Karpet Merah untuk Kejaksaan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) benar-benar tancap gas. Usai membahas RUU Mahkamah Konstitusi (MK) dan mengesahkannya menjadi UU, para wakil rakyat kini menyasar Undang-Undang No 16/2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).
Draf rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan naskah akademiknya telah disiapkan serta dalam waktu dekat akan dibahas. Dari berbagai perubahan yang ada, DPR seolah-olah menghamparkan karpet merah bagi Korps Adhyaksa dengan kewenangan dan peran yang luas tak berbatas. (Baca: PSG Ingin Jadikan Lionel Messi Trisula Mematikan)
Kejaksaan diposisikan sebagai badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang eksekutif yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Jaksa bukan lagi sebagai pejabat fungsional, tapi pejabat negara.
Di sisi lain, ada klausul yang diduga sepertinya sengaja disisipkan. Di antaranya, syarat seorang jaksa agung di antaranya harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Dengan syarat ini, maka tertutup peluang bagi orang di luar lembaga. Berikutnya, Kejaksaan dapat mengangkat prajurit TNI atau pejabat lain sebagai tenaga ahli atau pejabat yang ditugaskan selain jabatan jaksa. Contoh ketentuan-ketentuan itu tidak ada dalam UU yang lama.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, berbagai perubahan yang signifikan dalam RUU Kejaksaan menunjukkan bahwa DPR ataupun pemerintah ingin menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang menguasai hampir seluruh ranah penegakan hukum yang ada. Padahal kata dia, sebelumnya ada seorang anggota Komisi III DPR menyampaikan dalam satu kesempatan diskusi di sebuah televisi nasional bahwa kewenangan dan peran kejaksaan akan dipersempit.
“Dengan melihat perubahan-perubahan dalam RUU Kejaksaan yang ada, sepertinya memberikan kewenangan berlebihan dan sangat luas bagi kejaksaan, jaksa agung, dan jaksa. Jadi jaksa seolah-olah mau menguasai semua ranah. Bisa menangani berbagai kasus, termasuk di dalamnya ada ranah militer berikutnya tata usaha untuk di MK, nah itu, segala macam. Jadi banyak," ujar Fickar. (Baca juga: Gegara Resesi, Singapura Mulai Tak Ramah Pada TKI)
Menurut dia, penanganan dan penguasaan tersebut tak jauh berbeda seperti fungsi advokat atau pengacara. Artinya, dengan fungsi, kewenangan, dan peran yang luas sebagaimana dalam draf RUU Kejaksaan, maka posisi jaksa tidak ada bedanya dengan seorang advokat. Dia berpandangan, keluasan itu bisa jadi diterjemahkan oleh penyusunan atau pembuat RUU dari posisi jaksa sebagai seorang pengacara negara.
Fickar lantas menyoroti beberapa pasal. Misalnya penempatan jaksa sebagai pejabat negara sekaligus sebuah profesi dengan definisi yang luas juga merupakan sebuah kesalahan. Jika jaksa diposisikan sebagai profesi, maka tidak tepat dan tidak pas jaksa diletakkan sebagai pejabat negara. Ketika jaksa diposisikan sebagai pejabat negara, maka konsekuensi logisnya posisi jaksa seperti pejabat negara lain, misalnya presiden, ketua MPR, ketua DPR, menteri, dan pejabat negara lainnya.
"Jadi, ini ada dua hal yang bertentangan. Kalau jaksa mau ditempatkan sebagai profesi, artinya profesional, maka nggak pas kalau diletakkan sebagai pejabat negara. Dia (jaksa) bisa jadi profesional dalam artian bisa menangani berbagai kasus, jadi seperti fungsi pengacara sebenarnya," imbuhnya. (Baca juga: India Kalahkan Brasil Dalam Jumlah Infeksi Virus Corona)
Dia membeberkan, kewenangan baru jaksa agung, yaitu mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer terlalu melampaui batas. Musababnya, kata Fickar, kewenangan itu seolah-olah ingin mengambil alih kewenangan KPK secara kelembagaan, yakni koordinasi dan supervisi perkara korupsi. "Yang pasti, kalau dia mengambil koordinasi dan supervisi, ya itu berarti sama dengan mengarahkan pembubaran KPK sebenarnya," tegas Fickar.
Draf rancangan Undang-Undang (RUU) Kejaksaan dan naskah akademiknya telah disiapkan serta dalam waktu dekat akan dibahas. Dari berbagai perubahan yang ada, DPR seolah-olah menghamparkan karpet merah bagi Korps Adhyaksa dengan kewenangan dan peran yang luas tak berbatas. (Baca: PSG Ingin Jadikan Lionel Messi Trisula Mematikan)
Kejaksaan diposisikan sebagai badan peradilan yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang eksekutif yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Jaksa bukan lagi sebagai pejabat fungsional, tapi pejabat negara.
Di sisi lain, ada klausul yang diduga sepertinya sengaja disisipkan. Di antaranya, syarat seorang jaksa agung di antaranya harus lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa. Dengan syarat ini, maka tertutup peluang bagi orang di luar lembaga. Berikutnya, Kejaksaan dapat mengangkat prajurit TNI atau pejabat lain sebagai tenaga ahli atau pejabat yang ditugaskan selain jabatan jaksa. Contoh ketentuan-ketentuan itu tidak ada dalam UU yang lama.
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, berbagai perubahan yang signifikan dalam RUU Kejaksaan menunjukkan bahwa DPR ataupun pemerintah ingin menjadikan kejaksaan sebagai lembaga yang menguasai hampir seluruh ranah penegakan hukum yang ada. Padahal kata dia, sebelumnya ada seorang anggota Komisi III DPR menyampaikan dalam satu kesempatan diskusi di sebuah televisi nasional bahwa kewenangan dan peran kejaksaan akan dipersempit.
“Dengan melihat perubahan-perubahan dalam RUU Kejaksaan yang ada, sepertinya memberikan kewenangan berlebihan dan sangat luas bagi kejaksaan, jaksa agung, dan jaksa. Jadi jaksa seolah-olah mau menguasai semua ranah. Bisa menangani berbagai kasus, termasuk di dalamnya ada ranah militer berikutnya tata usaha untuk di MK, nah itu, segala macam. Jadi banyak," ujar Fickar. (Baca juga: Gegara Resesi, Singapura Mulai Tak Ramah Pada TKI)
Menurut dia, penanganan dan penguasaan tersebut tak jauh berbeda seperti fungsi advokat atau pengacara. Artinya, dengan fungsi, kewenangan, dan peran yang luas sebagaimana dalam draf RUU Kejaksaan, maka posisi jaksa tidak ada bedanya dengan seorang advokat. Dia berpandangan, keluasan itu bisa jadi diterjemahkan oleh penyusunan atau pembuat RUU dari posisi jaksa sebagai seorang pengacara negara.
Fickar lantas menyoroti beberapa pasal. Misalnya penempatan jaksa sebagai pejabat negara sekaligus sebuah profesi dengan definisi yang luas juga merupakan sebuah kesalahan. Jika jaksa diposisikan sebagai profesi, maka tidak tepat dan tidak pas jaksa diletakkan sebagai pejabat negara. Ketika jaksa diposisikan sebagai pejabat negara, maka konsekuensi logisnya posisi jaksa seperti pejabat negara lain, misalnya presiden, ketua MPR, ketua DPR, menteri, dan pejabat negara lainnya.
"Jadi, ini ada dua hal yang bertentangan. Kalau jaksa mau ditempatkan sebagai profesi, artinya profesional, maka nggak pas kalau diletakkan sebagai pejabat negara. Dia (jaksa) bisa jadi profesional dalam artian bisa menangani berbagai kasus, jadi seperti fungsi pengacara sebenarnya," imbuhnya. (Baca juga: India Kalahkan Brasil Dalam Jumlah Infeksi Virus Corona)
Dia membeberkan, kewenangan baru jaksa agung, yaitu mengoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan umum dan peradilan militer terlalu melampaui batas. Musababnya, kata Fickar, kewenangan itu seolah-olah ingin mengambil alih kewenangan KPK secara kelembagaan, yakni koordinasi dan supervisi perkara korupsi. "Yang pasti, kalau dia mengambil koordinasi dan supervisi, ya itu berarti sama dengan mengarahkan pembubaran KPK sebenarnya," tegas Fickar.