terbukti meminimalisasi persebaran virus antarwilayah. Namun, ketika virus sudah lebih dahulu masuk ke suatu wilayah dan masyarakat setempat masih abai dengan protokol kesehatan Covid-19, itu menjadi tidak banyak berarti. Kasus tertularnya lebih dari 30 pedagang di Pasar Raya Padang, puluhan dokter dan perawat di RS Kariadi Semarang, serta puluhan karyawan pabrik rokok di Surabaya menjadi bukti.
Sengkarut penanganan Covid-19 makin menjadi manakala di saat daerah-daerah berjuang keras agar cepat bersih dari pandemi ini, kita dikagetkan rencana pemerintah yang justru ingin merelaksasi PSBB. Apa pun dalihnya, tentu wacana ini kurang tepat jika diterapkan. Lebih-lebih jika usulan ini dimunculkan untuk mewadahi kepentingan ekonomi kelompok tertentu, bukan orang banyak. Banyak kepala daerah akan tercederai dengan kebijakan (injuring policy) ini. Mereka sudah mengencangkan ikat pinggang mengerahkan berbagai cara agar Covid-19 tuntas, namun pada saat yang sama justru dimentahkan dari pusat.
Tidak dikabulkannya keinginan para kepala daerah di Jabodetabek yang mengusulkan penonaktifan sementara kereta rel listrik (KRL) menjadi salah satu bukti bahwa relaksasi-relaksasi dari pusat sangat kontraproduktif. Hasil test swab secara acak terhadap 325 penumpang KRL rute Jakarta-Bogor belum ini lama ini menunjukkan, ada tiga di antaranya positif. Ini baru acak, bagaimana jika dilakukan menyeluruh yang jumlahnya ratusan ribu penumpang per hari? Relaksasi juga berpotensi memicu gelombang kedua kasus korona (second strike) seperti di Singapura.
Di tengah keruwetan-keruwetan yang belum berhasil terurai ini, menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk makin patuh terhadap aturan protokol kesehatan adalah sebuah langkah pasti. Ini tentu bukan hal enteng. Di sana-sini nyatanya sering kita temui masih banyak warga nekat berkumpul di tempat ibadah, orang hajatan, atau pasar. Kearifan lokal masyarakat Indonesia yang umumnya suka guyub dan saling membantu sesama menjadi faktor yang membuat kebiasaan ini sulit ditiadakan. Kepatuhan juga sudah saatnya diikuti dengan sanksi tegas. Tanpa itu, lagi-lagi kita akan sia-sia kembali.
(jon)