Karpet Merah untuk Kejaksaan
loading...
A
A
A
Dia menambahkan, DPR harus terbuka dalam pembahasan RUU Kejaksaan dan melibatkan semua stakeholder sehingga semua tahapan dapat dikontrol. Stakeholder yang dimaksud misalnya penuntut, pencari keadilan, kepolisian, kehakiman atau lembaga peradilan, masyarakat sipil yang bergerak di bidang bantuan hukum atau advokasi, dan lain sebagainya. Keterbukaan dan keikutsertaan itu agar jangan sampai kejaksaan atau jaksa terjerumus pada penyalahgunaan kewenangan. "Mestinya seluruh stakeholder dilibatkan sehingga bisa menyumbangkan pikiran di mana letak lembaga kejaksaan," katanya.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai, draf RUU Kejaksaan justru mengekalkan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Hal ini, kata Isnur, dengan melihat ketentuan rumusan Pasal 30 ayat (5) RUU yang mengatur wewenang dan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi enam aspek. (Baca juga: Bisnis Esek-Esek terancam Tinggal Cerita Gara-Gara Teledildonik)
Isnur membeberkan, wewenang dan tugas tersebut paling tidak memiliki tiga masalah. Pertama, membuat kejaksaan memiliki wewenang dari hulu ke hilir sehingga berpotensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kejaksaan dalam hal ini berwenang sebagai intelijen, pengawasan, pencegahan, edukasi, dan penegakan hukum.
Kedua pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara adalah sebuah diskriminasi. Diskriminasi ini, tutur Isnur, berakar pada stigma yang ada dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus diskriminasi. Antara lain tertuang pada halaman 138 putusan tersebut di mana Mahkamah mengatakan "Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik," terangnya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Ketiga, pencegahan penodaan agama adalah pengekalan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan/keyakinan. Ketiadaan definisi penodaan agama telah membuat berbagai tindakan dihukum dengan kriteria yang sama, yaitu penodaan agama. "Menjadi kewajiban Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan bukannya mengekalkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis agama/keyakinan yang ada sebelumnya," ujarnya.
Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, Korps Adhyaksa mendukung upaya DPR melakukan revisi atas UU Kejaksaan yang akan disusul dengan pembahasan terhadap draf RUU Kejaksaan. Dia mengungkapkan, ada beberapa urgensi dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan. Pertama, dinamika yang terjadi masyarakat dan penyesuaian atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, kepentingan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan.
"Kebutuhan penguatan kelembagaan, tugas, dan kewenangan Kejaksaan dengan mendasarkan pada asas hukum dan konvensi yang berlaku secara universal," tegas Setia dalam Rapat Kerja bersama Badan Legislasi dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/9).
Mantan Kepala Badan Diklat Kejaksaan ini menuturkan, ada empat poin utama yang menjadi usulan Kejagung untuk perubahan atas UU Kejaksaan. Menurut dia, empat poin utama diharapkan dapat memperkuat kejaksaan secara institusional, kewenangan kejaksaan, hingga profesi dan kewenangan jaksa. "Demikian disampaikan pandangan, saran, dan masukan guna penyusunan perubahan UU Kejaksaan yang paripurna. Semoga menjadi legitimasi dan sumbangsih bagi penegakan hukum dan pembangunan hukum nasional," katanya. (Lihat videonya: Inilah Kriteria Wanita Muslimah yang Dirindukan Surga)
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh menyatakan, karakteristik jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus. Dalam draf RUU Kejaksaan yang telah disiapkan Komisi III sebagai pengusul, kata dia, menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan. Jabatan jaksa ditempatkan sebagai kekhususan di dalam aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana pegawai di TNI dan Polri.
"Perubahan ini juga menghimpun beberapa kewenangan jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat dilaksanakan," ujar Pangeran. (Sabir Laluhu)
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai, draf RUU Kejaksaan justru mengekalkan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Hal ini, kata Isnur, dengan melihat ketentuan rumusan Pasal 30 ayat (5) RUU yang mengatur wewenang dan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi enam aspek. (Baca juga: Bisnis Esek-Esek terancam Tinggal Cerita Gara-Gara Teledildonik)
Isnur membeberkan, wewenang dan tugas tersebut paling tidak memiliki tiga masalah. Pertama, membuat kejaksaan memiliki wewenang dari hulu ke hilir sehingga berpotensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kejaksaan dalam hal ini berwenang sebagai intelijen, pengawasan, pencegahan, edukasi, dan penegakan hukum.
Kedua pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara adalah sebuah diskriminasi. Diskriminasi ini, tutur Isnur, berakar pada stigma yang ada dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus diskriminasi. Antara lain tertuang pada halaman 138 putusan tersebut di mana Mahkamah mengatakan "Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik," terangnya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)
Ketiga, pencegahan penodaan agama adalah pengekalan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan/keyakinan. Ketiadaan definisi penodaan agama telah membuat berbagai tindakan dihukum dengan kriteria yang sama, yaitu penodaan agama. "Menjadi kewajiban Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan bukannya mengekalkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis agama/keyakinan yang ada sebelumnya," ujarnya.
Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, Korps Adhyaksa mendukung upaya DPR melakukan revisi atas UU Kejaksaan yang akan disusul dengan pembahasan terhadap draf RUU Kejaksaan. Dia mengungkapkan, ada beberapa urgensi dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan. Pertama, dinamika yang terjadi masyarakat dan penyesuaian atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, kepentingan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan.
"Kebutuhan penguatan kelembagaan, tugas, dan kewenangan Kejaksaan dengan mendasarkan pada asas hukum dan konvensi yang berlaku secara universal," tegas Setia dalam Rapat Kerja bersama Badan Legislasi dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/9).
Mantan Kepala Badan Diklat Kejaksaan ini menuturkan, ada empat poin utama yang menjadi usulan Kejagung untuk perubahan atas UU Kejaksaan. Menurut dia, empat poin utama diharapkan dapat memperkuat kejaksaan secara institusional, kewenangan kejaksaan, hingga profesi dan kewenangan jaksa. "Demikian disampaikan pandangan, saran, dan masukan guna penyusunan perubahan UU Kejaksaan yang paripurna. Semoga menjadi legitimasi dan sumbangsih bagi penegakan hukum dan pembangunan hukum nasional," katanya. (Lihat videonya: Inilah Kriteria Wanita Muslimah yang Dirindukan Surga)
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh menyatakan, karakteristik jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus. Dalam draf RUU Kejaksaan yang telah disiapkan Komisi III sebagai pengusul, kata dia, menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan. Jabatan jaksa ditempatkan sebagai kekhususan di dalam aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana pegawai di TNI dan Polri.
"Perubahan ini juga menghimpun beberapa kewenangan jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat dilaksanakan," ujar Pangeran. (Sabir Laluhu)