Karpet Merah untuk Kejaksaan

Selasa, 08 September 2020 - 09:15 WIB
loading...
Karpet Merah untuk Kejaksaan
Foto: dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar tancap gas. Usai membahas RUU Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengesahkannya menjadi UU, para wakil rakyat kini menyasar Undang-Undang No 16/2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).

Draf rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan naskah akademiknya telah disiapkan serta dalam waktu dekat akan dibahas. Dari berbagai perubahan yang ada, DPR seolah-olah menghamparkan karpet merah bagi Korps Adhyaksa dengan kewenangan dan peran yang luas tak berbatas. (Baca: PSG Ingin Jadikan Lionel Messi Trisula Mematikan)

Kejaksaan diposisikan sebagai badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang eksekutif yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Jaksa bukan lagi sebagai pejabat fungsional, tapi pejabat negara.

Di sisi lain, ada klausul yang diduga sepertinya sengaja disisipkan. Di antaranya, syarat seorang jaksa agung di antaranya harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Dengan syarat ini, maka tertutup peluang bagi orang di luar lembaga. Berikutnya, Kejaksaan dapat mengangkat prajurit TNI atau pejabat lain sebagai tenaga ahli atau pejabat yang ditugaskan selain jabatan jaksa. Contoh ketentuan-ketentuan itu tidak ada dalam UU yang lama.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, berbagai perubahan yang signifikan dalam RUU Kejaksaan menunjukkan bahwa DPR ataupun pemerintah ingin menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang menguasai hampir seluruh ranah penegakan hukum yang ada. Padahal kata dia, sebelumnya ada seorang anggota Komisi III DPR menyampaikan dalam satu kesempatan diskusi di sebuah televisi nasional bahwa kewenangan dan peran kejaksaan akan dipersempit.

“Dengan melihat perubahan-perubahan dalam RUU Kejaksaan yang ada, sepertinya memberikan kewenangan berlebihan dan sangat luas bagi kejaksaan, jaksa agung, dan jaksa. Jadi jaksa seolah-olah mau menguasai semua ranah. Bisa menangani berbagai kasus, termasuk di dalamnya ada ranah militer berikutnya tata usaha untuk di MK, nah itu, segala macam. Jadi banyak," ujar Fickar. (Baca juga: Gegara Resesi, Singapura Mulai Tak Ramah Pada TKI)

Menurut dia, penanganan dan penguasaan tersebut tak jauh berbeda seperti fungsi advokat atau pengacara. Artinya, dengan fungsi, kewenangan, dan peran yang luas sebagaimana dalam draf RUU Kejaksaan, maka posisi jaksa tidak ada bedanya dengan seorang advokat. Dia berpandangan, keluasan itu bisa jadi diterjemahkan oleh penyusunan atau pembuat RUU dari posisi jaksa sebagai seorang pengacara negara.

Fickar lantas menyoroti beberapa pasal. Misalnya penempatan jaksa sebagai pejabat negara sekaligus sebuah profesi dengan definisi yang luas juga merupakan sebuah kesalahan. Jika jaksa diposisikan sebagai profesi, maka tidak tepat dan tidak pas jaksa diletakkan sebagai pejabat negara. Ketika jaksa diposisikan sebagai pejabat negara, maka konsekuensi logisnya posisi jaksa seperti pejabat negara lain, misalnya presiden, ketua MPR, ketua DPR, menteri, dan pejabat negara lainnya.

"Jadi, ini ada dua hal yang bertentangan. Kalau jaksa mau ditempatkan sebagai profesi, artinya profesional, maka nggak pas kalau diletakkan sebagai pejabat negara. Dia (jaksa) bisa jadi profesional dalam artian bisa menangani berbagai kasus, jadi seperti fungsi pengacara sebenarnya," imbuhnya. (Baca juga: India Kalahkan Brasil Dalam Jumlah Infeksi Virus Corona)

Dia membeberkan, kewenangan baru jaksa agung, yaitu mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer terlalu melampaui batas. Musababnya, kata Fickar, kewenangan itu seolah-olah ingin mengambil alih kewenangan KPK secara kelembagaan, yakni koordinasi dan supervisi perkara korupsi. "Yang pasti, kalau dia mengambil koordinasi dan supervisi, ya itu berarti sama dengan mengarahkan pembubaran KPK sebenarnya," tegas Fickar.

Dia menambahkan, DPR harus terbuka dalam pembahasan RUU Kejaksaan dan melibatkan semua stakeholder sehingga semua tahapan dapat dikontrol. Stakeholder yang dimaksud misalnya penuntut, pencari keadilan, kepolisian, kehakiman atau lembaga peradilan, masyarakat sipil yang bergerak di bidang bantuan hukum atau advokasi, dan lain sebagainya. Keterbukaan dan keikutsertaan itu agar jangan sampai kejaksaan atau jaksa terjerumus pada penyalahgunaan kewenangan. "Mestinya seluruh stakeholder dilibatkan sehingga bisa menyumbangkan pikiran di mana letak lembaga kejaksaan," katanya.

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhamad Isnur menilai, draf RUU Kejaksaan justru mengekalkan diskriminasi berbasis agama dan keyakinan. Hal ini, kata Isnur, dengan melihat ketentuan rumusan Pasal 30 ayat (5) RUU yang mengatur wewenang dan tugas kejaksaan di bidang ketertiban dan ketenteraman umum, yaitu penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan guna mendukung kegiatan dan kebijakan penegakan hukum yang meliputi enam aspek. (Baca juga: Bisnis Esek-Esek terancam Tinggal Cerita Gara-Gara Teledildonik)

Isnur membeberkan, wewenang dan tugas tersebut paling tidak memiliki tiga masalah. Pertama, membuat kejaksaan memiliki wewenang dari hulu ke hilir sehingga berpotensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Kejaksaan dalam hal ini berwenang sebagai intelijen, pengawasan, pencegahan, edukasi, dan penegakan hukum.

Kedua pengawasan terhadap aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara adalah sebuah diskriminasi. Diskriminasi ini, tutur Isnur, berakar pada stigma yang ada dalam UU Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Padahal, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 97/PUU-XIV/2016 telah menghapus diskriminasi. Antara lain tertuang pada halaman 138 putusan tersebut di mana Mahkamah mengatakan "Hak dasar untuk menganut agama, yang di dalamnya mencakup hak untuk menganut kepercayaan terhadap Tuhan YME, adalah bagian dari hak asasi manusia dalam kelompok hak-hak sipil dan politik," terangnya. (Baca juga: Ternyata Tidur Bisa Cegah Alzheimer)

Ketiga, pencegahan penodaan agama adalah pengekalan diskriminasi terhadap kelompok minoritas keagamaan/keyakinan. Ketiadaan definisi penodaan agama telah membuat berbagai tindakan dihukum dengan kriteria yang sama, yaitu penodaan agama. "Menjadi kewajiban Indonesia untuk melakukan harmonisasi dan bukannya mengekalkan bentuk-bentuk diskriminasi berbasis agama/keyakinan yang ada sebelumnya," ujarnya.

Wakil Jaksa Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, Korps Adhyaksa mendukung upaya DPR melakukan revisi atas UU Kejaksaan yang akan disusul dengan pembahasan terhadap draf RUU Kejaksaan. Dia mengungkapkan, ada beberapa urgensi dilakukan perubahan atas UU Kejaksaan. Pertama, dinamika yang terjadi masyarakat dan penyesuaian atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, kepentingan penegakan hukum yang berkualitas dan berkeadilan.

"Kebutuhan penguatan kelembagaan, tugas, dan kewenangan Kejaksaan dengan mendasarkan pada asas hukum dan konvensi yang berlaku secara universal," tegas Setia dalam Rapat Kerja bersama Badan Legislasi dan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (2/9).

Mantan Kepala Badan Diklat Kejaksaan ini menuturkan, ada empat poin utama yang menjadi usulan Kejagung untuk perubahan atas UU Kejaksaan. Menurut dia, empat poin utama diharapkan dapat memperkuat kejaksaan secara institusional, kewenangan kejaksaan, hingga profesi dan kewenangan jaksa. "Demikian disampaikan pandangan, saran, dan masukan guna penyusunan perubahan UU Kejaksaan yang paripurna. Semoga menjadi legitimasi dan sumbangsih bagi penegakan hukum dan pembangunan hukum nasional," katanya. (Lihat videonya: Inilah Kriteria Wanita Muslimah yang Dirindukan Surga)

Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PAN Pangeran Khairul Saleh menyatakan, karakteristik jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa sebagai suatu profesi harus diwadahi dalam suatu bentuk pengaturan kepegawaian secara khusus. Dalam draf RUU Kejaksaan yang telah disiapkan Komisi III sebagai pengusul, kata dia, menguatkan kedudukan jaksa dalam sistem pemerintahan. Jabatan jaksa ditempatkan sebagai kekhususan di dalam aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana pegawai di TNI dan Polri.

"Perubahan ini juga menghimpun beberapa kewenangan jaksa agung, kejaksaan, dan jaksa yang tersebar dalam berbagai ketentuan perundang-undangan untuk dapat dilaksanakan," ujar Pangeran. (Sabir Laluhu)
(ysw)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1535 seconds (0.1#10.140)