Energi Bersih Kian Dilirik
loading...
A
A
A
Insentif tersebut, kata dia, akan tertuang dalam peraturan presiden menyangkut energi baru terbarukan dan konservasi energi (EBTKE). Menurut Hariyanto, poin pentingdalamperpres tersebut antara lain soal harga yang akan ditinjau agar bisa menarik investor masuk ke sektor energi baru terbarukan. (Baca juga: Menanti 10 Tahun, Zaskia Sungkar Akhirnya Hamil)
“Selain itu, juga akan mengatur soal kuota yang ditentukan oleh Kementerian ESDM, tujuannya agar bisa tercapai target 23% bauran energi pada 2045,” kata Hariyanto pada sebuah diskusi virtual, Rabu (26/8/2020).
Dalam memenuhi target bauran energi, PT PLN (Persero) sebagai perusahaan penyedia listrik di Tanah Air juga berkomitmen dalam meningkatkan pasokan energi bersih. Satu di antara program yang akan dikembangkan adalah mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit ramah lingkungan. “PLN akan ada program dedieselisasi PLTD tersebar," ungkap Arsyadany G Akmalaputri, vice president public relation PLN, saat dihubungi tadi malam.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat, pengembangan EBT akan bergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Menurut dia, ke depan EBT paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Anggota DPR Komisi VII Dyah Roro Esti mengungkapkan, pengembangan EBT di Indonesia masih menemui hambatan, terutama belum ada payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Meski sudah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT dan sudah masuk dalam Prolegnas 2020, namun beleid tersebut diyakini tidak akan selesai tahun ini. Namun, DPR memastikan akan membuka ruang diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
“Selama ini kendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tuturnya.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, untuk mengembangkan EBT perlu ada sinergi antara pemerintah dan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menciptakan perangkat yang lebih terjangkau.
“Investasi EBT kan mahal, makanya harus ada produk yang harganya lebih murah seperti panel surya atau alat minihydro,” katanya. (FW Bahtiar/Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan/Anto Kurniawan/Yanto Kusdiantono)
“Selain itu, juga akan mengatur soal kuota yang ditentukan oleh Kementerian ESDM, tujuannya agar bisa tercapai target 23% bauran energi pada 2045,” kata Hariyanto pada sebuah diskusi virtual, Rabu (26/8/2020).
Dalam memenuhi target bauran energi, PT PLN (Persero) sebagai perusahaan penyedia listrik di Tanah Air juga berkomitmen dalam meningkatkan pasokan energi bersih. Satu di antara program yang akan dikembangkan adalah mengganti pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dengan pembangkit ramah lingkungan. “PLN akan ada program dedieselisasi PLTD tersebar," ungkap Arsyadany G Akmalaputri, vice president public relation PLN, saat dihubungi tadi malam.
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma berpendapat, pengembangan EBT akan bergantung pada komitmen dan ketegasan pemerintah dalam implementasinya. Menurut dia, ke depan EBT paling menjamin keberlangsungan hidup dan ketersediaan energi.
“Minyak bumi akan habis. Batu bara juga begitu. Belum lagi, kompetisi dengan negara lain juga makin tinggi. Ini akan makin susah,” imbuhnya.
Anggota DPR Komisi VII Dyah Roro Esti mengungkapkan, pengembangan EBT di Indonesia masih menemui hambatan, terutama belum ada payung hukum yang mengatur secara keseluruhan. Meski sudah ada Rancangan Undang-Undang (RUU) EBT dan sudah masuk dalam Prolegnas 2020, namun beleid tersebut diyakini tidak akan selesai tahun ini. Namun, DPR memastikan akan membuka ruang diskusi dengan semua pihak yang berkepentingan. (Lihat videonya: Kemarau Panjang, Warga Kabupaten Bekasi Mengalami Kekeringan)
“Selama ini kendala terbesar dari sisi harga. EBT ini kurang kompetitif dibandingkan dengan fosil. Makanya, nanti upaya apa saja yang harus dilakukan agar EBT bisa lebih kompetitif,” tuturnya.
Di bagian lain, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, untuk mengembangkan EBT perlu ada sinergi antara pemerintah dan lembaga penelitian dan perguruan tinggi untuk menciptakan perangkat yang lebih terjangkau.
“Investasi EBT kan mahal, makanya harus ada produk yang harganya lebih murah seperti panel surya atau alat minihydro,” katanya. (FW Bahtiar/Andika H Mustaqim/Faorick Pakpahan/Anto Kurniawan/Yanto Kusdiantono)
(ysw)